“Bapak Posisi Di Mana?”,Tanya Mahasiswa

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
31 Oktober 2019 14:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu kunci sukses berkomunikasi itu memperhatikan siapa komunikannya (Foto: tribunnews.com)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu kunci sukses berkomunikasi itu memperhatikan siapa komunikannya (Foto: tribunnews.com)
ADVERTISEMENT
“Bapak posisi di mana?”. Itu pesan yang masuk ke Hand Phone (HP) saya melalui pesan layanan WhatsApp (WA). Pesan model itu pernah dikirim malam hari. Saat saya buka, saya bingung menjawab. Posisi seperti apa? Posisi yang mana? Ini yang membuat saya kebingungan. Apakah posisi duduk? Apakah posisi tidur? Apakah posisi berkaitan dengan lokasi? Umumnya pesan-pesan seperti itu saya abaikan. Apalagi dikirim malam hari.
ADVERTISEMENT
Pernah pula dapat kiriman seperti itu siang hari. Kebetulan saat saya sedang ada di kampus lagi. Karena saya longgar, saya kadang menjawabnya.
Saya pernah menjawab, “Saya ada di kampus”.
Lalu mahasiswa yang mengirim pesan itu menjawab singkat, “Baik pak, saya mandi lalu berangkat”.
“Lho dimana posisimu?”
“Saya kontrakan daerah Sumbersari pak”.
Jarak Sumbersari, Malang ke Gedung Kuliah Bersama (GKB) 1 kampus UMM sekitar 6 kilometer. Karena sudah terlajur berjanji saya menunggu. Kalau saya sedang tidak longgar biasanya akan saya jawab, “Besok saja ya?”.
Soal Pesan
Jika Anda berprofesi sebagai dosen mungkin pernah mendapatkan pesan seperti ssaya di atas atau gaya pesan seperti itu. Geregetan bukan? Gegeretan itu bukan soal siapa yang mengirim atau apa urusannya. Tetapi mahasiswa tersebut hanya mau ketemu dosennya saat dosennya sudah siap. Atau dosen itu seolah diminta menyesuaikan jadwalnya. Tidak apa-apa, tetapi cukup membuatnya jengkel.
ADVERTISEMENT
Pernah ada mahasiswa bertanya, “Pak, saya mau minta tanda tangan?”
“Saya di kampus. Ini mahasiswa mana?
“UMM pak”
“Jurusan apa?”
“Komunikasi pak”.
Kadang saya jawab “oke”. Atau kadang saya diamkan saja. Bagaimana mungkin saya menjawab dengan baik dan memuaskan? Mahasiswa itu juga tidak menyebutkan nama dan identitas lengkap. Saya tentu juga takut jangan-jangan yang kirim pesan sama saya itu mau berbuat jahat. Tentu hal demikian sangat mungkin ada dalam benak seorang dosen. Namanya juga zaman sekarang. Semua bisa saja terjadi bukan?
Itu tidak berarti saya tak mau ketemu dengan mahasiswa tersebut. Tetapi mengapa dia sering menyembunyikan dientitas dirinya saat menghubungi dosen? Pernah juga saya punya pengalaman ditepon mahasiswa. Saat menepon, status nomor yang menghubungi saya itu “private number”. Kasus terakhir ini biasanya tidak saya angkat teleponnya.
ADVERTISEMENT
Mengapa bertanya dengan pelit data? Kenapa tidak menyebutkan nama, jurusan, mungkin tahun angkatan masuk dan keperluan? Kalau data ini masuk tentu dosen tidak akan banyak bertanya atau bahkan geregetan.
Mungkin saja mahasiswa itu belum tahu tata cara menghubungi dosen. Tetapi mahasiswa semester “atas” apakah dimaklumi begitu saja dan tidak tahu etika menghubungi dosen? Terhadap kasus seperti ini, saya memberitahu mahasiswa etika mengubungi dosen. Paling tidak saat saya bertemu mahasiswanya. Untuk itulah banyak lembaga pendidikan tinggi membuat edaran dengan wujud stiker, spanduk, informasi lain tentang “etika berkomunikasi dengan dosen”.
Ini bukan sok bahwa dosen itu perlu dihormati. Tidak begitu maksudnya. Juga jangan dipahami bahwa dosen sebagai makhluk yang layak ditempatkan secara terhormat. Bukan. Dosen itu manusia biasa. Ia juga banyak salah. Dia bukan manusia super. Bukan manusia yang paling tahu dan cerdas. Hanya dia berkesempatan belajar terlebih dahulu. Ini saja.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam perkuliahan awal saya sering menyampaikan, “Kritiklah saya, sampai saya tidak bisa menjawab pertanyaanmu”. Bagi saya hal demikian tidak masalah. Sebab tak semua pertanyaan mahasiswa harus dijawab saat itu juga. Jika dosen tidak tahu? Apakah harus dipaksa menjawab meskipun jawabannya salah?
