Rumah Ibadah Masih Jadi Sumber Konflik

NURLIA SAFITRI UINJKT
Mahasiswi S1 Program studi ilmu pengetahuan sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Juni 2023 19:19 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NURLIA SAFITRI UINJKT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gereja. Foto: Raiyani Muharramah/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gereja. Foto: Raiyani Muharramah/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang memiliki banyak kebudayaan, bahasa, suku, dan adat istiadat. Semua menjadi satu dalam bangsa Indonesia. Sebuah negara tentunya ingin seluruh rakyatnya sejahtera, hidup rukun dan saling menghormati. Tetapi pada kenyataannya karena perbedaan itu, malah mengakibatkan banyak terjadi perselisihan. Sehingga, ukuran untuk sebuah negara yang sejahtera itu belum sepenuhnya terwujud di negara Indonesia ini. Mengapa? Karena masih banyak warga negara Indonesia yang minim rasa toleransi terhadap sesamanya. Dilansir dari Kemenag.ri.go.id.
ADVERTISEMENT
Data resmi negara mencatat bahwa ada sekitar 8.920 orang warga Non-Islam di Cilegon yang sebagian besar dari jumlah tersebut beragama kristen dan katolik, dan hingga pada saat ini mereka tidak memiliki tempat ibadah. Hal ini dikarenakan sudah dua kali tempat ibadah mereka ditolak oleh warga umat Islam, dan kemudian rumah ibadah mereka dirusak paksa oleh masyarakat Islam setempat melalui tindakan anarkis. Tentunya warga Non-Islam itu semua sangat membutuhkan tempat untuk ibadah.
Kebijakan pemerintah setempat juga mempengaruhi dan menjadi tolak ukur warganya mempunyai rasa toleran atau tidak dalam bermasyarakat. Kemenag RI juga mengatakan bahwa Segenap pemerintah kota Cilegon memberi keputusan penutupan pembangunan rumah ibadah Non-Islam dickota Cilegon. Aturan tidak boleh ada pembangunan rumah ibadah selain Mesjid ditandatangani oleh Wali kota dan Wakil Wali kota daerah setempat.
ADVERTISEMENT
Menurut saya Kesimpulan dari masalah ini adalah tindakan rakyat itu tergantung dari bagaimana pemimpinnya bersikap, jika pemimpinnya saja mendukung atas perlakuan tidak adil ini maka rakyat yang berbuat semena mena akan merasa terlindungi dan terus menerus melakukan hal yang sama, dan sampai kapanpun warga Non-Islam di Cilegon tidak akan memiliki rumah ibadah.
Menurut saya hal tersebut sangatlah tidak manusiawi, karena melarang umat agama lain untuk beribadah. Padahal jelas dikatakan pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 nomor 39 tahun 1999 yang membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM), serta tercantum dalam pasal 28E ayat 1 yang berbunyi "Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali". Seorang pemimpin seharusnya bisa bersikap adil kepada seluruh warganya, mengayomi, merangkul, toleran serta bijaksana untuk menyatukan perbedaan. Bukannya hanya berpihak kepada salah satu kaum dan mengabaikan kaum lainnya.
ADVERTISEMENT
Saya juga berpendapat bahwa perlindungan terhadap kelompok minoritas harus semakin diperkuat, agar kasus-kasus seperti yang terjadi di Cilegon tidak terulang kembali. Kebebasan beragama merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana hak tersebut telah melekat pada diri seseorang sejak dia lahir. Seseorang bebas memilih untuk meyakini agama mana pun yang ia kehendaki menurut hati nuraninya. Tidak terpaksa apalagi dipaksa oleh siapa pun.
Dari kasus tersebut sudah semakin jelas bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang demokrasi dan masih berada pada posisi demokrasi yang cacat (Flawed Democracy). Hal itu pun diperkuat oleh wawancara yang telah penulis lakukan kepada beberapa sumber dari berbagai agama, yang mana hasilnya pun sesuai. Kelompok minoritas mengatakan bahwa mereka sering menerima diskriminasi dalam bentuk apa pun. Sebabnya karena pelaku diskriminasi merasa bahwa dirinya mayoritas dan merasa bahwa tindakannya benar.
ADVERTISEMENT
Perspektif seperti ini harus dihentikan di kalangan masyarakat, karena dapat menimbulkan permasalahan lain yang tiada hentinya. Penulis semakin yakin bahwa memang betul negara Indonesia belum mencapai tingkat demokrasi penuh. Karena salah satu indikator demokrasi nomor 59 (Tidak ada diskriminasi yang berarti atas dasar ras, warna kulit, atau keyakinan agama) tetapi pada kenyataannya masih banyak kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia.
Sangat disayangkan bahwa di negara sebesar ini masih banyak rakyatnya yang kurang memiliki kesadaran toleransi terhadap sesama. Padahal agama Islam pun sejalan dengan demokrasi. Islam memuliakan setiap orang, Islam juga memberi hak kebebasan kepada setiap orang. Lalu, mengapa rakyatnya masih kurang sadar?