Menggugat Kebebasan Hakim dalam Keputusan Penundaan Pemilu 2024

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
6 Maret 2023 11:21 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Minggu pertama bulan Maret ini kita dikejutkan dengan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan yang sangat spektakuler. Putusan yang mengundang tanya dan menjadi bahan perbincangan.
ADVERTISEMENT
Perbincangan tentang itu terdengar di sudut-sudut ruang kantor, kedai kopi, sampai di ruang-ruang kuliah. Media mainstream mulai dari media cetak sampai pada media elektronik semua meliput berita tentang itu. Media sosial pun ambil bagian, mulai dari yang menggunakan platform Youtube sampai pada platform Tiktok.
Banyak pakar hukum yang memberikan komentar. Tak kurang dari ilmuwan hukum yang amat terpelajar seperti Prof. Denny Indrayana dan Prof. Yusril Ihza Mahendara turut berbagi pemikiran. Kalangan politisi pun ada yang curiga. Curiga, seperti yang dikemukakan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang menduga ada kekuatan besar di balik Putusan Pengadilan Negeri ini (Kompas, 4/03/23).
Bahkan, ada yang menghubungkannya dengan wacana penundaan pemilu yang digulirkan oleh beberapa elite partai selama kurun waktu satu tahun belakangan ini. Wacana itu ternyata disambut baik oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan tersebut. Siapa lagi yang bisa membantah putusan Pengadilan di negeri yang sudah menetapkan pendiriannya sebagai negara hukum (rechsstaat)?
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Rakyat harus patuh dengan putusan hukum. Putusan hukum mana lagi yang lebih kuat selain putusan pengadilan? Ini adalah perwujudan dari kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara. Asasnya diakui secara universal, yakni res judicata pro veritate habetur.
ADVERTISEMENT
Setiap putusan hakim harus dianggap benar. Peradilan Indonesia menempatkan irah-irah dalam keputusannya “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yag Maha Esa”. Irah-irah itu hendak menegaskan bahwa Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi. Keputusan itu bukan mewakili suara manusia, tetapi mewakili suara Tuhan. Hakim adalah perpanjangan “tangan” Tuhan.
Berbagai keputusan hakim hari ini banyak yang jauh dari suara Tuhan. Jauh dari rasa keadilan. Banyak bermakna tidak semua. Ada juga putusan hakim yang sesuai dengan rasa keadilan dan mewakili suara Tuhan. Akan tetapi Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini menempatkan Lembaga peradilan jauh dari rasa keadilan. Rakyat kehilangan tempat untuk mencari keadilan.
ADVERTISEMENT
Kini, lengkaplah sudah beban yang dipikul oleh negeri ini. Beban keadilan yang tak kunjung terwujud. Uraian berikut ini tidak hendak mengajarkan limau berduri, tapi lebih dari sekadar berbagi informasi untuk mengingatkan para hakim agar Tuhan benar-benar hadir di hati mereka sata memutus suatu perkara.

Duduk Perkara

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Kasus ini bermula dari hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum yang menolak Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) untuk diikutsertakan sebagai Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Partai Rakyat Adil Makmur kemudian mengajukan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perbuatan yang digugat adalah Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum karena dinyatakan Partai Rakyat Adil Makmur tak lulus previkasi untuk diikutsertakan sebagai Partai Politik Calon Peserta Pemilu pada Pemilu yang akan datang (2024).
ADVERTISEMENT
Putusan ini muncul setelah Majelis Hakim yang menyidangkan perkara gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya berujung dengan Keputusan Penundaan Pemilu selama 2 (dua) tahun enam bulan dan 7 (tujuh) hari. Perkara yang semula masuk wilayah hukum (rezim) privat (perdata), berujung dengan keputusan yang masuk ke wilayah hukum publik.
Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Redaksi pasal ini diulang kembali dalam Pasal 167 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menegaskan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap 5 lima tahun sekali. Artinya, tak ada ruang untuk menunda pemilu secara Nasional.
ADVERTISEMENT
Tidak itu saja, UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tak mengenal istilah penundaan Pemilu tapi yang ada adalah Pemungutan Suara Ulang yang diatur dalam Bab IX diawali dari Pasal 372 dan Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan yang diatur dalam Bab XIV dimulai dari Pasal 431 UU No 7 Tahun 2017.

