Bergurau Biar Tak Galau

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2020 18:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bergurau. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bergurau. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Bergurau atau bercanda sepertinya menjadi terapi gratis biar tak galau ketika stress melanda. Bagaimana tidak stress, pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung lama membawa situasi psikologis yang cukup meresahkan bagi rakyat Indonesia. Tiga efek psikologis pemicu stress tersebut yakni krisis, uncertainty (ketidakpastian), dan loss of control.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan oleh Psikolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Laelatus Syifa (2020), seperti di lansir Kompas.com. Menurut Syifa, munculnya stress juga dapat diakibatkan dari faktor perekonomian, urusan keluarga di mana kondisi ini pun cenderung membuat seseorang tidak mau mematuhi aturan.
Bergurau atau bercanda merupakan bumbu penyedap komunikasi dalam percakapan/ pergaulan sehari-hari. Bahkan bergurau dan bercanda dijadikan profesi tetap seperti pelawak/ komedian atau komika/ stand up comedy. Dengan bergurau akan membuat orang terhibur, mencairkan suasana/ ice breaking, menghilangkan ketegangan, meredakan amarah dan tak jarang dalam gurauan memunculkan bibit persahabatan dan persaudaraan.
Dalam Al Quran Q.S. An Najm ayat 43, Allah menjelaskan bahwa tertawa dan menangis adalah fithrah yang Allah SWT anugerahkan pada manusia: “Wa annahu huwa adh-haka wa abkaa", yang artinya “Dan bahwasanya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis”.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Rasulullah SAW yang mengatakan: "Tabassumuka Fii Wajhi Akhiika Shodaqoh" yang artinya “Senyummu di hadapan saudaramu adalah shodaqoh.” (HR. Tirmidzi)
Bergurau ala Nabi SAW
Suatu hari Nabi SAW mendatangi mu’adzdzinnya Bilal bin Rab’ah pada ‘Idul Adha. Rasul bertanya pada Bilal, “ Kamu berqurban apa, Bilal?”. Bilal menjawab,” Aku tidak memiliki apa-apa untuk disembelih kecuali ayam jago, maka aku akan menyembelihnya,” ujar Bilal. Sambil bercanda Nabi menimpali,” “Mu’adzdzin dhohha bi mu’adzdzin”, yang artinya “Mu’adzdzin menyembelih mu’adzdzin”. Karena ayam juga mengingatkan orang shalat sama seperti Bilal. Makanya ayam dilarang dicela sebab ia menyeru orang shalat “Laa tasubbu ‘addiik, fa-innahu yad’u ilash sholah”.
Lain lagi dengan Sahabat Umar bin Khaththab r.a. Suatu hari Rasulullah SAW sedang makan buah kurma sambil duduk-duduk bersama dengan para sahabatnya. Tiba-tiba muncul niat iseng dalam diri Umar. Biji kurma yang sudah habis di depannya diambil dan diletakkan di depan Rasulullah SAW sambil menunjuk ke arah tumpukan biji kurma di hadapan Rasulullah SAW. Di depan Rasulullah SAW, Umar berkata,”Lihatlah betapa Rasulullah SAW makan kurma banyak sekali”. Mendengar perkataan Umar, Nabi tidak marah. Beliau tersenyum dan dengan diplomatis menjawab, “Itu belum seberapa, lihat Umar yang bahkan biji-biji kurmanya sampai tidak tersisa sedikit pun”. Umar pun tersenyum malu.
ADVERTISEMENT
Tidak Ada Nenek-Nenek di Surga
Kisah yang cukup familiar adalah sebagaimana diriwiyatkan H.R. Tirmidzi saat Rasulullah SAW ditemui seorang nenek yang bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah saya dapat masuk Surga?”. Rasul menjawab: “Maaf...nenek-nenek tidak akan masuk Surga”. Mendengar jawaban tersebut, sang Nenek menangis. Ia pun berfikir menerka-nerka, mungkin dengan usianya yang sudah tua pastilah sudah banyak dosa yang ia lakukan.
Namun ternyata Rasulullah SAW belum selesai bicara. Sambil tersenyum, Beliau berkata,” Janganlah bersedih, Nek”. “Memang nenek-nenek tidaklah masuk Surga, karena nenek akan menjadi muda kembali saat memasuki Surga,” tutur Rasulullah lembut. Mendengar jawaban Rasulullah tersebut, sang nenek pun tersenyum gembira.
Lihat, betapa gurauan dan candaan Rasulullah SAW bertujuan sebagai "idkhalus suruur” atau menyenangkan orang lain. Rasulullah SAW bukanlah pribadi yang kaku, menakutkan. Justru beliau murah senyum, sehingga betah dan nyaman bersama beliau yang mulya.
ADVERTISEMENT
Sehingga Abdullah bin Harits bin Jaz berkata: “Maa roaytu ahadan aktsaro tabassaman min Rasulillah SAW”, yang artinya “Tiadalah aku menemui seseorang yang telah banyak senyumnya daripada Rasulullah SAW”. (H.R. Tirmidzi)
Batas Bergurau
Namun bergurau tetap ada batasannya. Ibnu Hibban meriwayatkan: “Lil mar’i an yamzaha ma’a akhihil muslim bima laa yuharraamuhul kitaabu was sunnah”, yang artinya “Diperbolehkan bagi seseorang untuk bergurau dengan muslim saudaranya dengan candaan yang tidak diharamkan oleh Al Quran dan Sunnah.
Untuk menciptakan suasana segar, gurauan hendaknya menjauhi perbuatan yang tidak terpuji layaknya bicara kotor, dusta, mengolok-olok dan merendahkan sesama hanya demi mendapatkan tawa dari orang lain.
Nabi SAW bersabda: “Waylulladzi yuhadditsu fayakdzibu liyudhkhika bihil qawma waylullahu waylulluha", yang artinya “Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa) (H.R. Abu Dawud).
ADVERTISEMENT
Imam Nawawi menukil kata Ulama: “Al mizahul man hiyya ‘anhu huwalladzi fiihi ifratun wa yudaawamu ‘alaih”, yang artinya “Gurau yang dilarang itu adalah gurau yang melewati batas dan dilakukan terus menerus”. Mengapa? Karena akan menyebabkan keras hati (banyak tertawa), memalingkan zikir pada Allah, dengki, hilang wibawa, dan berpotensi menyakiti orang lain.
Lalu ada yang bertanya, apakah bergurau termasuk kemunkaran? Sufyan bin Uyainah menjelaskan,”Balhuwa sunnah, walakin liman yahsinuhu”, yang artinya “Bahkan sunnah, tetapi bagi orang yang bercanda baik”.
Jadi, hukum bergurau pada dasarnya mubah (boleh), selama materi bergurau/ candaan itu bersih dari semua yang terlarang atau diharamkan agama karena Nabi SAW juga bercanda. Sedangkan Imam Nawawi (Al Adzkar hal. 581) berpendapat bahwa bercanda dengan tujuan merealisasikan kebaikan, menghibur/ mencairkan suasana, maka itu tidak terlarang sama sekali, bahkan bergurau/ bercanda seperti itu termasuk sunnah yang mustahab (disukai). Demikian. Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT