Disrupsi

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
27 September 2021 11:26 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi riba. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi riba. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Oleh OK. Saidin
"Shrup," terdengar bunyi hirupan terakhir chai, teh Turki dari mulut Bahlul. Gelas mungil itu ia letakkan di meja teras rumahnya. Tatapan matanya mengarah pada Jalan Istiqlal, jalan yang dulu ramai, tapi kini tampak sepi. Tak seperti biasanya untuk sebuah kota yang dilintasi jalan panjang yang disediakan khusus untuk para pejalan kaki yang membelah Kota Istanbul. Dulu bila kita melintas di jalan ini, kaki sulit rasanya untuk dilangkahkan, karena dipadati pengunjung.
ADVERTISEMENT
Bahlul mengalihkan pandangannya ke langit Istanbul yang mulai pagi tampak cerah. Matahari sudah naik sepenggalahan, tapi toko-toko tak tampak terbuka pintunya. Kecuali kedai yang menjual Shawarma, Hummus, Kumpir, Kofte, Manti, Kokoretsi, Simit, Menemen, Pilav, Dolma, Lahmacun, Pide, Soup Mercimek, dan Kebab. Sore hari kedai itu juga menjual Baklava dan Dondurma alias es krim. Hanya kedai ini yang tampak dipadati orang-orang yang kelihatannya sudah menjadi langganan tetapnya.
Memang lima tahun belakangan ini pola-pola transaksi sudah berubah. Ibu-ibu rumah tangga tak perlu lagi ke pasar memilih daging, roti dan sayuran. Cukup menekan tombol dari smartphone, beberapa menit kemudian barang-barang itu sudah sampai di depan pintu. Tidak hanya kebutuhan pangan sehari-hari. Belanja buku, sepatu, pakaian sampai alat-alat kosmetik dapat dipesan dari rumah. Hanya obat-obatan yang masih harus dibeli di apotek. Obat yang mengandung analgesik tidak dijual bebas. Layanan obat-obatan harus menunjukkan resep dokter. Tak dapat dibeli sembarangan, seperti kebanyakan di negara lain. Kadang-kadang sulit kita untuk membedakan apakah obat itu layak dikonsumsi atau tidak oleh pasien. Belum lagi berhubungan dengan produk obat-obat palsu.
ADVERTISEMENT
Dunia telah mengalami perubahan yang radikal, begitu yang ada di benak Bahlul. Perubahan yang tak pernah dikenal oleh generasi yang lahir di Era Mustafa Kemal Pasha. Bumi memasuki era baru dan masyarakat masuk pada hubungan interaksi sosial yang paling kompleks. Orang banyak menyebutnya bahwa sekarang dunia telah terdisrupsi. Banyak terjadi peristiwa yang tak terduga. Peristiwa yang tak dapat diperkirakan. Pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh manusia, kini tergusur satu persatu. Ini akibat capaian kemajuan teknologi informasi yang serba digital. Dunia telah memasuki era revolusi 4.0.
Di hadapan Bahlul ada buku yang ditulis oleh A.T. Kearne yang berkisah tentang sejarah pertumbuhan revolusi industri yang mengubah peradaban manusia.
Bahlul berusaha untuk mendapatkan informasi dari buku itu. Inilah kisahnya. Revolusi Industri pertama terjadi pada akhir abad ke-18. Awal mulanya ditandai dengan penemuan alat tenun mekanis pada tahun 1784. Alat tenun itu digerakkan dengan jari-jari tangan manusia yang terampil. Kini alat tenun seperti itu tak lagi ditemukan, kecuali di Gaziantep yang masih menenun kain tradisional Kutnu.
ADVERTISEMENT
Setelah itu kain diproduksi dengan mesin-mesin yang digerakkan dengan tombol yang ukurannya tidak lebih besar dari setengah ukuran telapak tangan manusia. Mesin-mesin itu akan bekerja menjalin dan menguntai benang demi benang dengan gerakan-gerakan jari yang terbuat dari besi. Ya, Artificial Intelligence, kecerdasan buatan. Robot, persis manusia dan bisa diperintah. Teknologi itu menggantikan fungsi jari-jari tangan manusia yang dulu sangat terampil di paruh akhir abad ke-18. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin. Kini semakin banyak tenaga manusia yang menganggur, tapi produksi diyakini semakin berlipat ganda.
Paruh awal abad ke-20 terjadi era Revolusi Industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20. Kala itu sudah diperkenalkan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Produksi pertama yang diperkenalkan pada waktu itu melibatkan rumah potong hewan di Cincinnati, sebuah pusat pemerintahan di Hamilton Country, Ohio, Amerika Serikat pada awal tahun 1870. Di Cincinnati, sapi-sapi digiring masuk ke satu ruangan, lalu mesin-mesin dan tangan-tangan besi yang terampil menggerakkan pisau yang tajam persis ke tenggorokan sapi tanpa menyebut nama Sang Khalik, dan berakhir dengan tumpukan daging yang sudah tercincang rapi dan bersih.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti pisau tajam yang digunakan Abdulmejid Efendi II, yang dikenal sebagai Sultan Mehmed VI Sultan Dinasti Osmania terakhir sebelum berdirinya Republik Turki pada saat penyembelihan hewan kurban di halaman Istana Topkapi, tanggal 11 Desember 2011. Daging-daging ratusan ton menumpuk hingga sampai di halaman Blue Mosque. Sebagian terkena tumpahan darah dan kotoran hewan kurban. Ratusan jemaah dengan kumandang takbir dan tahmid dengan khusyuk memilah-milah tumpukan daging lalu membagikannya kepada siapa saja yang melintas.
Pada awal tahun 1970 di tengarai dunia memasuki era Revolusi Industri 3.0. Dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Debut Revolusi Industri generasi ketiga ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC), yakni modem 084-969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dijalankan manusia. Dampaknya memang biaya produksi menjadi lebih murah, tapi sekali lagi tenaga manusia sedikit demi sedikit mulai tergusur.
ADVERTISEMENT
Kehidupan terus bergilir, zaman terus berubah, tibalah manusia hidup dalam satu tatanan yang dikenal dengan sistem cyber-physical. Pada era itu industri mulai menyentuh dunia virtual. Berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama internet of things. Dunia memasuki Era Industri 4.0, semuanya serba digital.
Dalam renungannya yang panjang, Bahlul mendiskusikan ini dengan temannya Ali Cetin, Alumnus Fakultas Teknik Mesin di Universitas Teknik Istanbul tempat Erbakan menyelesaikan studi S1-nya.
"Semua ini berpangkal pada komunikasi dan proses adaptasi. Seperti Burung Bulbul yang bisa bertahan hidup, itu adalah karena kemampuannya untuk beradaptasi. Salah satu cara mengantisipasi kecepatan perubahan ini adalah dengan bekerja bersama-sama oleh pihak-pihak yang terkait di dalam banyak bidang pekerjaan itu. Jika tidak kita akan menimba dampak buruk yang juga tidak sedikit dari capaian kemajuan teknologi di era ini. Era ini semuanya digiring ke arah rasional. Hal-hal yang tak masuk akal akan tergusur dan tersingkir dengan sendirinya. Hal-hal yang gaib apalagi berbentuk mistis harus sudah dihilangkan di alam pikiran manusia," kata Cetin.
ADVERTISEMENT
Sains akan membersihkan semua kebenaran yang bersumber dari yang gaib. Itulah yang ditawarkan oleh Era Revolusi 4.0 ini. "Jadi, Engkau harus hati-hati, Bahlul," Cetin mengingatkan. Tak semua yang masuk akal itu adalah benar. Banyak hal yang semula kita anggap benar, seiring dengan perputaran zaman kemudian terungkap kekeliruannya. Dengan mengutip Alan M. Taylor, Ali Cetin melanjutkan pencerahannya. Ia menggambarkan betapa globalisasi tidaklah terjadi begitu saja.
Globalisasi terjadi didahului sejarah yang panjang akan perkembangan ekonomi. Masyarakat yang tinggal di daerah yang berjauhan atau yang tinggal di negara yang berbeda tadinya harus melewati perjalanan yang panjang melintasi lautan dan benua untuk berbisnis atau bahkan hanya untuk sekadar berkomunikasi. Keadaan perekonomian pada abad keenam belas sungguh berbeda dengan keadaan perekonomian sekarang ini. Pada saat itu semua serba dilakukan dengan bertatap muka. Perdagangan kebanyakan dilakukan melalui jual beli langsung di pasar atau market dengan transaksi tunai. Untuk mengembangkan ekonomi, memerlukan waktu yang lama akibat keterbatasan media berkomunikasi. Juga membutuhkan waktu yang lama untuk berinteraksi dengan partner bisnis yang berpotensi yang tinggal berjauhan.
ADVERTISEMENT
Di Turki pada masa Osmania alat tukar menggunakan mata uang Dinar dan Dirham. Mata uang yang nilainya akan terus mengikuti perkembangan zaman. Tidak seperti uang kertas yang dipergunakan sekarang, nilainya dipengaruhi oleh para "pedagang dan pialang uang" yang bermain di "angkasa". Uang kertas bisa dicetak setiap detik dan anehnya kebanyakan kita menjadikannya komoditas yang disimpan dalam brankas bukan sebagai alat tukar. Ketika nilainya naik ditukarkan dan ketika nilainya turun dibeli lagi, namun tetap disimpan di brankas. Tak terasa kita terus disibukkan mengumpulkan dan menghitungnya hingga saatnya masuk ke liang kubur.
Semenjak alat-alat teknologi dan informasi berkembang, perdagangan mata uang pun sudah masuk ke dunia digital dan internet. Uang virtual (virtual currency), mulai merambah perdagangan. Baru saja rasanya kita disibukkan dengan uang yang "bersembunyi" di balik kartu plastik. Kini uang sudah tersimpan di dalam smartphone. Dengan menggunakan jaringan internet, informasi dapat diakses dan dilacak dari mana pun, dan transaksi global mengalami perkembangan yang pesat. Big data kemudian menjadi bahan rebutan. Data-pun mulai diperjualbelikan. Sungguh sulit diterima akal, jika cerita ini didengar oleh generasi yang lahir di tahun 1920-an. Perdagangan komoditi dan saham-saham pun mengalami perkembangan, tidak hanya lewat jual beli di pasar, namun dapat melalui investasi atau penanaman modal, dengan pembayaran cashless," Begitu Ali Cetin mengakhiri pencerahannya kepada Bahlul.
ADVERTISEMENT
Bahlul belum lagi merasa puas, jika ia tidak mengkonfirmasi keadaan ini pada gurunya Syekh Soramettin. Di senja yang cerah, matahari di atas Selat Bosporus tampak memancarkan cahaya merah dan kilauannya memantul di permukaan arus air mengikuti burit Kapal Pesiar Mavi Marmara yang sedang melintas di Selat Bosporus. Bahlul bergegas menuju rumah gurunya.
Roda zaman berputar tak pernah henti,
Menggilas kehidupan dunia fana,
Hati dan pikiran terasa mati,
Menatap perubahan alam semesta.
Bahlul memulai ungkapan kerisauannya kepada Sang Guru, terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi.
"Bahlul, Bahlul, Engkau tak perlu risau dengan perubahan yang sedang terjadi di hadapanmu," Syekh Soramettin membuka pembicaraannya dengan Bahlul yang sore itu dikelilingi oleh murid-muridnya. Engkau bayangkan Bahlul, dahulu di Kesultanan Seljuk untuk melawan ekspansi Mongolia, pedang dan parang dibentuk dengan keterampilan tangan dan diasah dengan batu. Tetesan keringat pandai besi kerap kali ikut menyepuh pedang-pedang itu seolah-olah menambah energi perjuangan para syuhada di medan tempur. Tapi, kini kita tak lagi dapat mendapatkan pedang-pedang seperti itu. Pedang-pedang itu sekarang diproduksi secara massal dengan menggunakan mesin-mesin industri. Pedang itu tidak lagi digunakan untuk berperang atau memenggal leher orang-orang yang didakwa sebagai pengkhianat. Pedang-pedang yang berkilau itu, kini dijadikan hiasan dinding rumah-rumah mewah.
ADVERTISEMENT
Senjata pemusnah massal sudah siap dikendalikan dan ditembakkan dari jarak jauh dengan menggunakan remote control, menggantikan pedang-pedang itu. Itulah sebabnya para pemenang perang saat sekarang ini tak pernah bisa menghayati arti sebuah kemenangan. Musuh yang mereka anggapan berseberangan dengan mereka pun tak pernah mereka kenal. Senjata ditembakkan membabi buta. Tak peduli apakah mengenai para wanita, anak-anak, penduduk sipil, dan para anggota Palang Merah Internasional. Para pelaku perang mengkhianati kesepakatan yang sudah mereka setujui sendiri di Jenewa tahun 1949.
Menjadi benar apa yang disinyalir oleh Iblis ketika penciptaan Adam Alaihissalam bahwa, 'Manusia ini nantinya kerjanya akan selalu menumpahkan darah’. Tujuan perang bukan lagi melawan kezaliman, kebatilan dan ketidakadilan, tapi memuaskan hawa nafsu untuk merebut sumber-sumber energi bumi. Itulah kerakusan manusia, Bahlul".
ADVERTISEMENT
Bahlul dan murid-murid Syekh Sora, dengan tekun mengikuti untaian kata-kata yang keluar dari lisan gurunya.
Kemudian Syekh Sora melanjutkan kembali tuturnya, "Saat ini transaksi sudah menggunakan sistem digital. Belum lagi habis persoalan riba karena kehadiran uang kertas, kini muncul uang virtual. Uang tidak lagi menjadi alat tukar. Tapi sudah menjadi komoditi. Nilai uang itu diterakan di atas kertas. Berat, ukuran, dan kualitas uang kertas 100 Lira Turki sama dengan 100 US Dolar. Tapi kalau dibelanjakan Dolar Amerika dapat membeli 5 kali lipat barang-barang di Turki dengan lembaran uang kertas yang sama.
Tak ada yang bisa mengontrol secara akurat proses pencetakan uang. Apalagi banyak negara-negara di dunia menggunakan perusahaan milik negara untuk mencetak uang. Bank Sentral dan Bank Dunia yang memantau pencetakan uang itu, tak dapat menjangkau perilaku orang-orang yang terlibat dalam proses pencetakan uang. Biaya percetakannya juga mahal. Belum lagi jika dihubungkan dengan riba.
ADVERTISEMENT
Keharaman riba bagi kaum beriman sangat menakutkan, Bahlul. Itulah sebabnya Sang Khalik menyatakan perang terhadapnya. Perumpamaan dosa riba, Bahlul oleh Kekasih Sang Khalik diumpamakannya, untuk perbuatan riba yang paling kecil, dosanya sama dengan bak menzinahi ibu kandung sendiri. Na'udzubillah, betapa mengerikan, Bahlul.
Kelemahan kita sekarang Bahlul, kita membuat tafsir yang beragam tentang riba. Itulah yang menyebabkan banyak ragam pendapat tentang riba. Ada yang memberi kategori riba pada lembaga perbankan. Alasannya karena di sanalah tempat pabrik riba terbesar. Alhasil, banyak umat memilih tidak lagi menyimpan uangnya di bank.
Riba dianggap sekadar menghindari adanya bunga bank. Riba kemudian ditafsirkan sebatas bunga simpanan dan bunga utang. Kala bunga tak dinikmati atau tak dibayar, dianggap lepas dari riba. Bank yang berkedok syariah pun bermunculan di banyak negara. Bahkan dikelola oleh kaum kapitalis yang tak menyandarkan sistem pengelolaannya pada syariah. Cukup dengan menghadirkan para pekerja bank wanita yang mengulurkan jilbabnya, sudah dianggap syariah. Padahal isinya lebih riba dari bank konvensional. Kata "bunga" diganti dengan "bagi hasil". Seiring dengan itu bermunculan istilah Murabahah, Wadi'ah, Salam, Istisna', Ijarah, Ijarah Mutahiyah bit Tamlik, Qard, Al Qurdul Hasan, Bai'ummin tamanadzil, Musyarakah, Musyarakah Mutanaqisyah, dan lain-lain. Praktiknya tetap sama, tak jauh berbeda dengan bank konvensional, sama-sama mendagangkan uang. Kita sepertinya "mengelabui" mata Sang Khalik.
ADVERTISEMENT
Ketahuilah, Bahlul. Riba tak sebatas bunga uang, riba lebih dari itu, Bahlul. Riba bersarang pada flat money, produk perbankan, uang kertas. Syekh Umar Vadillo, faqih tersohor perihal muamalat menjabarkan, uang kertas itu terdapat dua riba sekaligus: riba al fadhl dan riba nasi’ah. Fatwa-nya perihal keharaman uang kertas, Vadillo membeberkan itu semua. Tapi kemudian jamak ada yang mengambil kesimpulan: jalan keluar dari riba itu dengan menggelontorkan banyak dinar emas dan dirham perak. Itulah seolah-olah solusi tunggal keluar dari riba, Bahlul. Padahal tak mesti begitu.
Mari kita longok kisahnya, Bahlul. Tentang bagaimana riba kini menjadi sistem yang membahayakan. Tidak hanya membahayakan ekonomi, tapi membahayakan keimanan. Praktik riba kini menutup matanya, membabi buta. Riba tak terjadi dan tak datang sendiri, Bahlul. Riba tak muncul tiba-tiba seperti pedang Khalid bin Walid. Riba datang karena kemusyrikan yang mendahuluinya. Ateisme mendahului riba,” kata Syekh Abdalqadir as Sufi. Uang kertas, tentu berasal dari lembaga perbankan. Hadirnya bank, juga bukan mendadak datang. Kehadiran bank si empunya disebut bankir – sebagai penopang utama uang kertas itu.
ADVERTISEMENT
Kisah itu bermula dari Revolusi Inggris, tahun 1668, begitu tulis Irawan Santoso Shiddiq (2020). Ketika huru-hara melanda Eropa. Titik awalnya bermula dari sekuel bankir mengendalikan Kerajaan Inggris. Sekitar 70 orang bankir kebanyakan orang Yahudi — berkumpul memberi dana pinjaman kepada Raja William of Orange, sebagai Raja Inggris yang baru. Dia dinikahkan oleh Ratu Mary I, anak keturunan dari Charles. Masa itulah Perang Aqidah besar melanda Eropa. Antara Gereja Roma dan kaum pengikut Luther maupun Calvinis. Persoalan Aqidah menjadi prahara. Pengikut Luther, divonis bid’ah. Kejadian di Kerajaan Perancis, abad XVI, menjadi peristiwa berdarah abad itu. Christopher Marlowe menggambarkannya dalam 'Masacre de Paris', Pembantaian Paris. Karena kala itu sekitar 2000 orang lebih pengikut Protestan mati diracun pada suatu malam yang kelam. Di malam perayaan pembantaian Santo Bartolomeus, sahabat Isa Alaihissalam yang dulu meninggal disiksa penguasa Romawi. Sejak kejadian pembantaian itu, kaum Protestan melawan. Dan kemudian mereka berhasil “merebut” kerajaan Inggris. Raja Willliam didapuk, karena dia pengikut Luther," begitu Syekh Sora mengisahkannya. "Kisah ini belum berhenti, Bahlul," lanjut Syekh Sora.
ADVERTISEMENT
Kita mundur dulu ke belakang. Perang Aqidah itu tak langsung mulai begitu saja. Ini sejak masuknya filsafat ke dunia Nasrani. Semenjak pasca mu’tazilah dalam Islam, kaum Eropa memungut filsafat. Dari sanalah kemudian berkembang. Filsafat dijadikan tameng untuk menentang dogma Gereja Roma. Muncullah teori-teori baru dalam agama. Sama halnya dalam masa mu’tazilah dalam Islam. Tuhan pun kemudian diteorikan ulang. Persis seperti ajaran Socrates, Plato dan Aristoteles. Rasionalitas menjadi panduan utama. Gereja banyak menentang. Karena semula, sejak Consili Nicea abad IV, filsafat ditutup di kaum Nasrani. Tapi pasca mu’tazilah, abad XII, filsafat dikutip kembali. Thomas Aquinas membawanya dari Cordoba. Dia berguru dan jamak belajar dari Ibnu Rusyd.
Muncullah filosof-filosof penentang Gereja. Mulai Copernicus, Galileo, Descartes, Kant sampai filsafat politiknya Machiavelli. Segala hal kembali diteorikan. Termasuk soal Tuhan maupun manusia. Muncullah teori tentang Tuhan. Itulah teologi. Muncul juga teori tentang manusia: humanism dan sosiologi. Bersamaan dengan itu muncul pula teori tentang riba. Bunga uang tak lagi diharamkan, setelah diteorikan ulang.
ADVERTISEMENT
Revolusi Inggris meletus. Disitulah kaum pengikut Luther awal memiliki kemenangan. Raja William diangkat oleh bankir. Tapi kaum bankir meminta syarat: mereka meminta monopoli pengaturan uang. Inilah awal kelahiran bank sentral. Itulah Bank of England. Mengapa bisa? Karena Inggris Raya. Disinilah titik permulaan perjalanan sejarah uang yang diproduksi oleh bank, di mana para bankir memainkan peranannya. Sebagian kita masuk perangkap dan terjebak dalam arus riba. Kebanyakan kita mengikuti dan menyesuaikan irama bentukan para bankir hasil dari dari Revolusi Inggris. Alih-alih kita pun ikut latah menyesuaikan syariat dengan sistem perbankan itu dengan mencari alasan pembenaran. Bukan kebenaran. Kita tinggalkan Dinar Dirham, kita tinggalkan konsep Baitul Mal. Kini pergerakan uang sudah memasuki dunia maya, dunia virtual. Tak usah lagi berpayah-payah membawa uang jika hendak belanja atau bepergian, cukup membawa smartphone. Semua bisa dibeli dan ditransaksikan.
ADVERTISEMENT
Apa yang kita saksikan hari ini Bahlul, tak bisa kita ceritakan pada generasi seusia kakek nenek kita. Seandainya mereka bangkit dari kuburnya hari ini, mereka akan mengatakan cucunya kini telah masuk surga. Betapa tidak, dari ruangan yang dingin sambil berselonjor kaki, dia menyaksikan anak cucunya bisa memesan anggur, buah-buahan, makanan yang lezat cita rasanya, bahkan bisa memesan ‘bidadari’. Merekapun banyak melupakan Sang Khalik, karena disibukkan oleh urusan duniawi yang tak berujung. Mengenai Revolusi Industri, jika napas kita masih diberi Sang Khalik, besok akan kita bincangkan lagi Bahlul," demikian Syekh Sora seraya berdiri mengakhiri kuliah sorenya.
Di tengah rasa penasarannya, Bahlul dan murid-murid Syekh Soramettin ikut berdiri, seraya meletakkan kedua telapak tangannya di dadanya sambil membungkuk ke arah Sang Guru yang sangat mereka hormati. Syekh Sora membalas dengan membungkukkan badannya. Bahlul dan murid-murid Syekh Sora bergegas meninggalkan maktab Syekh Sora yang bersebelahan dengan rumah tinggalnya.
ADVERTISEMENT
Matahari Istanbul tak tampak lagi. Bahlul mengayunkan langkah kakinya diiringi lantunan ayat-ayat Sang Khalik dari menara masjid Blue Mosque.