Yurisdiksi Lembaga Peradilan

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Pelaksanaan Pemilu adalah perwujudan dari Kedaulatan Rakyat dalam Sistem Ketatatanegaraan yang demokratis. Tujuannya untuk menghasilkan wakil rakyat yang memiliki integritas yang dipilih secara demokratis. Karena itu pelaksanaan pemilu itu melekatkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Untuk melaksanakan ini undang-undang membentuk badan Komisi Pemilihan Umum yang akan menyelenggarakan seluruh rangkaian proses Pemilu. Wilayah hukum (rezim hukum) yang mengatur tentang fungsi-fungsi badan penyelenggara negara semisal, MPR, DPR, Presiden, Menteri, Gubernur dan lain-lain termasuk KPU, dalam studi Ilmu Hukum ditempatkan dalam rezim atau ranah kajian Hukum Tata Negara.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya tentang bagaimana kemudian Badan-Badan Negara itu menjalankan fungsinya, itu dibincangkan dalam rezim Hukum Administrasi Negara. Karena itu, jika terjadi sengketa terhadap isi peraturan atau substansi norma yang merugikan warga negara, keberatannya dapat diajukan melalui gugatan ke Lembaga Peradilan Mahkamah Konstitusi.
Di Indonesia dikenal ada beberapa yurisdiksi atau Lingkungan Peradilan yang membatasi kewenangan mengadili, sebagai penjelmaan dari wewenang kekuasaan Kehakiman.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Juridiksi atau kompetensi wewenang mengadili itu meliputi Linkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung dan Lingkungan peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Niaga, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan di bawah peradilan khusus yang meliputi Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Niaga, Peradilan Anak, Peradilan Hak Asasi Manusia, Peradilan Tipikor, Peradilan Perikanan, yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Pajak yang berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) dengan semua tingkatannya dan semuanya berujung di Mahkamah Agung, termasuk peradilan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi merupakan Lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Ada lagi peradilan yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial yang merupakan Lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial).
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kompetensi kewenangan mengadili berdasarkan yurisdiksi kewenangannya sebagaimana disebutkan di atas disebut sebagai kompetensi absolut.
Ada juga badan peradilan yang dibentuk secara khusus yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung seperti; Lembaga Peradilan Konsumen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) .
ADVERTISEMENT
Ada lagi yang disebut dengan kompetensi relatif, yaitu Lembaga Peradilan di tempat mana yang berwenang, di Jakarta atau di Medan, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara atau Pengadilan Negeri Medan. Untuk yang disebut terakhir ini tergantung tempat objek perkara atau tempat kejadian perkara atau tempat para pihak atau salah satu dari tempat para pihak.

