Misteri Jalan Memutar ke Gunung Ngakar

Luqman Dicky Kurniawan
senang mencari pahala dan keasyikan
Konten dari Pengguna
21 Januari 2023 20:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luqman Dicky Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi jalanan sepi. Foto: JeroPoint
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jalanan sepi. Foto: JeroPoint
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sore itu, saya dan ketiga kawan telah selesai menyambangi salah satu dusun di daerah Kabupaten Temanggung. Tepatnya di Dusun Pejaten, Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan. Maksud dari agenda perjalanan ini yakni untuk melakukan pencatatan dan pengumpulan data informasi mengenai sumber daya (baik alam, sosial, maupun budaya) di salah satu desa yang ada di Jawa Tengah. Agenda pra acara ini bertujuan untuk meminimalisasi adanya ketidaksesuaian konsepan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan kondisi riil suatu daerah.

Rehat di Angkringan

Hari telah berubah, matahari telah diganti oleh cahaya lampu-lampu. Kami, melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Kebumen untuk melihat kondisi sosial-budaya dan lingkungan yang mungkin jauh berbeda.
Azan Maghrib turut dikumandangkan di mushola-mushola setiap dusun. Sementara, isi kepala saya masih menggambarkan wujud nyata daerah Dusun Pejaten beberapa belas tahun silam. Seperti yang disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat yakni Kang Ma’ruf yang sangat spiritual dan berbudaya. Awal mula ia datang, keadaan sosial-budaya masyarakat begitu mistis kental akan nilai-nilai adat istiadat leluhur. Begitu katanya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, kami bergeser melanjutkan perjalanan menuju Desa Langse yang berada di wilayah Kabupaten Kebumen. Malam yang hangat berubah menjadi mengigil akibat suhu dingin 18 derajat celsius serta hujan gerimis kecil dan kabut putih menemani sepanjang perjalanan motoran kami.
Di tengah perjalanan kami menepi di sebuah angkringan yang dinamai Arimi di Jalan Temanggung-Wonosobo. Obrolan mengalir sembari menikmati susu jahe dan nasi bakar ayam yang pastinya sedaap nan murah meriah.
Saya dan teman-teman berdiskusi mengenai rute jalan yang akan kami lewati. Ada dua opsi rute untuk sampai di rumah salah satu kawan kami yang sama-sama menjadi bagian dari organisasi daerah KM-Jateng Bandung. Pertama, lewat rute Magelang-Purworejo yang pastinya masih ramai oleh orang-orang yang sedang berkegiatan namun jarak tempuh cukup jauh. Kedua, melewati jalan alternatif Wonosobo-Banjarnegara yang lebih efisien dalam mengoptimalkan estimasi jarak dan waktu tempuh.
ADVERTISEMENT

Laju Gas Kopling Berirama

Setelah menyepakati rute jalan, saya dan teman-teman pun memilih opsi kedua untuk memangkas waktu agar lekas sampai di tujuan. Malam itu, menunjukkan sekitar pukul 21.43 WIB, kami pun bergegas meninggalkan Kabupaten Wonosobo yang memiliki sensasi adem ayem bagi kaum urban seperti kami. Sungguh, model jalanan curam nanjak-turun dan sepi kami libas dengan sisa-sisa tenaga yang nampaknya sudah mulai lelah merindukan kata benda “rebahan” kawula muda.
Sebelumnya, masing-masing dari kami telah menempuh ratusan kilometer untuk berjanji temu di daerah Bantul, Yogyakarta. Agenda perjalanan ini di antaranya yakni kunjungan komparasi pada organisasi daerah Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Jawa Tengah (IKPM) yang ada di Yogyakarta. Selain itu, kami juga turut meramaikan acara KAPANG 3 di Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta yang diinisiasi oleh Forum Silaturahmi Mahasiswa Batang (FORSIMBA). Pun beberapa kali, kami menjadi turis lokal pulang-pergi Bantul ke Yogyakarta Bantul ke Sleman dan Bantul ke Gunungkidul selama berada di daerah yang benar-benar memiliki ruang istimewa. Jadi, lumrah kalau kekuatan fisik kami sudah tidak stabil, baik pikiran maupun tenaga.
ADVERTISEMENT
Mengingat waktu sudah semakin larut malam, kami memutuskan berhenti satu kali lagi untuk sekadar mengisi bahan bakar full pertalite mengantisipasi kehabisan bensin di tengah-tengah perjalanan. Kami menikmati malam yang sepi bersama kendaraan roda dua dengan dibantu petunjuk jalan Google Maps yang ada. Kami juga jarang berinteraksi satu sama lain, fokus memainkan laju kopling gas berirama, rem tipis-tipis di belokan lintasan jalan, serta cekatan menghindari lubang-lubang jalan yang terisi air dan kerikil pasir.
Disela-sela perjalanan. Seketika, Wahidah, salah satu kawan kami yang juga perempuan tunggal dalam pra agenda perjalanan ini panik. Tiba-tiba ia berseru nyaring pada saya.
"Zhur hilang sadar. Pikiran dan tatapan matanya kosong."
Saya pun khawatir, takut ia tidak bisa lagi mengendalikan motor supra miliknya dan kemungkinan terburuk nyungsep ke luar lintasan jalan dan masuk ke jurang ataupun semak-semak.
ADVERTISEMENT

Merinding

Potret saat menepi, dikarenakan salah satu kawan kami tidak stabil serta informasi peta jalan yang janggal. Dokumentasi pribadi.
Saya dan kawan-kawan pun memutuskan berhenti di satu titik setelah jembatan pemisah antara satu desa dengan desa lainnya. Beruntung, masih ada beberapa rumah warga, akan tetapi tidak ada yang bisa dijadikan narasumber petunjuk arah untuk menuju ke Desa Langse. Waktu sudah memasuki tengah malam, sekitar pukul 23.41 WIB. Kami, kini sedang berada di situasi genting. Pasalnya google maps yang menjadi petunjuk arah dalam transisi perjalanan kami ini memberikan dua opsi peta jalan yang berbeda dan tidak masuk akal.
Aneh, peta jalan pertama kami diarahkan ke jalanan bertangga yang berada sebelum jembatan penghubung desa. Tentu tidak logis. Sebab jalanan tangga tersebut tidak seharusnya dilalui oleh kendaraan roda dua. Kedua, kami diarahkan ke jalanan berkontur tanah di paling ujung rumah-rumah warga.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ketiga kawan menyuruh saya melaju paling depan. Saya menaksir: agar bisa segera tiba mungkin harus melewati jalanan tanah yang pada saat itu di layar smartphone estimasinya 9 menit lagi. Dengan berani saya lalu tancap gas dan berbelok kiri sesuai petunjuk peta jalan. Sontak, saya kaget dan syok. Kami tepat berhenti sejajar dengan keranda jawa dan di depan saya adalah kuburan. Rupanya kami sudah menginjak tanah teras kuburan.
Tidak, tidak ada jalan, ini bukan jalan utama. Saya memberi tahu ketiga teman, dengan sorot mata masih melihat keranda jawa yang sangat menakutkan bagi saya pribadi sejak sedari sekolah dasar. Tanpa berpikir panjang, kami pun berbalik arah dengan perasaan merinding disko menancapkan gas secepat-cepatnya. Saya waswas keranda mayat itu terbang dan menghampiri seperti perbincangan masa kanak-kanak yang saya alami dulu di Salatiga.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, kami pun melanjutkan perjalanan sesuai petunjuk peta jalan utama dan tiba di rumah kawan kami yang berada di belakang Kantor Desa Langse, Kec. Karangsambung, Kabupaten Kebumen. Ya. Setelah menyepakati rute jalan, ternyata kami terlambat menyadari bahwa sedang memutari lintas jalanan yang bertembok rimbun pohon pegunungan dalam keheningan malam.
Ini merupakan just ride mengerikan selama perjalanan tualang dan kelana yang pernah saya lalui. Setelah itu, saya mencoba tenang bersantai dengan menikmati kopi hangat dan coklat extra di ruang tamu sembari mendengarkan nyanyian kidung “Kelayung-layung” yang baru saya dengar kembali setelah sekian purnama.
Terima kasih orang-orang yang terlibat dan terbebani dalam agenda perjalanan sepekan ini. Spirit of Java semacam masa kanak yang terlahir kembali.
ADVERTISEMENT