Jembatan Lima Dikenal Sebagai Tempat Jin Buang Anak, Benarkah ?

Konten dari Pengguna
4 Mei 2018 16:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Official News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jembatan Lima Dikenal Sebagai Tempat Jin Buang Anak, Benarkah ?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kelurahan Jembatan Lima merupakan salah satu kawasan padat penduduk. Aktivitas warganya pun begitu komplek, seakan menjadikan daerah tersebut sebagai kota yang tak pernah mati. Sebab, sebagian aktivitas di sana berlangsung selama 24 jam.
ADVERTISEMENT
Namun siapa sangka, kalau daerah yang termasuk salah satu kampung tua di Jakarta ini, dulunya merupakan rawa dan semak belukar yang tak pernah dirambah orang. Ibaratnya, kawasan tersebut dulunya disebut sebagai "tempat jin buang anak".
Jika menilik pada sejarah, Kelurahan Jembatanlima telah beberapa kali mengubah kedudukan pemerintahan administrasinya. Pada masa pemerintahan Belanda, Kampung Jembatanlima masuk wilayah kawedanan atau setingkat Kecamatan Penjaringan.
Namun pada masa pendudukan Jepang, Jembatanlima masuk wilayah Kecamatan Penjaringan Son. Saat kemerdekaan, Jembatanlima menjadi kecamatan yang dibagi atas 3 kelurahan. Akan tetapi kini, Jembatanlima sebagai salah satu kelurahan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Di kecamatan ini juga terdapat kelurahan lain yakni Kelurahan Tanah Sereal, Tambora, Roa Malaka, Pekojan, Krendang, Duri Selatan, Duri Utara, Kali Anyar, Jembatan Besi, dan Kelurahan Angke.
ADVERTISEMENT
Menurut cerita tokoh masyarakat setempat, konon nama Jembatanlima diadopsi dari cerita rakyat yang menyatakan bahwa di kawasan tersebut, dulunya terdapat lima jembatan yang menghubungkan kampung satu dengan kampung yang lain.
Hal tersebut sesuai dengan catatan dalam buku sejarah kota Jakarta, yang menyebutkan nama Jembatan Lima berasal dari nama jumlah jembatan yang dulu ada di daerah itu. Masing-masing adalah Jembatan di Jl Hasyim Ashari, Jembatan Kedung, Jembatan Petuakan, Jembatan Kampung Masjid, dan Jembatan Kampung Sawah.
Asal usul Jembatan Lima merujuk pada lima jembatan. Kelimanya ialah jembatan di Jalan Petak Serani (Jalan Hasyim Ashari), jembatan di Jalan Petuakan, jembatan Kedaung, jembatan Kampung Masjid (Jalan Sawah Lio 2), dan jembatan Kampung Sawah Gang Guru Mansur (Sawah Lio 1).
ADVERTISEMENT
Jembatan tersebut dulu berfungsi sebagai penghubung antara kampung di Jembatanlima. Namun sejak kawasan tersebut banyak dijamuri proyek pembangunan gedung, kelima jembatan itu sudah hilang bak ditelan zaman. Kelimanya hilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas.
Jembatan-jembatan tersebut kini tinggal nama, bersamaan dengan pengurukan sungai Cibubur yang mengaliri kampung ini. Dinamakan Cibubur karena kalinya konon seperti bubur, kotor, dan mengandung banyak lumpur.
Di Jembatan Lima juga terdapat kampung tua, jalan atau gang yang namanya sudah hilang, seperti Kampung Sawah Lio, Patuakan, Kerendang, Petak Serani, Gudang Bandung, Teratai, Tambora, Gang Laksa, dan Gang Daging. Sawah Lio berasal dari kata sawah yang dijadikan tempat pembakaran batu bata (lio).
Kampung ini tepat di dekat jembatan. Sawah Lio wilayahnya meliputi Sawah Gang Guru Mansur (selanjutnya bernama Jalan Sawah Lio 1) dan Kampung Sawah Masjid (selanjutnya bernama Jalam Sawah Lio 2).
ADVERTISEMENT
Disebut Kampung Sawah Gang Guru Mansur karena di tempat ini tinggal seorang tokoh dan guru agama Islam benama Kiai Haji Mansur dan Kampung Sawah Masjid karena terdapat Masjid Al-Mansur.
Di Kampung Sawah terdapat sebuah gang yakni Gang Laksa, karena di sana tinggal beberapa orang kaya yang mempunyai uang berlaksa-laksa (berjuta-juta), seperti H Djakaria pemilik empang-empang yang ada di Pasar Ikan dan H Tosim pemilik rumah sewaan. Sementara Kampung Kerendang lantaran setiap musim hujan selalu tergenang air (banjir).
Nama Kampung Patuakan karena di sana tempat mangkal penjual minuman tuak. Nama Petak Serani karena dulu ada petak-petak yang dihuni oleh orang Serani (Nasrani). Kampung Teratai lantaran ada rawa-rawa yang dipenuhi oleh bunga teratai dan Tambora karena tiap pagi di asrama tentara terdengar suara tambur.
ADVERTISEMENT
Kampung Jembatan Lima pada masa pemerintahan Belanda secara administratif termasuk Kawedanan Penjaringan, Kelurahan Angke Duri dan yang menjadi kepala kampungnya pada waktu itu adalah Bek Akhir, Bek Latip, dan Bek Marzuki. Pada masa pendudukan Jepang, Kampung Jembatan Lima masuk wilayah Penjaringan Son (kecamatan) dan Kelurahan Angke Duri. Kepala kampungnya Bek Ramadan.
Pada masa kemerdekaan wilayah Jembatan Lima dibagi atas tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Tambora, Kelurahan Jembatan Lima, dan Kelurahan Pekojan. Adapun yang menjabat sebagai kepala kampung ialah Bek Salamun.
Diolah dari berbagai sumber