Narsis, Semua Tentang Cinta

Suzan Lesmana
Pranata Humas, ASN BRIN, ASNation
Konten dari Pengguna
19 Oktober 2020 7:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suzan Lesmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Narsis. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Narsis. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
“Narsis lu!,” seru Furqon padaku, saat melihat begitu banyak foto-fotoku yang menghias setiap perlengkapan kuliahku. Kata yang terdiri dari enam huruf ini “narsis”, begitu ringan diucapkan ketika kita melihat seseorang yang begitu cinta pada dirinya sendiri. Banyak orang menganggap bahwa narsistik dan hobi pamer di media sosial merupakan sebuah kelainan. Bahkan, beberapa studi mengeklaim bahwa narsistik bisa membuat seseorang menjadi depresi.
ADVERTISEMENT
Apa sih narsis? Kenapa sih narsis justru menjadi suatu bahan ejekan, maupun julukan yang berbau negatif? Kadangkala, orang menempatkan kata narsis dalam kalimat yang gak nyambung dengan konteks yang dibicarakan. Benarkah narsis memang suatu hal yang negatif? Ataukah hanya sebuah stigma yang dipakai tanpa perimbangan yang jelas? Sehingga menjadi tidak jelas?
Narsis dan Media Sosial
Narsis kalau menurut KBBI adalah tumbuhan berbunga putih, krem, atau kuning, terdapat di daerah subtropis, Amarylidaceae. Sedangkan Narsisme adalah hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan dan mempunyai kecenderungan (keinginan) seksual dengan diri sendiri.
Sesungguhnya Narsis berasal dari nama seorang pria keturunan dewa sungai Yunani Kuno, Narcissus. Ia memiliki wajah sangat tampan, pahatan sangat sempurna, dan harus bernasib buruk karena menolak cinta Nymph bernama Echo. Karena rasa kecewanya, Echo mengutuk Narcissus untuk jatuh cinta pada pantulan dirinya sendiri. Sekilas Narcissus melihat pantulan dirinya di sungai dan ia tak dapat memalingkan wajahnya dari kesempurnaan yang ia lihat. Ia tak dapat melakukan apapun selain mengagumi wajahnya, hingga akhirnya kematian menghampirinya. Hal ini juga yang seringkali saat ada bunga putih di sungai disebut dengan bunga Narcissus. Dari nasib sial Narcissus inilah maka istilah perilaku mencintai diri sendiri alias narcissism diambil (dari Men’s Guide, Mens Health).
ADVERTISEMENT
Bagaimana korelasi narsis dan media sosial? Dilansir dari Forbes (19/12/2018), berikut adalah tiga ciri jika Anda terlalu narsis di media sosial, yaitu: Pertama, Selfie Mania. Bila diperhatikan, foto selfie menandakan bahwa seseorang menginginkan pujian dan tanggapan yang banyak, baik atau buruk. Kedua, Kecanduan Medsos, di mana seseorang akan mengakses media sosial bila tidak ada kerjaan. Ini merupakan tanda lain bahwa Anda merupakan orang yang narsis. Ketiga, Rajin Nge-share, riset menemukan bahwa orang yang sering nge-share di Facebook maupun Twitter menunjukkan ia merupakan orang yang narsis.
Studi Narsis
Penulis Ahmad Naufal Dzulfaroh (2019) dalam kompas.com, mengatakan, sebuah studi tentang narsis yang menunjukkan sifat narsistik justru berpotensi lebih rendah menderita stres dan depresi. Dikutip dari Independent, para peneliti dari Queen's University Belfast melakukan sebuah riset untuk mengeksplorasi bagaimana seorang narsistik dapat mempengaruhi kesejahteraan mental. Riset tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Personality and Individual Differences and European Psychiatry.
ADVERTISEMENT
Senada dengan itu, menurut American Psychological Association, kepribadian narsistik ditandai dengan perhatian kepada diri sendiri secara berlebihan. Meski narsistik telah mendapat stigma buruk, tetapi para peneliti berpendapat bahwa menjadi seorang narsistik dapat menimbulkan hal positif. Hasil riset menunjukkan bahwa ada dua bentuk narsistik yang dominan, yaitu rentan (vulnerable) dan kekaguman (grandiose). Narsistik rentan (vulnerable) cenderung lebih defensif dan memandang perilaku orang lain sebagai musuh, sedangkan narsistik kekaguman (grandiose) biasanya memiliki perasaan bahwa dirinya penting serta terlalu sibuk dengan status dan kekuasaan.
Tim peneliti mencatat adanya hubungan antara sifat-sifat narsistik kekaguman (grandiose) dan kesejahteraan mental. Mereka mengeklaim bahwa atribut yang ditemukan di antara individu dengan sifat narsistik kekaguman, termasuk rasa percaya diri, dapat mengurangi kemungkinan menderita gejala depresi atau stres. Meski tidak semua dimensi narsistik baik, aspek-aspek tertentu ternyata dapat mengarah pada hasil yang positif,
ADVERTISEMENT
Narsis, Cinta Diri yang Positif
See, ternyata narsis bukan 100% hal yang negatif kan? Apa salahnya mengagumi ciptaan Tuhan yang berwujud diri kita. Tak ada salahnya mengagumi sesuatu yang memang layak tuk dikagumi, mengagumi kreasi Tuhan? Apa yang sering menjadi tema-tema lagu, puisi-puisi, film-film, bahkan sinetron yang digemari banyak kalangan? Cinta khan? Yup...cinta selalu menjadi soulnya.
Penulis ingin mengajak kita semua agar mencintai diri sendiri tanpa harus seperti Narcissus yang menghabiskan seluruh waktunya di pinggir sungai atau di depan kaca mematut-matut diri seharian. Cukup dengan melihat diri kita lebih dalam. Bukankah ketampanan dan kecantikan yang hakiki ada dalam diri kita. ”Inner Beauty", kata para perempuan. Pepatah mengatakan, ”Cintailah dirimu sendiri, niscaya kita akan mencintai orang lain dengan sempurna”. Berdasarkan penelitian, orang yang mencintai dirinya sendiri, atau merasa puas akan apa yang dimiliki, akan hidup lebih lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak.
ADVERTISEMENT
Setelah cinta telah tumbuh, mulailah telaah lebih dalam apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan kita. Kembangkan potensi kita, dan cobalah tuk meminimalisir kelemahan itu. Setelah itu, kita kan dapat mengenali orang lain dengan lebih baik. ”Look into someone else’s eyes and see the reflection of oneself”.
Menurut penulis, ada hal yang menjadi kesalahan besar Narcissus, yaitu merasa bahwa semua kesempurnaan itu adalah miliknya. Ia tak ingat bahwa semua hanyalah kulit dan tulang juga memori dan intelektual yang merupakan ciptaan dan titipan Tuhan. Ketika kita kembali pada Tuhan maka semuanya kan ditinggalkan. Sesungguhnya setiap yang bernyawa kan mati, dan kepada Tuhan-mu lah kau kembali. Untuk itu, mari kita berkaca pada pantulan diri kita sendiri dan belajar dari Narcissus. Barangkali akhirnya ada yang mengikuti jejak Narcissism ini sebagai suatu hal yang positif. ”There’s always a bright side even in the darkest place, right?”.
ADVERTISEMENT