Menjadi Guru Ngaji Al-Quran saat Kuliah di Bandung

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
10 September 2021 9:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Guru Ngaji dan Muridnya. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Guru Ngaji dan Muridnya. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Selepas lulus SMA di Plaju, Palembang tahun 1992, saya langsung meneruskan kuliah ke Kota Bandung, Paris van Java-nya Indonesia. Belum pernah sebelumnya saya menginjakkan kaki ke tanah Pasundan ini--kota yang disebut budayawan Belanda, Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau akrab dipanggil M.A.W. Brouwer diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Dan saya telah membuktikannya terutama saat hujan, tetesnya yang gerimis terasa ritmis, dan kembang-kembang bertaburan membuat Bandung memang romantis. Apalagi keberadaan para mojangnya yang gareulis, heuheuheu.
ADVERTISEMENT
Tapi bukan itu, kok, yang membuat saya akhirnya memutuskan melanjutkan kuliah ke Bandung. Banyaknya teman-teman seangkatan dari SMA asal yang akhirnya membuat saya membulatkan tekad menjadi mahasiswa di kota kembang ini. Mau tak mau berada di kota asing pasti memerlukan teman bertanya dan saling mendukung.
Atas rekomendasi teman ayah saya yang anaknya sudah kuliah lebih dahulu di Bandung, akhirnya saya tinggal di Jl. Lapang Tembak daerah sekitar Supratman-Cicaheum (Suci), Bandung. Sebenarnya bukan khusus daerah kost-kost-an, tapi rumah tinggal kompleks perumahan departemen perindustrian di Bandung yang dijadikan kost oleh pemiliknya. Di rumah tersebut saya 1 kost-an dengan 2 anak teman ayah saya yang kuliah di ITENAS. Saya sendiri akhirnya diterima di Sekolah Tinggi Ekonomi Bandung (STIEB) jurusan Akuntansi.
ADVERTISEMENT
Mulai Mengajar Ngaji
Seperti biasa setiap salat 5 waktu, saya membiasakan diri ke musala di belakang rumah kost yang masuk wilayah perkampungan. Karena sering salat di musala tersebut, lama kelamaan saya pun kenal akrab dengan ustaz sekaligus marbot di musala tersebut. Seorang pemuda sarjana S1 lulusan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Suatu saat selepas salat saya menyempatkan mengaji di sela-sela padatnya jadwal kuliah. Saya tak begitu memperhatikan kalau sang ustaz turut menyimak. Selesai salat, beliau mengajak saya berbincang-bincang di rumahnya yang sederhana dan minimalis—lebih tepatnya disebut kamar karena tak terlalu luas juga.
Pertanyaan dari asal-usul hingga dimana saya mengaji menjadi isi perbincangan kami sore itu. Dan akhirnya beliau meminta saya ikut membantunya mengajar ngaji di musala. Saya tak sendirian yang diminta ngajar ngaji, teman yang saya kenal karena sering bertemu saat salat ikut bergabung menjadi tim pengajar di musala. Luthfi nama teman saya tersebut—mahasiswa yang memutuskan menunggu 1 tahun lagi buat mendaftar ITB setelah tak lolos UMPTN tahun itu.
ADVERTISEMENT
Bismillah kami berdua resmi menjadi guru ngaji dengan bermodalkan hadits Nabi SAW: “Khairukum man ta’allamal Qur’aana wa ‘allamahu”, yang artinya: Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya (HR. Bukhari).
Metode ngaji Al-Quran yang saya ajarkan menggunakan metode Iqra’-nya KH. As’ad Humam. Murid-murid yang saya ajar beragam usia, mulai anak-anak, remaja, dan ibu-ibu. 1 pekan full jadwal saya mengajar selepas kuliah. Atmosfir mengajar berbeda-beda tentu saja. Kalau ngajar anak-anak memang harus super sabar, karena memang jiwa mereka masih senang bermain. Sedangkan kalau mengajar anak remaja harus bijaksana terutama remaja remaja perempuan yang agak malu-malu kalau saya ajarin, ehm. Sementara kalau ngajar ngaji ibu-ibu harus telaten. “Gempeur, ibu, mah diajar, pak Ustaz,” tutur salah seorang ibu.
ADVERTISEMENT
Bingung Mendapat Honor Mengajar Ngaji
Tak terasa 1 bulan sudah saya mengajarkan Al-Quran. Suatu sore, saya dipanggil Ustaz.
Bagaimana, senang nggak ngajar ngajinya?” tanya Ustaz.
Alhamdulillah senang, Ustadz,” jawab saya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Kang Ucan yang telah membantu saya selama ini bersama Kang Luthfi,” ungkapnya.
Sama-sama, Ustaz,” ujar kami berdua kompak.
“Ini sedikit bisyarah atas kesediaan mengajar ngaji selama sebulan ini,” ucap beliau sambil menyodorkan amplop.
Waah, nggak usah Ustaz, saya ikhlas, lillaahi ta’ala,” kata saya bingung. Maklumlah belum pernah menerima honor karena belum pernah bekerja sebelumnya, heuheuheu.
Ya sudah, terima saja. Terserah nanti Kang Ucan mau dipakai pribadi atau diinfaqkan kembali," sarannya.
Oh, kitu'? Labbaik, Ustazi,” pungkas saya.
ADVERTISEMENT
Tak lama saya pun memasukkan amlop ke kotak infaq musala. Alhamdulillah.
Sekitar setahun lamanya saya mengajar ngaji di musala dekat kost saya tersebut hingga akhirnya saya harus pamit meninggalkan sang Ustadz dan murid-murid ngaji ketika saya mulai kuliah dua kampus di Jurusan Bahasa Perancis Fakultas Bahasa dan Sastra Unpad, di Jatinangor. Kesibukan kuliah membuat saya susah membagi waktu antara kampus dan mengajar ngaji. Dan akhirnya saya pun total pindah ke Jatinangor setelah melepas kuliah di STIEB dan memilih meneruskan kuliah di UNPAD.
Yang pasti teruslah berbuat kebaikan karena kebajikan itu menular. Dalam konteks waktu saya mengajar ngaji Al-Quran, tentu saja ilmu yang saya ajarkan menular ke para murid-murid beragam usia tersebut. Insya Allah menjadi kebaikan yang terus mengalir dan menular ke banyak orang. Siapa tahu mereka pun mengajar ngaji juga. Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT
***
Suzan Lesmana - Pranata Humas BRIN