Kewenangan Bawaslu dan Peradilan Tata Usaha Negara

Ilustrasi Bawaslu DKI Jakarta. Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
Jika ditelusuri UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kewenangan untuk mengadili perkara ini ada pada yurisdiksi Bawaslu dan Peradilan Tata Usaha Negara. Bawaslu memiliki kewenangan untuk menerima dan menindak lanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilu (vide Pasal 95 UU Nomor 7 Tahun 2017).
ADVERTISEMENT
Hanya apabila keputusan Bawaslu tak memenuhi keinginan pihak-pihak yang bersengketa (antara KPU melawan Partai Politik Calon Peserta Pemilu), barulah kemudian salah satu pihak yang berkeberatan dapat menggunakan upaya hukum yakni mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pelanggaran Pemilu diatur dalam Bab I Pelanggaran Pemilu Bagian Kesatu dimulai dari Pasal 454 UU No 7 Tahun 2017. Pelanggaran administratif Pemilu diproses oleh Bawaslu, diatur dalam Pasal 455 ayat (1) huruf b dan dikuatkan lagi melalui Pasal 460, UU No 7 Tahun 2017.
Rumusan pelanggaran administratif adalah pemilu, meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.
Ilustrasi KPU. Foto: Shutterstock
Tentu saja ini mencakup tahapan pendaftaran untuk menjadi kontestan pemilu yang diawali dari pendaftaran dan verifikasi yang dilakukan oleh KPU. Penyelesaiannya menurut ketentuan Pasal 461 ayat (1) adalah melalui Bawaslu. Bawaslu memiliki kewenangan menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu.
ADVERTISEMENT
Putusan Bawaslu dapat berupa: perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu dan sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang No 7 Tahun 2017 (Vide Pasal 461 ayat (6).
Jika, KPU tidak menindak lanjuti putusan Bawaslu, maka Bawaslu dapat mengadukan peristiwa itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) (vide Pasal 155 dan 156 UU No 7 Tahun 2017) dan ketentuan lebih lanjut tentang hal ini akan diatur dengan Peraturan Bawaslu.
Persyaratan partai politik untuk ikut menjadi kontestan pemilu diatur dalam Pasal 173 ayat (1) dan ayat (2) UU No 7 Tahun 2017 yang mengaskan merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
ADVERTISEMENT
Terdapat 9 (sembilan) syarat yang harus dipenuhi meliputi:
ADVERTISEMENT
Khusus untuk Peraturan KPU yang diduga bertentangan dengan Undang-undang Pemilihan Umum yakni UU No 7 Tahun 2017, maka pengujiannya dapat langsung diajukan ke Mahkamah Agung.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan/atau pihak yang dirugikan atas berlakunya Peraturan KPU itu dapat menjadi Pemohon untuk pengujian ke MA tersebut (vide Pasal 76 UU No 7 Tahun 2017). Tenggat waktu pengujian itu diberi batas waktu, yakni 30 hari sejak Peraturan KPU itu diundangkan.
Mahkamah Agung–pun diberi batas tenggang waktu 30 hari untuk memberi keputusan atas pengujian Peraturan dan Keputusan KPU tersebut.
Demikian pula jika terdapat kekeliruan para penyelenggara negara dalam menjalankan fungsinya. Misalnya dengan tindakan yang dilakukan telah merugikan warga negara, keberatannya dapat diajukan melalui gugatan ke Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara. Akan tetapi khusus untuk sengketa proses Pemilu sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan KPU, penyelesaiannya dilakukan melalui permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan oleh Calon Peserta pemilu/atau peserta Pemilu kepada Bawaslu (vide Pasal 466 jo.Pasal 467 ayat (2) UU No 7 Tahun 2017.
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Apabila tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, maka Bawaslu dapat menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi. Putusan Bawaslu mengenai Penyelesaian sengketa Proses Pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (vide Pasal 469 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017. Akan tetapi Pasal ini mengecualikan untuk sengketa proses Pemilu yang antara lain berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu (469 ayat (1) huruf a UU No 7 Tahun 2017). Khusus untuk itu undang-undang ini membuka peluang jika terkait sengketa verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu yang diputus oleh Bawaslu (Vide Pasal 173 UU No 7 Tahun 2017) tidak diterima oleh para pihak (KPU lawan Partai Politik Calon Peserta Pemilu), maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara. Tahapan yang harus dilakukan adalah setelah upaya administratif di Bawaslu telah digunakan (vide Pasal 471 ayat (1).
ADVERTISEMENT
Satu hal yang perlu dipahami bahwa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum. (vide Pasal 471 ayat (7) UU No 7 Tahun 2017). Inilah proses peradilan yang semestinya ditempuh oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), bukan melalui Peradilan Umum di Pengadilan Negeri kamar Perdata. UU No 7 Tahun 2017 sangat ketat mengatur hal ini dengan tenggat waktu yang sangat rigit. Tenggang waktu yang rigit itu serta tak adanya upaya hukum banding, hal itu dimaksudkan agar penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan tepat waktu dan tidak mengalami penundaan. Itulah rasional yang terdapat di balik norma itu.

