Sampai Kapan Bandung Berkutat dengan Sampah?

Konten Media Partner
28 Maret 2018 18:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sampah merupakan persoalan serius yang dihadapi wilayah Bandung Raya. Hasil perhitungan berdasarkan data yang dihimpun Mongabay Indonesia, menunjukkan produksi sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung mencapai 3.950 ton/hari. Sementara yang bisa diangkut, hanya 2.750 ton/hari.
ADVERTISEMENT
Meski ditunjang label Smart City, Kota Bandung nampaknya masih kesulitan menangani sampah. Rencana penggunakan teknologi insenerator di tempat pembuangan akhir Sarimukti tak kunjung dibangun karena dianggap mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selajutnya, teknologi biodigester dari Jepang pun digagas, tapi tidak terwujud. Akibatnya, sampah menjadi masalah yang tak kunjung tuntas.
“Ada 11 teknologi pengolahan sampah yang sedang kami kaji,” kata Dirut PD Kebersihan Kota Bandung, Deni Nurdyana Hadimin, baru-baru ini.
Menurut dia, belum idealnya pengolahan sampah disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah, tidak terbangunnya political will pemerintah. Pemerintah masih beranggapan bahwa pengelolaan sampah itu murah. Padahal, estimasi dana menjadi kendala utama dalam pola distribusi.
“Anggaran Kota Bandung untuk sampah Rp108 miliar. Dana tersebut termasuk biaya operasional, transportasi, penggunaan lahan, hingga pengolahan sampah. Idealnya, untuk (Bandung) bersih, biaya pengolahan sampah skala kota metropolitan dikisaran Rp140 miliar,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Alat berat coba mengangkut sampah di Sungai Cikapundung, Kampung Cijagra, Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Setelah debit air turun sampah dikawasan tersebut bisa mencapai 30 ton/hari. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Lima tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) menemukan pola pengelolaan sampah di Indonesia berdasarkan hasil studi yang dilakukan di beberapa kota seperti diangkut dan ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), dikomposkan dan didaur ulang (7%), dibakar (5%), dan sisanya tidak terkelola (7%). Saat ini, lebih dari 90% kabupaten/kota di Indonesia masih menggunakan sistem open dumping.
Menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, paradigma pengelolaan sampah harus dirubah dari kumpul-angkut-buang menjadi pengurangan di sumber dan daur ulang melaui prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).
ADVERTISEMENT
Dikatakan Deni, sekitar 10 tahun program tersebut disosialisasikan dan masyarakat sudah mengenal cara tersebut. Namun, hal tersulit adalah membangun kesadaran perilaku masyarakat.
“Biasanya, ketika debit air turun, dalam sehari 30 ton sampah dapat diangkut di pertemuan Sungai Cikapundung dan Sungai Citepus dengan Sungai Citarum,” kata Yadi petugas BBWS Sungai Citarum.
Kondisi ini diperparah dengan bermuaranya sampah di lautan. Salah satu penyumbang sampah terbesar di Laut Jawa adalah Sungai Citarum. Ada sekitar 25 juta penduduk di bantaran sungai sepanjang kurang lebih 300 kilometer ini. Diasumsikan, bila setiap orang memproduksi sampah 0,5 – 0,8 kilogram /hari maka akan ada sampah mencapai 20 juta ton/hari yang sebagian besarnya tidak bisa diangkut.
Suasana di di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung, kamis (16/2/2017). Menurut BPLHD Jabar, kontrak TPA tersebut berakhir 2017, namun diperpanjang 3 tahun dan diperluas 20 hektar untuk menampung sampah dari Bandung Raya, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Direktorat Jendral Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK, Ujang Solihin menuturkan, secara undang-undang normatif, urusan sampah itu merupakan tanggungan pemerintah daerah, provinsi hingga pusat. Semua memiliki peran sesuai tupoksi. Namun, beban besar untuk penyelenggaraan pengolahan sampah di lapangan ada di pemerintah daerah.
“Dalam upaya mengurangi sampah, kami di KLHK sedang menyusun regulasi untuk mengurangi sampah plastik. Salah satu fokusnya adalah pemakaian kantong plastik berbayar. Drafnya telah disusun dan dibahas. Regulasinya berbentuk peraturan menteri dan bila sesuai recana akan ditetapkan tahun ini,” paparnya di Bandung.
Disamping itu, ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah. Langkah lanjutannya, KLHK bekerja sama dengan pihak swasta menyediakan sejumlah dropbox untuk menampung kemasan botol plastik dan karton minuman.
ADVERTISEMENT
“Namun, program dropbox belum optimal. Cakupannya tidak luas, hanya ditempat-tempat tertentu. Padahal, seharusnya pemerintah mendorong industri untuk mau dilibatkan dalam pengelolaan sampah,” ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Sampah Plastik Indonesia Saut Marpaung.
Dia menambahkan, di Thailand perusahaan botol limbah plastik, berani membeli lebih plastik yang di kumpulkan pengempul. Hal ini baik, karena dapat memberikan stimulus sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan.
Pemulung cilik mencari sampah plastik yang layak dijual di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sampah merupakan persoalan serius yang harus ditangani pengelolaannya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Anang Sudarna, mengatakan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan masih rendah. Dia menyesalkan, perilaku masyarakat yang tidak peduli dan acapkali membuang sampah ke sungai sebagai tempat pembuangan akhir.
ADVERTISEMENT
“Meskipun sudah dibersihkan tapi masyarakat terus mencermari sungai. Susah atuh mencipatkan lingkungan yang bersih,” tuturnya.
Warga Kampung Bojong Sayang, Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Wawan (45 tahun), berdalih terpaksa membuang sampah ke sungai karena tidak tersedianya fasilitas dan pengolahan sampah. “Ketimbang bau dan menumpuk, ya mending dibuang saja,” ucapnya.
***
28 Maret 2018
Ditulis oleh Donny Iqbal untuk Mongabay Indonesia