Kesetiaan

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
6 September 2021 8:27 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: OK. Saidin
Jendela pesawat. Foto: ShutterStock
Cahaya merah tampak dari balik pintu pesawat. Jam tangan yang terpasang di lengan kiri Oka, Sang Profesor, menunjukkan Pukul 05.21 Waktu Tokyo. Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara yang disampaikan dalam tiga Bahasa, yang meminta kepada penumpang, untuk mengencangkan sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan melipat meja yang ada di hadapannya. Lampu tanda mengenakan sabuk pengaman dan tanda larangan menggunakan lavatory telah dihidupkan. Deru dan getaran mesin pesawat ikut menggetarkan tubuh Oka yang sebelumnya tertidur pulas. Lima belas menit kemudian roda pesawat sudah menyentuh landasan pacu Narita Airport.
ADVERTISEMENT
Meskipun cahaya matahari pagi masih terlalu muda, Narita Airport tampak ramai. Manusia dengan berbagai tampilannya berseliwiran. Mulai dari yang tinggi jangkung, dengan bola mata yang besar sampai yang bertubuh kecil dengan mata terbuka seukuran anak korek api. Mulai dari berambut pirang berkulit merah sampai pada berambut keriting berkulit hitam. Airport ini tampaknya tak pernah sepi dari denyut kehidupan. Dari balik kaca dinding koridor menuju peron Tokyo Skyline, embun merayap jatuh membasahi pucuk dedaunan dan bunga-bunga yang mulai tampak tumbuh menjelang musim semi tiba. Setelah menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk urusan imigrasi, Oka melangkah mengikuti anak tangga menuju peron Tokyo Skyline. Ini adalah hari pertama Oka menginjakkan kakinya di Negeri Sakura itu.
ADVERTISEMENT
Ia membuka map dan petunjuk yang sudah jauh hari disampaikan lembaga yang menggelar hajatan. Chiyoda adalah tujuannya, tempat yang masih berada dalam bilangan Tokyo Metropolitan, tempat Markas besar Japan Patent Office (JPO), sebuah Badan Pemerintah Jepang di bawah Kementerian Perdagangan dan Industri yang mengurusi urusan yang terkait dengan kekayaan perindustrian, meliputi, paten, desain industri, merek, dan utility models, sedangkan Hak Cipta diurus oleh badan urusan Kebudayaan. Oka direncanakan selama tiga pekan akan menghabiskan waktunya di lembaga ini mengikuti short course tentang Hak Kekayaan Intelektual yang diikuti oleh sejumlah peminat bidang kajian ini sekawasan Asia-Pasifik.
Dari terminal 2 Bandara Oka menaiki Skyliner langsung menuju stasiun Nippori. Dari Nippori ia pindah ke Peron C-16 menaiki armada Tokyo Metro yang akan membawanya ke Chiyoda. Route sepanjang 21,9 km melayani kawasan Adachi, Arakawa, Bunkyo, Chiyoda, Minato dan Shibuya. Jalur Chiyoda ini adalah jalur tersibuk kedua di Tokyo. Akhirnya ia sampai juga ke tempat yang dituju. Tapi detail lokasi gedung belum tampak juga. Oka kembali membuka map dan membentangkannya di atas koper. Seorang wanita tua dengan menggunakan mantel tebal berwarna merah berhenti dan turun dari sepedanya persis di hadapannya yang sedang khusuk membaca peta. Tak tahu apa pekerjaan wanita tua ini, dan untuk urusan apa ia keluar dari rumahnya pagi itu. Tapi tiba-tiba saja ia menghampiri Oka. Sepertinya ia tahu apa yang sedang ada di benak Oka. Dengan menggunakan "Bahasa Tarzan" Oka meletakkan ujung pulpennya di atas peta menunjukkan lokasi JPO. Wanita tua itu menganggukkan kepalanya. Dengan wajah yang tampak sangat bersahabat, kulit wajahnya yang bersih meskipun penuh guratan karena dimakan usia, namun senyumnya sangat menyejukkan hati bagi siapapun yang memandangnya. Dia pastilah seorang ibu yang sangat beruntung di hari tuanya, karena tak tampak ada beban di raut wajahnya. Wanita tua itu mengangkat koper Oka dan meletakkannya di atas bangku sepedanya. Sambil berjalan kaki dengan sepeda didorong Oka dipandunya menuju Gedung Japan Patent Office. Sembilan menit kemudian mereka sudah sampai di halaman Gedung Japan Patent Office. Gedung yang menjulang tinggi dengan halaman yang luas. Wanita tua itu menurunkan koper dari sepedanya lalu membungkukkan badannya ke arah Oka. Oka yang masih merasa canggung cara memberi hormat, kemudian ikut membungkukkan badannya. Dari mulut Oka terdengar ucapan, "Domo arigato gozaimasu", satu-satunya kosa kata Jepang yang baru dihafalnya selama seminggu ini. Sang wanita tua menjawab, "Doitashimashite." Wanita tua itu kemudian mengayuh sepedanya membelah udara dingin Chiyoda dan tak berapa lama ia hilang dari pandangan. Bagi Oka, ini adalah wanita misterius yang pernah ia jumpai dalam hidupnya. Sampai hari ini kenangan itu masih saja terlintas di benaknya setiap kali ia menempuh perjalanan di kota-kota di dunia yang ia kunjungi. Ada saja orang yang berbuat kebaikan yang tak disangka-sangka.
ADVERTISEMENT
Hari itu Minggu, tak ada kegiatan di kantor JPO. Oka hanya melaporkan kedatangannya ke panitia, selang beberapa menit Oka sudah dapat beristirahat di kamarnya seukuran 2,5 M X 3 M, dengan tempat tidur 60 Cm X 200 Cm. Di kamarnya ada meja seukuran 50 Cm X 80 Cm dengan 1 bangku. Kamar mandi juga cukup untuk mengguyur tubuh, sempit tapi aroma wanginya tetap semerbak dengan warna putih bersih. Air bersih jernih berwarna kebiru-biruan, dengan memutar kran sedikit saja ke arah kiri keluar deras memancar dari kran wastafel dan di atas wastafel tertulis "Nomu no ga yoi". Yang artinya baik untuk diminum. Di meja samping kiri kamar ada ketel pemanas air, dan nampan yang berisikan saset kopi, teh dan gula serta cramer. Ada dua buah cangkir. Di atas meja terpasang televisi Toshiba 20 Inch. Lima hari sudah Oka mengikuti rangkaian kegiatan di JPO. Bertambah sahabat yang ia kenal yang kemudian tergabung dalam IP-Friend. Hari ke enam, Sabtu semua peserta dibebaskan untuk mengunjungi tempat-tempat di Tokyo. Oka bersama dua sahabatnya barunya dari Indonesia, satu dari Malaysia, satu dari Thailand, satu dari Philipina dan satu dari Vietnam memilih berkunjung ke Shibuya. Di sana ada Patung Anjing Hachiko. Kisah di balik patung anjing ini sangat panjang.
ADVERTISEMENT
Kisahnya bermula dari seorang Profesor Ueno, seorang ilmuwan pertanian yang dipandang sangat terhormat yang mengajar di Tokyo University. Ia memiliki seekor anjing Ras Akita berwarna coklat keemasan yang ia beri nama Hachiko. Anjing ini setiap hari selama dua tahun bersama Professor Ueno dan kadang-kadang di saat hujan badai datang Professor Ueno memanggil Hachiko dan mengajaknya tidur di ruang tamunya. Professor Ueno dan Hachiko juga sering menghabiskan waktu berjalan bersama mengelilingi kota Tokyo pada hari-hari tertentu. Anjing ini tiap pagi mengantar Profesor Ueno berangkat sampai di stasiun Shibuya dan sore harinya ia berjalan sendiri menjemput tuannya yang pulang dari pekerjaannya di stasiun yang sama. Rutinitas ini dilakukannya selama dua tahun dan tak pernah absen sekalipun. Hingga pada suatu waktu, pada pagi hari Hachiko mengantar Profesor Ueno ke stasiun Shibuya seperti biasanya, dan siang itu Profesor Ueno meninggal dunia di tempat kerjanya. Jenazahnya dikebumikan di desa kelahirannya tak lagi melewati Shibuya. Hachiko dengan setia menunggui kedatangan tuannya di stasiun yang sama pada sore harinya, namun Professor Ueno tak muncul di hadapannya. Keesokan harinya Hachiko kembali lagi ke stasiun Shibuya dengan harapan tuannya akan datang, tapi harapannya untuk bertemu tuannya tak kunjung tiba. Hachiko terus berulang setiap sore selama 10 tahun datang ke stasiun itu menunggui Profesor Ueno, namun yang ditunggu tetap tak pernah datang, sampai akhirnya Hachiko mengembuskan napasnya di stasiun itu dan didapati tidak bernyawa pada tanggal 8 April Tahun 1935. Warga kota menetapkan hari Hachiko pada tiap-tiap tanggal 8 April dan membangun patungnya dalam posisi duduk mengarahkan pandangannya ke sebuah gerbong kereta kuno yang dipajang di bekas rel Stasiun Shibuya dengan ekspresi seperti sedang mengawasi sesuatu secara seksama. Taman itu sangat minimalis, tidak seluas kebanyakan taman kota. Namun pada bulan April taman itu akan sangat indah ketika bunga sakura mulai mekar. Itulah kisah kesetiaan Sang Anjing pada Tuannya. Kisah ini melegenda di Jepang dan bahkan di dunia yang menginspirasi banyak orang, khususnya warga Jepang tentang makna sebuah kesetiaan. Kisah ini kemudian diangkat dalam film versi hollywoodnya yang dibintangi oleh Richard Gere.
ADVERTISEMENT
Di dekat patung Hachiko ada kawasan yang disebut Jalur Setagaya tempat wisata yang bernuansa lokal. Tempat ini di tahun 2019 yang lalu mendapat penghargaan Tripadvisor Certificate of Excellence sebagai tempat yang banyak mendapat komentar atau buah bibir serta ulasan yang tinggi dari masyarakat.
Setelah menghabiskan waktu lebih dari setengah hari, Oka dan kawan-kawannya melanjutkan jala-jalan sorenya ke Akihabara sekadar melihat-lihat produk elektronik. Sore hari mereka kembali ke peraduannya. Malam Oka merenungkan tentang kesetiaan Sang Anjing kepada manusia. Oka teringat akan kisah Ashabul Kahfi bersama anjingnya. Anjing memang makhluk yang diberi kelebihan dari hewan lainnya oleh Sang Khalik. Hewan yang mampu merekam peristiwa dan mengingat peristiwa itu dengan baik. Tidak hanya melalui indera penglihatannya tapi juga dari indera penciumannya. Maha Agung Sang Pencipta dengan ciptaannya.
ADVERTISEMENT
Oka malam itu menghubungi sahabatnya Bahlul di Istanbul dan menceritakan pengalamannya selama sepekan di Tokyo, termasuk menceritakan kisah kesetiaan Hachiko yang menginspirasi banyak warga Jepang. Seperti biasanya Bahlul menyampaikan kisah ini kepada gurunya Syekh Soramettin.
"Sahabat pergi ke negeri jauh, Menuntut ilmu mencari teman, Ada sesuatu yang hamba ingin tahu, Tentang hakikat dan makna kesetiaan", Bahlul membuka perbincangannya sembari menyampaikan pengalam sahabatnya selama sepekan di Tokyo.
"Apa yang Engkau sampaikan ini Bahlul, adalah untuk mengingatkan manusia akan kekuasaan Sang Khalik.", demikian Syekh Sora memulai kalimatnya. " Kesetiaan itu ada pada siapa saja, tidak hanya pada manusia, tapi juga pada hewan. Kadang-kadang kesetiaan hewan itu melampaui kesetiaan manusia. Setia itu bermakna patuh dan taat. Sebelum manusia diciptakan makhluk yang yang paling patuh dan taat itu adalah malaikat, Bahlul. Malaikat sedikitpun tidak mau membantah apa yang sudah digariskan Sang Khalik. Ingatlah Bahlul, saat manusia diciptakan, malaikat-pun tunduk kepada manusia. Artinya manusia bisa melebihi malaikat. Manusia itu makhluk yang paling sempurna. Ketaatan dan kepatuhannya pada perintah Sang Khalik akan mengangkat derajat manusia ke tempat yang lebih tinggi dan mulia melampaui malaikat. Tapi kalau ia tidak taat pada Sang Khalik, ia akan ditempatkan pada tempat yang paling hina, bahkan di bawah derajat hewan. Kesetiaan hewan sesungguhnya meniru pada kesetiaan yang diajarkan oleh manusia seperti kesetiaan Hachiko kepada tuannya. Hachiko tidak tiba-tiba setia kepada tuannya, tapi tuannyalah yang mengajarkan arti kesetiaan selama dua tahun melalui perlakuannya kepada Hachiko. Tak semua anjing juga bisa setia, jika tuannya tidak mengajarkan kesetiaan. Banyak juga anjing yang menggigit tuannya. Karena itu ada pepatah yang berbunyi, "Bagai melepaskan anjing terjepit". Maknanya setelah dilepaskan ia menggigit orang yang menyelamatkannya. Oleh karena itu Bahlul, Engkau jangan terkesimah dengan kisah Hachiko. Seolah-olah anjing saja bisa patuh, anjing saja tahu cara membalas budi, sedangkan kebanyakan dari kisah perjalanan manusia adalah kisah pengkhianatan. Kisah Hachiko seolah-olah hendak menampilkan kehebatan Sang Hewan. Itu pandangan yang keliru Bahlul. Bahwa manusia bisa lebih hina dari hewan, itu benar Bahlul. Tapi pandangan yang mengatakan hewan lebih mulia dari manusia itu pandangan yang perlu diluruskan. Yang harus dipelajari dari kisah itu adalah kehebatan Professor Ueno. Bagaimana Professor Ueno mengajari Hachiko, sehingga ia bisa menjadi hewan yang patuh dan paling setia kepadanya. Perilaku apa yang dibuat oleh Profesor Ueno, sehingga Hachiko bisa menjadi hewan yang setia dan patuh kepadanya. Jadi yang hendak kita contoh adalah perilaku dan cara Profesor Ueno mengajari Hachiko.
ADVERTISEMENT
Tidak semua orang terlahir ke dunia mendapat anugerah sifat setia, Bahlul. Tapi semua orang bisa mendapat kesetiaan dari orang yang mungkin sebelumnya tidak ia kenal sama sekali. Kesetiaan itu datangnya seperti cinta, tak semua orang dapat mencintai seorang lainnya, tapi cinta itu bisa didapatkan oleh orang yang sesungguhnya tidak ia cintai. Begitulah lahirnya kesetiaan pada diri manusia, yang tidak dapat dipaksakan. Kesetiaan itu sebuah rahmat dari Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sifat setia ini sangat penting dimiliki oleh setiap insan. Lawan dari kesetiaan itu adalah pengkhianatan, ingkar. Sifat khianat itu akan menghancurkan diri manusia itu sendiri, keluarga dan bahkan Negara. Berapa banyak kita saksikan Bahlul, orang-orang yang berkhianat. Tapi kemusnahan dan kehancuran menjadi titik akhir kehidupannya. Kisah pengkhianatan itu banyak sekali dikisahkan dalam berbagai sejarah umat manusia. Pernahkan Engkau membaca kisah perjalanan, catatan Asro Kamal Rokan, seorang wartawan senior di sebuah negeri nun jauh di belahan Timur negeri ini, Bahlul. Sebuah kisah yang mengharu-birukan hati siapapun yang membacanya. Dalam catatan perjalanannya dikisahkannya tentang kejatuhan Andalusia yang telah berdiri tegak selama hampir delapan