Demokrasi Melayu dan Persoalan Kebangsaan

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
19 November 2022 17:01 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demokrasi Melayu dan Persoalan Kebangsaan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini (19/11/22) Malaysia mengadakan Pilihan Raya Umum ke-15 (PRU15). Sebanyak 21,1 juta warga akan memilih 222 anggota parlemen yang akan menentukan siapa yang akan menjadi Perdana Menteri Mendatang, sebagai pemimpin puncak Negara Malaysia. Banyak calon yang bertarung. Paling tidak terdapat beberapa nama penting tokoh-tokoh yang bersaing yakni, Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob, DR. Anwar Ibrahim, Tengku Datuk Seri Zafrul Tengku Abdul Azis, Datuk Seri Mahidin Muhammad Yassin.
ADVERTISEMENT

Persaudaraan Malaysia

Datuk Seri Ismail Sabri menggagas konsep stabilitas politik negara yang bersandarkan pada sistem demokrasi melalui konsep Keluarga Malaysia, setelah dalam tenggang waktu 4 tahun ini Malaysia telah mengalami 3 kali pergantian Perdana Menteri. Konsep ini menurutnya telah mengubah minda (pola pikir) rakyat Malaysia tentang proses demokrasi guna menata kehidupan bangsa yang harmoni.
Kerja sama dilakukan antar partai yang memiliki kursi dalam pemerintahannya, baik dari kalangan partai yang mendukung kepemimpinannya maupun dari partai oposisi. Pada masa ia berkuasa – walaupun sangat singkat lebih kurang 1 tahun – Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob telah membuat kesepahaman bersama antar partai berkuasa dan partai oposisi guna mewujudkan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi.
ADVERTISEMENT
Persaudaraan Malaysia yang harmoni menjadi kata kunci yang diterjemahkan oleh putera desa penoreh (penderes atau penyadap) getah yang santun dan bersahaja ini sebagai “Keluarga Malaysia”
Para politisi Malaysia memahami betul bahwa, syarat untuk membangun ekonomi Malaysia di tengah krisis politik – Pasca Pemerintahan PMTun Seri Nadjib Razak yang diteruskan oleh PM Tun Seri Mahathir dan Datuk Seri Mahiddin Mohammad Yatim – dan krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19, adalah stabilitas politik dan keamanan. Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob memanfaatkan peluang itu. Ia membagun komunikasi yang baik dengan rakyatnya dan antar sesama partai, baik partai koalisinya maupun partai oposisi.

Politik Ala Melayu

Stabilitas adalah syarat mutlak untuk membangun ekonomi dalam negerinya. Ini adalah pembelajaran yang berharga legasi Mantan PM Malaysia Tun Seri Mahathir Muhammad yang masa pemerintahan periode pertamanya bersamaan dengan Periode Soeharto di Indonesia dalam membangun negerinya. Soeharto juga pada masa itu mengandalkan stabilitas politik dan keamanan untuk membangun ekonomi Indonesia pada masa itu, yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan; Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan.
ADVERTISEMENT
Para politisi Malaysia tampaknya paham betul, Demokrasi adalah alat, demokrasi adalah instrumen untuk mencapai tujuan, yakni alat untuk mensejahterakan rakyat Malaysia. Tujuan itu hanya dicapai dengan menempatkan pemimpin sebagai nakhoda bangsa yang memiliki wawasan kebangsaan, cerdas, jujur dan memiliki karakter negarawan. Tentu untuk memilih tokoh semacam itu instrumennya adalah pilihan raya dengan sistem yang sudah mereka sepakati yakni demokrasi.
Rakyat Malaysia Pun paham, sistem demokrasi yang dikembangkan bukan sistem Demokrasi ala Barat, tapi Demokrasi ala Melayu. Pemimpin yang hendak maju dan hendak dipilih harus dilihat dulu da’wah bil hal nya. Apa yang telah dibuatnya selama kepemimpinannya. Ini penting bagi rakyat. Bukan seperti membeli kucing dalam karung.

Pemimpin Tanpa Basa-Basi

Jika Rakyat Malaysia jujur dengan dirinya, partai-partai di bawah koalisi Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob, yakni Barisan Nasional kelihatannya bisa unggul. Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob berpotensi untuk keluar sebagai pemenang, walaupun ini nantinya akan diputus dalam sidang parlemen. Akan tetapi posisi Dr. Anwar Ibrahim di bawah Koalisis Pakatan Harapan juga cukup kuat. Bagaimanapun juga kedua pesaing kuat ini sama-sama berbasis pada UMNO partai yang sangat kuat semasa kepemimpinan Tun Sri Mahathir Mohammad. Keduanya sebenarnya kader Tun Sri Mahathir Mohammad.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob, telah mengukir pertumbuhan ekonomi yang spektakuler. Ekonomi Malaysia tumbuh 15 %. Kepemimpinan beliau yang santun, bersahaja dan mampu mengajuk (menarik) hati masyarakat serta sangat menghargai pihak lawan politik tanpa caci maki, adalah prototipe kepemimpinan Melayu. Beliau sangat Melayu.
Perjumpaan saya dengan beliau hanya satu kali. Itupun tanpa dialog. Just say hello lalu berjabat tangan. Tapi tatapan matanya, kehangatannya terasa seperti sudah berkenalan puluhan tahun yang lalu.
Senyumnya tulus, tidak dibuat-buat. Beliau sosok pemimpin yang cerdas, namun tidak ambisius. Kecerdasannya tampak dalam caranya merangkai kata-kata dalam pidatonya pada Acara Ulang Tahun Association of Journalists Malaysia - Indonesia (ISWAMI) yang diselenggarakan di Malaka di penghujung bulan Juni 2022 yang lalu. Pidato tanpa teks, spontan, mengalir, tanpa kerutan di kening yang menunjukkannya seorang pemimpin bangsa tanpa basa-basi.
ADVERTISEMENT
Sejarah dan latar belakang kehidupan pribadi dan latar belakang karir politiknya membuat ia menjadi sosok pemimpin yang benar-benar mumpuni. Terlahir dari keluarga petani yang paham betul tentang denyut nadi rakyat kecil. Walaupun para pengamat politik Malaysia banyak yang tidak dapat memprediksi tentang siapa yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan ini. Karena ini pertarungan antara Pakatan Harapan versus Barisan Nasional, kata sahabat saya Pak Sem Haesy yang hadir bersama sahabat saya Asro Kamal Rokan mengikuti jalannya Pilihan Raya Umum ke-15 di Malaysia.
Dr.Anwar Ibrahim yang pernah menjadi opisisi pemerintahan PM Mahathir Muhammad, bahkan pernah dipenjara oleh Rezim Mahathir sedikit beruntung dalam pertarungan ini, karena suasana kebathinan rakyat pendukung Anwar telah tercerderai selama bertahun-tahun. Ini akan membangkitkan semangat baru bagi pendukung Anwar. Apalagi janji Mahathir pada periode pemerintahan yang kedua untuk Anwar Ibrahim tak pernah dipenuhi. Oleh karena itu sesungguhnya keduanya baik Datuk Seri Ismail Sabri Yacoob maupun Dr.Anwar Ibrahim, keduanya mempunyai peluang.
ADVERTISEMENT

Budaya Kepiting

Budaya Politik Melayu Malaysia sudah mengalami kemajuan jika dibandingkan pada masa-masa awal kemerdekaan negerinya sampai dengan paruh awal kepemimpinan PM Tun Seri Mahathir Muhammad. Budaya politik yang digambarkan oleh Mahathir, adalah budaya “Politik Ketam”. Ketam dalam frasa Malaysia adalah kepiting. Mahathir menggambarkan, keterbelakangan Melayu adalah karena tidak saling memberikan dukungan kepada pemimpin yang sedang duduk.
Budaya ketam adalah ketika kepiting sedang berusaha merangkak memanjat, sahabatnya kepiting yang lain yang berada di bawah langsung menarik kakinya. Akhirnya kepiting selalu gagal mencapai puncak. Saling menjatuhkan, tak saling mendukung atau saling memberikan sokongan menurut frasa Malaysia.
Inilah minda atau pola pikir yang coba untuk digagas para politisi Malaysia hari ini yang dicontohkan oleh Datuk Ismail Sabri Yacoob. Karir politiknya yang bermula dari bawah sejak Pemerintahan PM Mahathir sampai penggantian beberapa Perdana Menteri berikutnya cukup memberikan keyakinan kepada rakyat Malaysia untuk memilihnya kembali.
ADVERTISEMENT

Refleksi Untuk Indonesia

Belajar dari Malaysia terkait cara negerinya mengelola demokrasi, patut ditiru. Adagium Keluarga Malaysia itu dapat dijadikan referensi. Tak terlalu buruk jika kita Indonesia meniru model yang dikembangkan Malaysia hari ini - walaupun sistem negaranya berbeda, federal – dalam mengelola demokrasi. Persaudaraan Indonesia. Bukankah kita telah menuangkan dalam Pembukaan UUD 45 yang kemudian dirumuskan dalam Pancasila tentang “Persatuan Indonesia” yang dimaknai sebagai Asas Kebangsaan.
Kerap kali di Indonesia dua tahun menjelang Pilpres dimaknai sebagai tahun politik. Tahun gonjang ganjing perebutan kekuasaan. Akhirnya para penyelenggara negara selama dua tahun praktis tak efektif dalam menjalankan pemerintahan. Amanah rakyat yang diembankan kepadanya dikerjakan seadanya saja. Tak ada yang serius. Hingga hasilnya tidak benar-benar menuju ke arah percepatan perwujudan Masyarakat Adil dan Makmur.
ADVERTISEMENT
Sahabat saya di Malaysia, selalu iri dengan Indonesia yang punya Konstitusi dan Ideologi yang jelas, yang mereka katakan kami Malaysia tak sempat merumuskan Ground Norm dan Filofische Groundslag seperti itu.
Bedanya adalah mereka hanya punya tradisi kultural politik yang santun dan bersahaja, karena negerinya mempunyai panutan yakni Sultan. Sultan menjadi tokoh sentral yang sekaligus sebagai payung peradaban dalam mereka mengelola politik negerinya. Kita tentu tak hendak kembali ke masa lalu. Tapi bagaimanapun juga kultur atau tradisi politik yang santun dan bersahaja itu telah tersirat dalam Ideologi Pancasila yang menjadi sumber inspirasi, sumber hukum, patron politik, landasan ekonomi.
Tinggal sekarang bagaimana menumbuhkan kesadaran kepada pemimpin bangsa kita untuk kembali merujuk nilai-nilai itu. Kita harus terus menerus menyadarkan para pemimpin bangsa ini. Bahwa hari ini pengelolaan demokrasi kita telah terjebak pada arus oligarchie dan bahkan tirani mayoritas, sebagai akibat dari pengelolaan sistem politik kita yang cenderung bergerak ke arah Demokrasi Liberal, namun selalu masih ada harapan untuk kembali.
ADVERTISEMENT
Kondisi ekonomi kita yang saat ini tidak berada dalam posisi yang baik, seperti yang diprediksi oleh Presiden Jokowi – Indonesia akan menghadapi krisis ekonomi - patut segera diantisipasi.
Ada potensi yang kita miliki yang perlu menjadi modal dasar pembangunan. Rakyat masih banyak yang jujur dan mau bekerja keras.

