news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyoal Hegemoni Budaya Film Hollywood

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2020 6:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hegemoni Budaya Film Hollywood. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hegemoni Budaya Film Hollywood. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Anda penggemar Film Hollywood? Sudahkah Anda menonton 10 Film Hollywood Terlaris Sepanjang Masa? Belum lama ini, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (27/9), dari 10 Film Terlaris Sepanjang Masa yang meraup untung besar didominasi film-film Hollywood.
ADVERTISEMENT
Kesepuluh film tersebut yakni: Avengers: End Game, 2019 (untung sekitar Rp 39 triliun); Avatar, 2009 (untung sekitar Rp 39 triliun); Titanic, 1997 (untung setara Rp32 triliun; Star Wars: The Force Awakens, 2015 (untung sekitar Rp 30 triliun); Avengers: Infinity War, 2018 (untung setara Rp29,9 triliun); Jurassic World, 2015 (untung setara Rp 24,4 triliun); The Lion King, 2019 (untung setara Rp 24,2 triliun); The Avengers, 2012, (untung sekitar Rp 22,2 triliun); Fast and Furious 7, 2015 (untung setara Rp 22,1 triliun.; dan Frozen II, 2019 (untung sekitar Rp 21,2 triliun).
Wajar bila Avengers: End Game bertengger di urutan puncak. Mengutip twitter Bicara Box Office, tercatat sebanyak 11 juta orang menonton Avengers End Game di bioskop Indonesia pada tahun lalu. Artinya penonton Indonesia berkontribusi sekitar US$ 34 juta atau setara Rp 476 miliar.
ADVERTISEMENT
Avengers: End Game memang benar-benar membuat ”kesengsem” masyarakat penonton film Indonesia. Saat itu, sejak tayang pertamanya di bioskop-bioskop Jakarta, penonton rela antre panjang untuk menyaksikan kelompok pahlawan super seperti Iron Man, Captain America, Hulk, Thor, Black Widow, Hawk Eye. Sepertinya masyarakat kita memang butuh seorang superhero untuk konteks Indonesia, meski itu hanya fiksi? Hollywood pun hadir dengan ”Avengers”, sebuah representasi heroisme versi Hollywood yang sudah ditunggu-tunggu penggila setianya sejak The Avengers (2012), The Avengers: Age of Ultron (2015), Avengers: Infinity War (2018), hingga Avengers: End Game pun hadir.

Film: Kerajaan Bayang-Bayang

Kondisi di atas menunjukkan betapa sebuah film Hollywood sanggup membius penonton tanah air bahkan juga masyarakat dunia karena penciptaan fantasi dan mimpi penontonnya akan bayang-bayang yang hanya dalam alam pikirannya ke dalam sebuah gambar hidup yang memukau karena konten, tema dan teknologi yang diusungnya. Schwartz (2003) menyatakan film secara formal adalah sebuah "kerajaan bayang-bayang", berpesiar tidak hanya antar tetapi juga menyeberang batasan-batasan nasional dengan sebuah cara yang membedakan secara fundamental kehidupan dari produk-produk ekonomi lainnya. Film adalah artefak budaya visual dengan sejarah formal dan estetik.
Ilustrasi Film: Kerajaan Bayang-Bayang (Schwartz, 2003). Sumber: freepik.com
Sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah film Indonesia mampu bersaing dengan film Hollywood, bahkan mendominasi penjualan tiket di jaringan bioskop utama di Indonesia. Seperti Warkop Reborn dan Dilan dapat bersaing dalam merebut jumlah penonton. Dan bahkan film AADC2, Ada Apa Dengan Cinta 2 dapat menyeimbangi film Avengers, Captain America: Civil War ketika keluar pada waktu yang bersamaan. Menurut catatan situs web filmindonesia.or.id, film-film ini memperoleh jumlah penjualan tiket di atas enam juta lembar.
ADVERTISEMENT
Namun secara umum, kuantitas penonton film Indonesia masih kalah dibandingkan dengan film Hollywood. Ketika film-film Hollywood yang besar itu keluar, pastilah bioskop didominasi film-film Hollywood tersebut. Mau tak mau, suka tak suka, film Indonesia tersingkir.

Film Hollywood: Hegemoni Budaya AS?

Adalah sebuah kenyataan empiris untuk dikatakan saat ini bahwa film-film Hollywood (baca Amerika Serikat/ AS) telah mengglobal masuk dalam kehidupan warga dunia termasuk Indonesia. Kita dapat menonton film-film box-office AS seperti “Avengers: End Game” di bioskop-bioskop lokal. Di stasiun televisi kita pun entah sudah berapa kali diputar film “Titanic”. Apakah ini gejala hegemoni budaya AS sudah merasuk ke Indonesia?
Sebentar... janganlah terburu-buru mengatakan bahwa gejala tersebut adalah sama dengan hegemoni budaya AS. Begini...menurut penulis, Pertama, masuknya budaya populer AS tidaklah mudah karena begitu kuatnya budaya lokal. Sebut saja budaya Bali yang belum luntur terpengaruh budaya Barat meski Pulau Bali selalu diserbu turis-turis mancanegara lengkap dengan budaya masing-masing yang dibawanya. Tapi lihatlah, Bali tetaplah Bali. Malah turis yang datang melintas batas dan benua justru ingin melihat keaslian budaya Bali. Jadi, tak ada alasan untuk khawatir akan hegemoni budaya Barat juga film-film Hollywood.
ADVERTISEMENT
Kedua, bahwa khalayak Indonesia bukanlah khalayak atau penerima yang pasif. Khalayak diibaratkan sebagai penerima yang aktif menginterpretasikan isi media dan dengan demikian bisa menjadi mediator dan menegosiasikan pemaknaan pada budaya (Ang, 1985; Morley, 1986). Interpretasi khalayak pada pesan media yang sama pada dasarnya berbeda (Liebes dan Katz, 1990). Pengguna media cenderung untuk selektif memilih pesan media. Proses seleksi dan pemahaman pengguna media sangat dipengaruhi oleh khalayak lain atau persepsi budaya dan pengalaman masing-masing individu (dalam Banerjee, 2002). Bila kita pikir sebuah film tidak sesuai dengan keinginan dan selera kita maka dengan mudah kita bisa keluar bioskop atau mengganti saluran TV kita.
Penulis sendiri meyakini bahwa sebuah budaya takkan sebegitu mudahnya mendominasi atau bahkan menghilangkan budaya lainnya. Dalam konteks ini adalah budaya AS terhadap budaya Indonesia yang sangat kaya keragamannya. Proses akulturasi pun akan menghadapi rintangan dan tembok tebal indigenousitas dan kearifan lokal (local wisdom) yang telah berakar lama dalam hati dan budaya masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Jadi, dominasi film-film Hollywood di dunia sebenarnya tak perlu ditakuti sebagai hegemoni atau imprealisme budaya AS yang akan menghancurkan perfilman lokal atau budaya lokal karena sesungguhnya budaya lokal tak sebegitu rapuhnya untuk dirusak oleh sebuah budaya baru, apalagi oleh film. Bahwa film-film Hollywood membanjiri pasar perfilman global memang tak bisa dipungkiri, akan tetapi itu tak lebih daripada tumbuhnya industri budaya baru yang semakin berkembang karena didukung konten, tema dan teknologi spesial efek yang diusung film Hollywood. (SL)