Kekuasaan Itu Mengumpul, Tidak Terbagi, dan Konstan

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2019 15:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik. Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik. Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Mengamati dinamika politik Tanah Air itu tidak usah baper. Jika kita ikut menjadi pendukung seorang kandidat, tidak usah membabi buta. Biasa-biasa saja dalam soal dukung-mendukung kekuasaan politik itu. Mengapa? Taruhannya sangat besar. Tidak hanya sekadar harta benda, pertemanan, tetapi juga jiwa dan psikis kita.
ADVERTISEMENT
Lihat contoh perubahan drastis dari para pendukung masing-masing kandidat saat diumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju (KIM). Tidak percaya? Coba cek media sosial. Kalau tidak coba cek dan tanya teman di grup media sosial atau dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah ada perubahan? Maksudnya, apakah ada perubahan pendapat sebelum dan setelah diumumkan kabinet? Jika teman anda itu tak ada perubahan berarti dia cukup normal. Sengaja diam atau justru semakin sewot?
Beberapa gejala yang muncul setelah pengumuman KIM ada beberapa hal yang saya amati. Lihatlah pendukung Pak Jokowi mulai gerah karena memasukkan Prabowo Subianto dalam kabinetnya. Padahal selama ini sosoknya dianggap “seteru” politik. Bahkan isu tuduhan “pelanggaran HAM” mulai lagi diembuskan. Dalam hal ini saya juga tidak tahu persis soal HAM itu. Fokus saya ada pada kebingungan atau kegelisahan bahkan kekecewaan pendukung Pak Jokowi selama ini.
ADVERTISEMENT
Bahkan ada sekelompok yang kecewa karena “jatah” menteri yang seharusnya selama ini diberikan lepas. Buntutnya, kelompok mereka ini mundur dengan teratur untuk tak berada di depan sebagaimana kelantangan suaranya selama ini. Lalu, selama ini yang diharapkan apa hanya jabatan? Bagaimana dengan teriakan-teriakan ideal yang terdengar nyaring selama ini?
Pendukung Prabowo juga tak jauh berbeda. Mereka yang menjadi pendukung loyal mulai hilang. Mengapa? Prabowo dianggapnya mengkhianati perjuangan. Mengapa harus bergabung dengan pemerintah? Mengapa tidak menjadi oposisi yang dianggapnya lebih keren dan bermartabat? Anggapannya begitu.
Lalu kelompok ini mulai mendiskreditkan bahwa Prabowo itu ternyata “ingkar janji”. Lebih parah lagi dituduh sebagai antek asing juga atau bahkan mendukung pemerintahan yang di belakangnya ada “PKI”. Kenapa harus ikut antek asing? Mengapa harus ikut mendukung “PKI”. Nah, macam-macam tuduhan yang kemudian dialamatkan kepada Prabowo. Terus selama ini kepentingan mereka apa? Apakah hanya “menumpang” untuk suatu tujuan?
ADVERTISEMENT
Sebut saja salah satu pendukung Prabowo itu “kelompok 212” (ini sebutan keren yang semua orang sudah tahu). Kelompok ini tentu butuh “tumpangan” untuk meraih tujuannya. Hanya Prabowo yang waktu itu memungkinkan untuk didukung. Jadilah mereka mendukung kandidat mantan Danjen Kopasus itu.
Seandainya, ini seandainya lho ya, bagaimana jika Prabowo bisa menjadi presiden? Apakah kelompok itu bisa mendesak Prabowo, misalnya, mendesak diberlakukannya syariat keagamaan sesuai keinginan mereka? Belum tentu. Prabowo tentu akan berpikir sekian kali lipat. Tak mudah mengganti ideologi negara selain Pancasila. Jadi, tak ada yang mustahil dalam politik, bukan?
Ada juga pendukung Ibu Susi Pudjiastuti yang pernah menjadi menteri cemerlang di era sebelumnya. Banyak yang kecewa karena Bu Susi tidak menjadi menteri lagi. Saya jadi ikut bingung, mereka ini siapa? Memang memilih menteri itu hanya berdasarkan profesionalitas dan mau bekerja? Nanti dulu. Jangan buru-buru.
ADVERTISEMENT
Menteri itu jabatan politis. Hanya dengan cara politik seseorang bisa menjadi menteri. Tentu saja ada menteri yang dipilih karena profesionalitas dan keahlian. Tetapi begitu dia menjadi menteri, keputusan yang diambil dan langkah kebijakan lain akan dipertimbangkan secara politis. Soal ini, sejarah sudah membuktikan. Pak Jokowi memilih seorang menteri tentu punya pertimbangan politis, bukan?
Karena Kekuasaan
Nah, sekarang pertanyaan muncul. Mengapa realitas politik sering kali berbeda dengan keinginan seseorang atau kelompok tertentu? Contoh kecil saja, mengapa Pak Jokowi harus memilih menteri tertentu dan tidak memilih menteri yang lain? Inilah kekuasaan. Semua yang berkaitan dengan politik akan dihitung dengan politik kekuasaan. Siapapun, di manapun dan kapanpun.
Apakah masyarakat umum paham kekuasaan? Inilah yang perlu dijelaskan. Jadi untuk apa masyarakat ikut-ikutan dukung-mendukung kekuatan politik jika akhirnya dicampakkan dan kecewa? Orang jadi bertanya, mengapa pula ikut-ikutan? Jangan sampai punya harapan besar sementara kenyataan tinggal angan-angan.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi ini soal politik yang sering tak bisa dihitung secara matematis. Mendukung dengan harapan besar belum tentu mendapatkan. Buntutnya, nanti bisa kecewa. Mending menjadi orang biasa yang tak ikut mendukung secara membabi buta. Mendukung seperlunya saja. Sebab, jangan-jangan masyarakat akan terus menjadi korban sementara elite politik “berpesta pora”.
Kita sekarang bicara kekuasaan. Pemilihan menteri KIM itu tentu atas dasar kepentingan kekuasaan. Sebagai pemerintah yang menjalankan tugas negara Pak Jokowi dan koalisinya tentu punya perhitungan matang. Mereka harus menguasai pihak-pihak yang bisa mengganjal kebijakannya nanti. DPR sudah dikuasai, MPR apalagi. Apakah dengan demikian persoalan akan menjadi selelsai? Tentu saja tidak.
Mengapa tiba-tiba Prabowo yang selama ini menjadi seteru akhirnya dimasukkan di jajaran menteri KIM? Ini persoalan politis tadi. Tentu Pak Jokowi dan kawan-kawan punya perhitungan politis saat ini dan masa datang. Tentu enggak tiba-tiba Prabowo diangkat menjadi menteri. Harus diingat bahwa setiap keputusan politik kekuasaan akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh “bargaining politik” tertentu. Masalahnya, masyarakat di luar sistem elite kekuasaan tidak akan paham soal ini.
ADVERTISEMENT
Tentu banyak spekulasi muncul mengapa Prabowo diangkat jadi menteri. Bisa persoalan untuk menyukseskan Pemilu 2012. Ingat PDIP dan Gerindra pernah berkoalisi dengan mengusung Megawati dan Prabowo menjadi kandidat presiden dan wakil presiden (2009). Juga, pernah mendukung Jokowi-Ahok jadi kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Apa yang tidak mungkin? Apakah semua itu juga persiapan untuk melawan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) atau bahkan Anies Baswedan di tahun 2024? Semua serba mungkin.
Yang jelas, semua bentuk sistem pemerintahan akan dikelola secara politik. Memilih menteri pun tentu pertimbangan politik. Pak Jokowi dan teman-temannya memilih Prabowo untuk merapat ke pemerintahan juga soal politik.
Kekuasaan itu sebenarnya mengumpul, jadi satu dan tidak terbagi-bagi. Elite politik menginginkan agar kekuasaannya tidak terbagi-bagi. Kekuasaan bagaimanapun juga harus mengumpul jadi satu dan konstan. Ini gejala kekuasaan di setiap sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Jadi jangan heran jika untuk memperkuat kekuasaannya, Pak Jokowi dan teman-temannya menggandeng oposisi. Tujuannya apa? Untuk memperkuat kekuasaan. Ini juga akan dilakukan pihak oposisi jika suatu saat berkuasa. Sejarah telah membuktikan itu semua. Jadi, selayaknya kita berkaca dari sejarah. Bahwa kekuasaan itu kepentingan. Akhirnya karena kepentingan maka kebijakan sangat mungkin diputuskan secara politik.
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB