Mengapa Netizen Cenderung Kejam di Media Sosial?

13 September 2017 10:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tim media sosial (Foto: Getty Image)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tim media sosial (Foto: Getty Image)
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, “kejamnya ibu kota tak sekejam media sosial”. Bahkan Presiden Jokowi pun mengakui kejamnya media sosial dengan berujar, ”Media sosial di Indonesia kejam banget!”
ADVERTISEMENT
Lalu mengapa netizen cenderung kejam di media sosial? “Salah satu kesimpulan dalam tesis saya, orang cenderung lebih berani mengungkapkan pendapatnya dalam komunikasi bermediasi komputer (CMC/computer mediated communication),” ujar Sigit Widodo, Direktur Operasi Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), dalam perbincangan dengan kumparan (kumparan.com), Rabu (13/9).
Sigit menulis tesis tentang komunikasi virtual di internet saat mengambil gelar master di Universitas Indonesia. Menurut Sigit, komunikasi virtual memiliki ciri anonimitas yang kuat, rendahnya kendala psikologis karena komunikasi dilakukan tanpa melihat lawan bicaranya, serta umpan balik yang tidak harus dilakukan secara serta merta dalam beberapa jenis peranti komunikasi.
“Dari hasil penelitian ini diperoleh, rendahnya kendala psikologis menyebabkan terjadinya keberanian dan ketegasan dalam berkomunikasi (communication apprehension dan assertiveness) yang lebih besar dibandingkan komunikasi secara tatap muka,” ungkap Sigit.
ADVERTISEMENT
Riset itu disusun Sigit pada tahun 2003. “Meskipun teknologinya berkembang pesat dalam 14 tahun terakhir, tapi pola komunikasi berbasis internetnya tidak berubah sejak tesis saya tersebut,” ungkap dosen komunikasi sejumlah kampus swasta di Jakarta ini.
Sigit memaparkan, untuk kasus Indonesia, ada kesantunan sosial yang sangat tinggi dalam komunikasi tatap muka. Dalam bersosialisasi di tengah masyarakat, kita banyak dibatasi oleh norma-norma sosial.
Namun batasan sosial itu tidak terlihat di media sosial. “Media sosial membuat kita tidak perlu berpura-pura santun di hadapan orang lain, sehingga pendapat yang muncul adalah pendapat yang benar-benar muncul dari pikiran yang terdalam,” bebernya.
ADVERTISEMENT
Di negara Barat yang batasan sosialnya cenderung tidak serigid negara Timur pun memiliki kehidupan bermedia sosial yang tak kalah kejam.
Internet seperti dunia digital berbahan bakar alkohol, membebaskan orang-orang untuk mengatakan sesuatu kepada orang asing yang tidak akan pernah kita katakan jika kita bertemu dengan mereka.
"Orang-orang dengan minat sama (di internet) berkumpul, tapi seringkali mereka akan hancur karena internet memberi orang kesempatan untuk mengatakan hal-hal yang tidak akan Anda katakan secara langsung," kata Dave Harte, dosen komunikasi media dari Birmingham City University, seperti dikutip dari BBC.
Mungkinkah Aslinya Kita Kejam secara Sosial?
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, Sigit juga punya dugaan jangan-jangan sifat orang Indonesia memang sebetulnya kejam secara sosial seperti yang ditampakkannya di media sosial.
“Menurut saya di media sosial justru muncul sifat asli orang Indonesia yang kejam secara sosial. Apa yang kita tampilkan selama ini di dunia nyata, menurut saya justru yang artifisial karena mengikuti norma kesantunan yang memang sangat kuat di Indonesia,” sebut Sigit.
“Mana ada orang Indonesia ketemu menteri, lalu ngomong, "Goblok lu!", misalnya. Namun, sebetulnya di dalam hati, kita pingin banget bilang begitu. Di dunia maya, ini bisa dengan mudah dilakukan,” jelas Sigit.
Meski demikian, menurut Sigit, apabila kekejaman itu berasal dari individu yang benar, sebetulnya tidak masalah. ⁠⁠⁠”Selama "kekejaman" itu memang ekspresi masyarakat, menurut saya justru akan semakin mendewasakan demokrasi kita. Lebih baik saling memaki di medsos ketimbang melakukan tindakan kekerasan di dunia nyata,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Namun, yang paling penting, tiap pengguna medsos harus sadar bahwa apa yang dia sampaikan tidak boleh melanggar hukum. Misalnya, tidak boleh menyebarkan berita bohong, atau menyulut kebencian pada suatu kelompok.
“Selama itu dipatuhi, "kekejaman" di medsos seharusnya masih dalam taraf yang bisa ditoleransi,” kata Sigit.
Menurut Sigit, yang jadi masalah apabila kekejaman itu ternyata direkayasa, seperti dimunculkan dari akun-akun palsu, misalnya.
Sigit merujuk pada kelompok-kelompok yang "beternak akun" untuk tujuan tertentu. Misalnya membuat ratusan, atau bahkan ribuan akun, untuk menyerang kebijakan pemerintah.
“Kalau kritikan terhadap kebijakan pemerintah datang dari akun asli, itu kan justru bagus sebagai bagian dari demokrasi. Tapi kalau yang kritikan, atau bahkan hujatan, datang dari "akun-akun ternakan" tadi, kan jadi tidak sehat. Satu orang tidak puas terlihat menjadi ribuan orang tidak puas. Satu orang memaki, seolah-olah makian dari ribuan orang,” jelas Sigit.
ADVERTISEMENT
Dalam bermedia sosial atau berkomunikasi lewat internet, ada baiknya kita ingat imbauan-imbauan Pak Polisi, pihak yang rajin menggelar patroli maya dan tak segan menciduk para penebar kekejaman yang berpotensi merusak persatuan bangsa: