Berbicara Santun dengan Pantun

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2020 10:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Foto: Andrys (dari Pixabay).
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Foto: Andrys (dari Pixabay).
ADVERTISEMENT
“Daun Bidara Gugur Sehelai, Jatuh di Kolam di Kebun Raya, Sebelum Acara Akan Dimulai, Terimalah Salam darilah Saya”
ADVERTISEMENT
Spontan peserta menjawabnya: Cakeeepp. Sontak, atmosfer acara pun mencair seketika. Sang pimpinan instansi riset pemerintah itu pun melanjutkan dengan ucapan salam kepada para tamu undangan.
Pantun di atas adalah pantun seorang pimpinan instansi riset, sebelum berpidato membuka sebuah acara. Dirinya langsung mendapat perhatian lebih dari para undangan gegara pantun tersebut. Karena sebagai tradisi lisan berbahasa, pantun adalah budaya khas Indonesia yang cukup efektif mencairkan suasana. Pantun tersebut ibarat ice breaker atau berfungsi untuk memecahkan suasana yang kaku (Rosadi dan Lesmana, 2020).
Fenomena pembacaan satu dua pantun sebelum acara dimulai, menjadi marak di lingkungan instansi pemerintahan. Tak ayal, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pun membacakan beberapa pantun saat memimpin pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden dan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024 lalu.
ADVERTISEMENT
Salah satu pantunnya yang ia persembahkan untuk Prabowo Subianto, sebagai bentuk apresiasi telah hadir dalam pelantikan Jokowi, rimanya berpola a-a-a-a berbunyi:
"Dari Teuku Umar ke Kertanegara, Dijamu Nasi Goreng oleh Ibu Mega. Meski Pak Prabowo Tak Jadi Kepala Negara, Tapi Masih Bisa Berkuda dan Berlapang Dada”
ADVERTISEMENT
Kondisi ini sebetulnya menggembirakan bagi perkembangan budaya dan bahasa Indonesia. Namun menjadi miris ketika generasi baby boomer marak menggunakan pantun dalam komunikasi mereka, namun generasi milenial malah sedikit demi sedikit meninggalkan bahasa Ibu mereka. Banyak generasi muda zaman now, saat berkomunikasi dengan teman sebayanya menggunakan bahasa asing atau bahasa alay. Misal “Elo, Gua, End”. Alasannya, biar gaul atau kedengeran lebih keren.
Pantun Alat Komunikasi Beragam Tujuan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan definisi tersebut, menurut Sadeli (2019), pantun adalah bagian dari sastra (puisi) lama yang tujuannya sebagai alat komunikasi dengan ragam tujuan. Pantun dapat menjadi sarana menyampaikan nasihat, memberi hiburan, bahkan dapat dijadikan alat kritik sosial, tanpa harus melukai perasaan orang yang mendengarnya. Itulah salah satu kelebihan pantun.
Dalam buku "Bloemlezing Uit Het Klassiek Maleis" atau Bunga Rampai Melaju (Melayu) Kuno karya Dr. M.G. Emeis (1949) dikatakan: “pantun itu merupakan seni ra’jat asli. Tiap-tiap orang harus dapat menjatakan isi hatinja dalam pantun. Baik yang tua-tua waktu berpidato, bersenda gurau atau menyindir. Buat anak muda untuk menjatakan kasihnja”.
Menurut Budayawan dan Sejarawan Betawi Yahya, Andi Saputra (2019), pantun menjadi penting dan strategis karena merupakan bentuk media komunikasi untuk menghindari penggunaan dialog sehari-hari yang kemungkinan penuh dengan kata-kata kasar. Jadi fungsi pantun pada upacara itu bertujuan memperhalus bentuk dialog sehingga suasana yang dibangun pada saat itu adalah suasana saling hormat-menghormati, sakral dan santun, sambil tidak menghilangkan kesan meriah.
ADVERTISEMENT
Teknik Menyusun Pantun
Umumnya pantun terdiri dari empat baris, setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, terdapat sampiran dan isi, memakai rima berpola a-b-a-b. Berikut contoh beberapa pantun bertema Pekan Ilmiah Remaja (PIR) dan Pekan Ilmiah Remaja Regional (PIRR). Pantun ini disiapkan penulis untuk pejabat instansi riset yang memberikan sambutan. Berikut pantunnya:
Sampiran (ap-at) : “Makan Roti Dikasih Kecap, Minum Jamu Jadikan Obat dan Isi (ap-at) : Selamat Mengikuti PIR Cilacap, Tambah Ilmu Tambah Sahabat”
Sampiran (ke-et) : “Dari Kramat Jati ke Jatiroke, Main Rebana dibuat Kaset dan Isi (ke-et): Selamat Mengikuti PIRR Merauke, Semoga Berguna Semangat Meriset
Sampiran (ah-at) : “Naik Pedati Tersenyum Sumringah, Sejenak Rehat Sekedar Berjabat dan Isi (ah-at) : Selamat Mengikuti PIRR Jawa Tengah, Semoga Sehat Ilmunya Manfaat”
ADVERTISEMENT
Pantun di atas menggunakan aturan lebih ketat daripada umumnya. Tidak hanya rima di akhir tiap baris sampiran yang diperhatikan, namun rima di akhir suku kata pada kata kedua/ketiga setiap baris sampiran pun disesuaikan dengan rima di akhir suku kata pada kata kedua/ketiga isi pantun.
Mari kita coba membuat pantun seperti di atas. Pertama-tama tentukan dahulu temanya. Apakah ingin membuat pantun bertema sambutan atau penutupan acara, pantun bertema agama atau bertema percintaan. Lalu mulai buat dua baris isi. Perhatikan suku kata dari isi, berikut pola rimanya. Terakhir buatlah sampiran yang disesuaikan dengan isi pantun.
Contoh pantun bertema penutup acara. Pertama-tama kita siapkan dua baris isi. Misalnya: “Maaf Dipinta pada Bapak/Ibu Sekalian, Jika Ada Silap Kata Sajian Tak Berkenan”
ADVERTISEMENT
Lihat pola rima isi tersebut, baik di akhir suku kata kedua pada kata kedua dan rima pada akhir baris kedua masing-masing ta dan an. Begitu pula pola rima yang sama pada baris kedua isi.
Selanjutnya kita susun sampiran yang ada korelasinya denga rima yang sesuai, maka didapatlah: “Batu Permata Batu Berlian, Hiasan Mahkota Raja dari Yunan”
Bagaimana? Mudah kan? Yuks berbicara santun dengan pantun.
“Bakar Ikan si Ikan Tenggiri, Enggak Dijaga Digondol Kucing. Nyok Lestarikan Budaya Sendiri, Jangan Bangga Budaya Asing”.