Penerbit Indie, Batu Loncatan Para Penulis Pemula

5 Oktober 2017 12:32 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buku "Si Botak Si Belang Si Buta" (Foto: Amanaturrosyidah - Prima Gerhard/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buku "Si Botak Si Belang Si Buta" (Foto: Amanaturrosyidah - Prima Gerhard/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian besar penulis, puncak tertinggi kariernya adalah ketika karyanya bisa dipublikasikan dan diapresiasi khalayak ramai. Maka, dipinang oleh sebuah penerbit menjadi kebanggaan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan dunia literasi, geliat penerbitan kian suram, dikalahkan oleh teks-teks berbasis digital. Meski demikian, penerbitan indie justru menjamur dan menjadi ladang bisnis yang dipandang cukup potensial.
“Sebenarnya, penerbitan indie dan self-publishing itu berbeda. Tapi kalau sekarang, orang cenderung mengenalnya menjadi satu kesatuan,” ujar Devi Cahayani Eka Putri, General Manager Loka Media, saat berbincang dengan kumparan di kantornya, Mampang Prapatan II, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, dalam self-publishing, penulis harus mengurus sendiri naskah yang ingin diterbitkan. Mulai dari proses editing naskah, pembuatan layout, design cover, percetakan hingga penjualan. Sementara perusahaan penerbitan sebatas membantu dalam proses pendaftaran ISBN (International Standard Book Number) di Percetakan Negara.
“Penerbit indie bisa dibilang skala kecilnya penerbit major. Jadi, penulis tinggal mengirimkan naskah yang kemudian kami seleksi. Setelah itu, semua prosesnya penerbit yang menanggung. Bedanya, jumlah cetaknya tidak sebesar di penerbit major dan pemasarannya terbatas, belum bisa masuk toko buku,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, menurut Devi, selain minat baca yang tak seberapa, animo terhadap buku fisik juga jauh berkurang. Banyak orang lebih memilih membaca dalam bentuk digital. Akibatnya, seleksi naskah di penerbitan mayor pun diperketat. Hanya penulis yang sudah punya nama yang diprioritaskan.
“Makanya, penulis muda dan penulis baru banyak beralih ke penerbitan indie. Bagaimanapun, bisa punya buku adalah kebanggaan tersendiri,” ujar Devi yang baru memulai usaha penerbitan setahun lalu, pada 2016.
Owner Loka Media, Devi Eka (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Owner Loka Media, Devi Eka (Foto: Amanaturrosyidah/kumparan)
Meski “hanya” penerbitan indie, Devi tak mau sembarangan mengambil naskah. Baginya, selain memuaskan penulis, memuaskan pembaca adalah prioritas penting.
“Kami juga ada seleksi. Kalau misalnya (penulis) tidak lolos, atau tidak mau melewati proses seleksi, kami juga punya lini usaha self-publishing yang berbayar. Jadi, penulis membayar sendiri biaya layout, desain cover, hingga percetakan. Kami paling hanya membantu memasarkan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Walau tak secanggih penerbitan major yang menjanjikan setiap produknya masuk ke toko buku besar, penerbitan indie bisa menjadi alternatif batu loncatan bagi penulis pemula dalam menelurkan karya. Namun dengan catatan, si penulis harus aktif mempromosikan karyanya sendiri.
“Bisa juga kalau mau masuk ke toko buku. Asal berani bayar biaya cetak paling tidak 1.000 eksemplar. Sebab itu taruhan yang terlalu besar,” imbuh Devi yang masih berstatus mahasiswa itu sambil tertawa kecil.
Buku terbitan Loka Media. (Foto: Fanpage Loka Media)
zoom-in-whitePerbesar
Buku terbitan Loka Media. (Foto: Fanpage Loka Media)
Peluang terbit dan royalti lebih besar membuat penulis-penulis muda yang tak sabar, akhirnya memilih menerbitkan karya melalui penerbit indie.
Amat wajar, sebab untuk menerbitkan buku di penerbit mayor, penulis harus melewati proses seleksi yang bisa memakan waktu 3 bulan bahkan hingga satu tahun lamanya. Itu pun, belum tentu karya tersebut akan dipilih.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut membuat penerbit indie menjadikan para penulis muda sebagai pasar potensial mereka. Lima tahun belakangan, meski banyak orang beralih ke buku digital, penerbitan indie terus menjamur. Loka Media milik Devi misalnya.
“Awalnya, Loka cuma salah satu lini penerbitan Pena House. Jadi, meski punya kebijakan sendiri, untuk pembuatan ISBN kami dulu masih mendompleng akun Pena House. Untuk satu naskah, kami harus bayar Rp 50.000 sebagai biaya bukti terbit ke PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,” jelas Devi.
Di kemudian hari, Loka berdiri sendiri, berpisah dengan Pena House. Dan meski baru setahun berdiri, Loka sudah cukup dikenal di kalangan penulis. Sedikit demi sedikit, pendapatan Loka pun mulai meningkat.
Devi tak sendiri membesarkan nama Loka. Ia menyaring ketat orang-orang yang membantunya, yakni beberapa penulis seperti Idha Febriana, Vivie Hardika, Wulan Kenanga, Indah Larassati, Lisma Laurel, Anita Utami, dan Erika Putri Gustiana.
ADVERTISEMENT
“Mungkin saat ini belum bisa menggaji seperti perusahaan umumnya. Tapi saya ingin, Loka bukan seperti perusahaan di mana ada bos dan anak buah, tapi menjadi usaha bersama. Jadi kami susah bersama dan maju bersama untuk Loka. Ibaratnya, semua punya saham di Loka,” kata dia.
Ariny NH, penulis dan owner penerbit buku indie. (Foto: Facebook Ariny Nurul Haq)
zoom-in-whitePerbesar
Ariny NH, penulis dan owner penerbit buku indie. (Foto: Facebook Ariny Nurul Haq)
Ada Loka Media, ada pula Arsha Teen Publisher yang dibesarkan oleh Ariny Nurul Haq, penulis dan motivator difabel yang telah melahirkan sejumlah novel di major publisher.
Dalam waktu setahun, Arsha Teen menerbitkan lebih dari 50 judul buku. Ariny mengatakan, “Pokoknya, misi Arsha Teen untuk memotivasi penulis muda agar berani berkarya. Soal untung, itu bonus. Makanya kami cukup produktif menerbitkan buku.”
Ariny juga membuka tangan lebar jika ada yang tertarik membangun usaha penerbitan indie sepertinya. Namun ia mewanti-wanti para pengusaha dan penulis baru agar berhati-hati sehingga tak tertipu.
ADVERTISEMENT
“Karena indie itu relatif bebas, jadi banyak juga penipuan berbasis penerbitan indie. Itu yang kami hindari dan sering kami peringatkan,” kata dia.
Perjuangan Ariny
Ariny sendiri sosok yang luar biasa. Kurang dari satu dekade, ia yang dulu biasa saja kini berubah menjadi penulis, pengusaha, serta motivator handal yang bolak-balik diundang media.
Lebih dari 20 tahun lalu di Martapura, Kalimantan Selatan, Ariny lahir dengan kondisi fisik kurang sempurna. Tulang kakinya rapuh dan patah saat dalam kandungan, berbentuk O dan membuatnya tak bisa berjalan.
“Dulu setiap sekolah digendong. Tapi cuma sampai SMP, soalnya sering di-bully sama orang-orang,” kata Ariny, bercerita pada suatu sore.
Meski hanya memegang ijazah SD, Ariny tidak pernah merasa masa depannya akan suram. Ia, meski tak mengenyam pendidikan formal, tetap rajin membaca dan mulai memberanikan diri menulis dan mengikuti lomba.
ADVERTISEMENT
“Sering kalah lomba. Waktu ngirim (naskah) ke penerbit juga udah enggak kehitung berapa kali ditolak. Itu cambuk agar bisa lebih baik lagi. Jadi saya enggak nyerah,” kata dia.
Lambat laun, kemampuan Ariny terasah cukup baik. Beberapa novel karyanya bahkan berhasil dilahirkan lewat penerbit besar dan bisa didapatkan di toko buku seluruh Indonesia.
Tak puas hanya berkarya, Ariny mulai memberanikan diri membuka lini penerbitan indie pada 2014 yang ia beri nama Arsha Teen Publisher. Usahanya itu belum berdiri sendiri, masih mendompleng penerbit indie lain sebagai lininya.
Arsha Teen 2016 (Foto: Dok.  Fanpage Arsha Teens)
zoom-in-whitePerbesar
Arsha Teen 2016 (Foto: Dok. Fanpage Arsha Teens)
“Perbedaan Arsha Teen dengan yang lain, di kami ada yang namanya pembataian naskah. Jadi, naskah yang masuk langsung kami bantai agar penulis bisa belajar,” kata Ariny.
ADVERTISEMENT
Lewat pembantaian naskah, ia memberikan tanda pada penggunaan kata yang tak tepat, typo, dan memberikan komentar. Setelah itu, naskah dikembalikan ke penulis untuk diedit ulang, hingga akhirnya tulisan tersebut layak terbit.
Ariny juga memberikan kesempatan kepada penulis untuk menentukan sendiri harga jual karyanya. Tentu, dengan catatan harga yang dipatok harus di atas harga cetak.
“Saya sendiri ambil untung dari harga cetaknya. Untuk satu buku, ambil untung Rp 10.000. Itu kalau layout, editing dan desain cover saya kerjakan sendiri. Tapi kalau dibantu orang, biasanya nambah Rp 5.000 untuk bayar orang,” jelas Ariny.
Untuk menekan biaya, Ariny berusaha untuk belajar membuat layout, design cover, dan editing sendiri. Dalam menggarap satu buku, ia mematok maksimal hanya perlu dibantu satu orang, sehingga penulis tak perlu keluar biaya lebih banyak.
ADVERTISEMENT
“Penerbitan indie kalau enggak gitu bisa bangkrut. Sampai saat ini belum pernah ada yang protes, kok,” ujar Ariny, menekankan pada para penulis untuk belajar mengatur semuanya hingga proses kelahiran buku.
Tak hanya menerbitkan buku, Ariny juga kerap menggelar acara untuk mendorong para penulis muda berkarya dengan baik, efektif, dan cepat.
“Arsha Teen itu misinya membantu penulis pemula agar punya karya, plus ngasih ilmu ke penulis,” ujarnya.
Ariny, sang penyandang disabilitas yang korban bullying tamatan SD, kini bertransformasi menjadi pendidik para novelis remaja Indonesia.