abad. Negeri ini dibangun dengan tetes darah, keringat dan airmata oleh para pejuang bermula dari Thariq bin Ziyad menundukkan pasukan Visigoth dalam "Pertempuran Guadalete ". Pertempuran yang damai dan penuh toleran yang nyaris tak berdarah pada tahun 711, seperti yang diungkapkan oleh peneliti Montgomery Watt. Kejayaan Dinasti Umayyah di Cordoba mulai tampak diawali dari kepemimpinan Khalifah Abdurrahman I yang dilanjutkan dengan khalifah-khalifah berikutnya. Karya monumentalnya adalah masjid Cordoba yang yang dibangun tahun 785 di ibu kota Andalusia itu. Masjid itu dibangun di atas situs Visigoth peninggalan Romawi, versi lain mengatakan masjid itu dibangun di atas pertapakan bekas gereja Sant Vicente. Kelak Masjid kebanggaan umat Islam Andalusia ketika itu berubah menjadi Katedral setelah kekuasaan Islam runtuh di tahun 1492. Sang Khalik membelokkan takdir negeri ini dan harus jatuh ke tangan orang lain, sesuai janjiNya kepemimpinan akan dipergantikan. Ketika di suatu masyarakat dipimpin oleh orang-orang zalim dan rakyat ikut zalim, maka Sang Khalik akan mengirim pemimpin yang zalim. Itu semua terjadi karena penghianatan, karena ketidaksetiaan, karena ketidakpatuhan kepada Sang Khalik dan kepada Sang Pemimpin. Itu kisah yang sangat tragis, Bahlul. Kerajaaan besar terpecah menjadi serpihan yang saling berperang, karena kerakusan dan dorongan hawa nafsu, birahi kekuasaan. Dorongan itu muncul karena tidak ada lagi sifat ketaatan, sifat kepatuhan dan sifat kesetiaan kepada Sang Khalik dan kepada pemimpin.
ADVERTISEMENT
Kerajaan-kerajaan yang sudah terpecah ini saling berperang, yang kerap kali meminta bantuan kepada Raja Ferdinand dan Aragon serta Ratu Isabella dari Castile yang dikemudian hari berbalik, menggiring satu persatu jatuhnya sentra-sentra Kerajaan Islam. Seperti yang ditulis dalam catatan Asro Kamal Rokan, Sang Wartawan tersohor di negerinya. Kota Cordoba jatuh di tahun 1238 disusul Seville tahun 1248. Tinggal satu-satunya Granada yang akhirnya juga jatuh pada 2 Rabi'ul Awal 897 Hijriah bertepatan 2 Januari 1492 karena pengkhianatan. Hanya ada dua pilihan; meninggalkan Agama Islam atau mati. Darah menggenangi ruang masjid Alhambra setinggi mata kaki. Keluarga Sultan Abu Abdillah Muhammad disingkirkan dan menyerahkan kunci gerbang Istana Alhambra kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella yang sebelumnya membantunya naik tahta. Berakhirlah Granada sebagai benteng terakhir Islam di Spanyol.
ADVERTISEMENT
Akhir kisahnya Bahlul, Sultan Abu Abdillah Muhammad pergi meninggalkan Granada menuju Afrika. Dalam perjalanannya ia berhenti memandangi Istananya dari puncak bukit. Air matanya menetes karena penyesalan. Penyesalan karena ia mengkhianati ayahnya karena Sang Ayah menunjuk saudaranya sebagai Raja menggantikan kedudukannya. Ibunya Aisyah yang berada dalam rombongan berkata pada Sultan Abu Abdillah Muhammad, "Menangislah seperti wanita, terhadap apa yang tidak bisa engkau pertahankan sebagai laki-laki." "Bukit tempat Abu Abdillah Muhammad menangis itu dikenal dengan Bukit Puerto del Suspiro del Moro, bukit tangisan orang Arab terakhir", Begitu Syekh Sora menjelaskan kisah penghianatan dan makna kesetiaan yang ia kutip dari catatan perjalanan Asro Kamal Rokan, sekaligus menutup petuahnya.
Matahari merayap menyelusup masuk ke dalam langit Istanbul. Perlahan-lahan tenggelam seolah-olah ditelan arus Selat Bosporus. Bahlul meletakkan kedua tangannya di dadanya seraya membungkukkan badannya ke arah Syekh Sora, Sang Gurupun membalas dengan perlakuan yang sama. Bahlul membalikkan badannya melangkah menuju jalan pulang.
ADVERTISEMENT