Dosen itu manusia biasa. Ibarat hard disk, kemampuan menyimpannya sangat terbatas. Dosen punya hard disk eksternal pula. Hard disk eksternal itu bisa berupa laptop, flash isk, buku-buku, bahkan mesin pencari serta penyimpans seperti google.
Otak dosen seperti otak manusia lainnya yang terbatas. Informasi yang baru perlu dimasukkan, informasi yang lama tentu dibuang atau disiman di tempat lain. Tidaklah mungkin seorang dosen harus menghafalkan tanggal lahir Ibnu Khaldun, bukan? Ini misalnya. Jadi seperti hard disk informasi penting disimpan yang tidak begitu penting akan “dibuang”.
ADVERTISEMENT
Perhatikan Sasaran
Ini menyangkut soal pesan. Sebagai dosen materi komunikasi, saya mengajar dan memberitahu mahasiswa bahwa efekifitas pengiriman pesan itu sangat tergantung pada siapa yang diajak bicara. Jadi, ada kalanya bahkan harus, kita perlu melihat siapa yang diajak bicara. Ini jika pesan yang disampaikan bisa sampai ke sasaran dengan baik .
Berbicara dengan anak Taman Kanak-kanak (TK) dengan mahasiswa tentu berlainan, bukan? Salah sasaran jika kita bicara kepada orang tua yang belum dikenal dengan sapaan, “Hai, bu. Sudah makan belum?” Atau bicara dengan mahasiswa di kelas dengan diawali nyanyi lagu “Balonku Ada Lima”. Tidak cocok, bukan? Inilah pentingnya memperhatikan sasaran yang diajak bicara.
Mengapa menyesuaikan dengan sasaran penting? Dalam buku Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer (2016) saya membahasnya lebih detail. Bahwa salah satu kunci suskes berkomunikasi itu memperhatikan siapa audience-nya. Bagaimana keadaan mereka? Apakah sedang tidak mengantuk? Apakah suasana kelas itu panas atau dingin? Apakah komunikan tidak sedang tergesa-gesa untuk suatu aktivitas lain? Itu semua akan menentukan apakah pesan yang disampaikan bisa efektif atau tidak. Tanpa memperhatikan kondisi audience bisa jadi pesan kita tersampaikan tetapi apakah bisa dipahami.
ADVERTISEMENT
Nah, seseorang perlu menyesuaikan dengan siapa lawan bicaranya. Mahasiswa juga menyesuaikan dengan siapa ia berbicara. Bukan apa-apa. Hanya agar pesan efektif disampaikan.
Seorang dosen juga perlu menyesuaikan dengan kemampuan mahasiswa dalam mengajar, bukan? Jangan mentang-mentang dia merasa pintar terus penjelasannya susah dipahami mahasiswa. Juga, tak elok jika ada dosen yang baru pulang dari luar negeri terus mengajarnya “gaya” luar negeri itu. Boleh, tetapi kecerdasan seorang dosen dalah satunya dicerminkan pada sejauh mana ia bisa memahami audience. Tentu dengan catatan agar pesannya dipahami. Jika hanya sekadar biar dianggap sok lulusan luar negeri, ya ini soal lain.
Seorang dosen yang mengajar semester awal tentu harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan kemampuan mahasiswa. Bukan cerita kesana kemari tanpa ujung pangkal. Standar mengajar dosen harus menyesuaikan dengan kemampuan maahasiswa. Ini tidak berarti dosen menuruti semua keinginan mahasiswa. Bukan itu. hanya bagaimana seorang dosen memahami apa yang ada pada diri mahasiswa. Ini jika soal mengajar. Dalam soal lain bisa jadi akan beda. Tugas dosen atau guru bukan sekadar mengajar tetapi juga mendidik. Ada kalanya keras ada kalanya lunak.
ADVERTISEMENT
Kunci
Kembali ke soal judul tulisan, “Bapak posisi dimana?” ini khas pertanyaan orang yang belum paham efektivitas pesan yang disampaikan kepada sasaran pesan. Lalu salah siapa? Apakah semata-mata salah mahasiswa yang bersangkutan? Salah dosen? Tentu tak bisa dipukul rata.
Bisa juga salah proses pendidikan kita selama ini. Pendidikan bisa jadi hanya dilakukan seperti mekanistis. Menghafal pelajaran, ujian, dapat nilai selesai. Proses belajar padahal juga menyangkut etika, moral, budi pekerti yang tak kalah pentingnya dalam proses pendidikan kita. Masalahnya, apakah aturan dalam pendidikan, proses belajar mengajar sudah mengarah ke situ? Ini menjadi pekerjaan rumah semua orang yang peduli dengan pendidikan.
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); penulis buku Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer (2016); penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB
ADVERTISEMENT