Paradoks Kebijakan

Rakyat masih patuh membayar tagihan listrik, namun yang menjadi persoalan PLN masih saja dibebani utang. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, rakyat pun patuh dan tak ada demonstrasi yang mengganggu, tapi Pertamina masih saja terlilit utang.
Rakyat masih setia meninggalkan kayu bakar dan bahan bakar bakar minyak tanah atas himbauan pemerintah, lalu berduyun-duyun berganti ke bahan bakar Gas LPG, tetapi Perusahaan Gas Negara bangkrut dan menjual asetnya ke Singapura. Rakyat Pun dengan setia menggunakan transportasi Kereta Api, tapi PT KAI terlilit utang.
ADVERTISEMENT
Petani dengan setia membeli pupuk dengan uang tunai, tetapi PT Pusri (Persero) bangkrut. Semen yang menjadi kebutuhan rakyat dalam membangun rumah dan selalu dibeli dengan uang tunai, tapi Perusahaan BUMN itu bangkrut.
Tiap hari bangsa ini makan nasi dan membeli beras, tetapi petani padi sawah kita miskin. Ikan, daging yang dikonsumsi oleh rakyat setiap hari juga tak mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan dan peternak.
Belum lagi persoalan-persoalan Asuransi yang preminya selalu dibayar tunai, tapi Asuransi Bumi Putra dan Jiwasraya bangkrut. Pesawat Garuda yang harga tiketnya lebih mahal dari maskapai penerbangan lainnya dan selalu penumpangnya penuh, tapi perusahaan BUMN itu bangkrut juga.
Yang menyedihkan adalah, setiap pejabat yang akan mendaftar untuk promosi jabatan selalu diminta untuk mengisi daftar harta kekayaan yang dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan menjadi dasar Otoritas Jasa Keuangan untuk memantau setiap pertambahan harta kekayaan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi pertambahan harta kekayaan pejabat yang melimpah ruah itu tak pernah bisa dijamah oleh aparat penegak hukum, kecuali pejabat yang bersangkutan kemudian terjerat kasus korupsi.
Di Medan rakyat bertarung dan bahkan meregang nyawa di atas tanah Perkebunan PT Perkebunan Nusantara II Eks Konsesi Kesultanan Deli, untuk mendapatkan sejengkal tanah, tapi PT Perkebunan Nusantara II (Persero) mengikat kontrak untuk bidang tanah seluas 8.500 Ha dengan pihak Citraland untuk pengembangan usaha Real Estate. Paradok ini hanya bisa dihilangkan jika kita memiliki kesadaran berbangsa.

Persoalan Kebangsaan yang Belum Selesai

Harus diakui, persoalan kebangsaan kita sampai hari ini belum selesai, perlu dirumuskan lagi tafsir Kebangsaan dan Nasionalisme Indonesia yang lebih tepat untuk Indonesia. Ini karena politik yang kita kembangkan mengacu pada politik demokrasi liberal ala Amerika.
ADVERTISEMENT
Chambliss telah mengingatkan, The law of non transferability of law, ketika ia meneliti di beberapa masyarakat Asia. Hukum atau model penyelenggaraan pemerintahan pada satu bangsa tak dapat diambil alih begitu saja oleh bangsa lain. Model atau hukum itu harus disesuaikan dengan tempat di mana sistem hukum itu akan diberlakukan. Tanpa syarat itu, penerapan sistem hukum dan model demokrasi asing memunculkan berbagai persoalan, seperti hari ini yang kita saksikan bagaimana kenyamanan umat Islam beribadah selama berabad-abad di negeri ini, namun terusik dengan isu, radikal, intoleran, dan anti-NKRI.
Akankah kita bisa mengakhiri ini? Jawabnya ada pada bangsa ini. Mari kita kembangkan politik yang santun dan bersahaja, Persaudaraan Indonesia. Bangsa ini jangan terbelah karena akan ada pemilihan umum presiden dan pemilihan wakil rakyat pada 2024 mendatang. Perjalanan bangsa ini masih panjang, dan jadikanlah politik ini sebagai alat, sebagai cara, sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Bukan politik sebagai tujuan. Sebagai alat jika sudah terpilih wakil rakyat dan presiden, alat boleh dilebur kembali dalam Persaudaraan Indonesia. Jadi tidak “berseteru” sepanjang tahun.
ADVERTISEMENT