Perbuatan Melawan Hukum Perdata

Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Ketika suatu sengketa diajukan ke Peradilan Umum pada kamar perdata, maka nomor atau register perkara yang ditulis oleh panitera adalah register perkara perdata. Ketua Pengadilan akan memilih dan menunjuk hakim yang ahli dalam bidang perdata untuk mengadilinya. Kecuali terdapat kerugian yang bersifat pribadi, privat, perorangan (atau Badan Hukum) dalam penerapan norma hukum baik itu yang timbul karena undang-undang ataupun karena perjanjian. Jika demikian ranah perbincangannya masuk pada rezim Hukum Perdata.
ADVERTISEMENT
Lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk mengadilinya adalah Lembaga Peradilan Umum atau Peradilan Niaga. Yang disebut terakhir ini tergantung pada bidang hukum yang disengketakan. Dapat juga peradilan ini diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar sidang pengadilan, termasuk melalui Peradilan Arbiterasi yang di Indonesia dikenal dengan Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI). Apa yang digugat dalam Perbuatan atau peristiwa Hukum Perdata?
Yang digugat dalam Perbuatan Hukum Perdata adalah tidak dipenuhinya kewajiban salah satu pihak dalam suatu Perikatan (Verbintennissen). Bagaimanan kewajiban para pihak itu timbul? Hukum perdata memberikan jawaban. Timbulnya kewajiban itu karena adanya perikatan satu orang atau lebih yang lahir karena karena perjanjian (overeenskomt) atau karena undang-undang (wet). Itulah yang disebut sebagai Perikatan (Verbintennissen). Perikatan yang lahir karena perjanjian, apa bila tidak dipenuhi, maka kualifikasi perbuatannya masuk dalam lingkup perbuatan wanprestasi. Sedangkan perikatan yang lahir karena undang-undang apabila dilanggar, maka kualifikasi perbuatannya masuk dalam lingkup Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige daad).
ADVERTISEMENT
Kewajiban itu timbul karena undang-undang. Setelah Arrest Lindenbaum dan Cohen (1919) pemaknaan lingkup perbuatan melawan hukum diperluas yang semula melanggar undang-undang (vide Pasal 1365 KUH Perdata atau Pasal 1401 Burgerlijke wet Boek Negeri Belanda) diperluas menjadi melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban si pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan. Atau dalam terminasi hukum Indonesia termasuk melanggar ketertiban, kepatutan, keamanan, kebiasaan, religi dan ideologi negara. Peristiwa semacam itu murni peristiwa perdata yang masuk dalam rezim hukum Perdata. Karena itu yurisdiksi Lembaga yang mengadili sengketanya adalah di bawah yurisdiksi lingkungan Peradilan Umum yakni Pengadilan Negeri.
Peristiwa Perdata adalah perbuatan hukum yang bersifat privat. Bersifat pribadi. Pribadi berarti antara para pihak. Akibat hukumnya juga mengikat para pihak yang bersengketa, tidak mengikat pihak ketiga atau publik dalam arti masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus antara Partai Rakyat Adil Makmur dengan Komisi Pemilihan Umum dapat saja pihak-pihak itu ditempatkan sebagai subjek hukum perdata. Akan tetapi harus diverifikasi terlebih dahulu perbuatannya. Apakah perbuatan itu merupakan perbuatan yang bersumber dari hubungan keperdataan. Semisal perikatan yang lahir karena undang-undang (wet). Jika setelah diverifikasi perbuatan hukumnya bersumber dari undang-undang yang melanggar kewajiban atau hak keperdataan, maka akibat hukumnya hanya berakibat terhadap kedua belah pihak.
Artinya dampak hukumnya hanya membawa akibat hukum kepada para subjek hukum (perdata/privat) Penggugat (Partai Rakyat Adil Makmur) dan Tergugat (Komisi Pemilihan Umum), bukan berdampak pada seluruh publik Indonesia (Rakyat Indonesia).
Hakim tak boleh menggunakan kebebasannya merambah ke bidang-bidang hukum lain yang tidak masuk dalam lingkup kewenangan mengadili. Kebebasan hakim itu sesungguhnya bukanlah dapat dimaknai bebas sebebas-bebasnya. Ada keterikatan yang yang mendasari putusan hakim. Secara teoritik, hakim tidak memiliki diskresi atau kebebasan ataupun independensi absolut (absolute discretion or autorities or independence) dalam memutus perkara, sekalipun ia memiliki hak untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
ADVERTISEMENT

Merobek Rasa Keadilan

Ilustrasi robot pengacara hukum. Foto: Shutterstock
Menurut Ronald Dworkin, dalam bukunya Taking Rights Seriously (1978:31), menyatakan bahwa diskresi itu ibarat ruang atau space dalam lubang di tengah kue donat. Existensi diskresi itu hanya sebatas pada area lubang yang dibatasi atau dikelilingi sabuk pembatas atau dinding-dinding kue donat tersebut.
Oleh karena itu, diskresi ini merupakan konsep yang relatif. Jadi sangat masuk akal apabila kita mengajukan pertanyaan, "Diskresi dengan standar apa, atau diskresi atau otoritas dalam konteks yang mana?”
Mengacu pada pendapat Hayyan Ul Haq (Associate Professor pada Fakultas Hukum Universitas Mataram-Lombok) secara substantif, seharusnya hakim tidak memiliki kebebasan dalam memutus perkara berdasarkan pilihan subjektifnya, dengan merobek dinding-dinding kue donat tersebut.
Dinding-dinding itu, demikian lanjut Haq, adalah cara berpikir hukum yang benar dan koheren dengan nilai nilai dan norma-norma konstitusional.
ADVERTISEMENT
Dalam merumuskan putusannya, hakim harus menguji putusannya melalui 5 steps test, berdasarkan: (i) Kemanfaatan; (ii) Kepastian Hukum; (iii) Keadilan; (iv) Keutuhan; dan (v) Sustainabilitas. Artinya dalam merumuskan putusan, hakim seharusnya mempertimbangkan: (i) kemanfaatan.
Apabila putusan tersebut bermanfaat, maka, hakim harus mempertimbangkan test kedua, yaitu kepastian hukum. Apakah putusan yang bermanfaat itu tidak bertentangan dengan kepastian hukum? Demikian seterusnya sampai pada step test kelima, yaitu sustainabilitas.
Jadi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menyidangkan Perkara Perbuatan Melawan Hukum antara Partai Rakyat Adil Makmur versus Komisi Pemilihan Umum tidak saja mencederai rasa keadilan masyarakat, tapi lebih jauh telah merusak tatanan hukum Indonesia secara keseluruhan.
Ini adalah satu lagi keputusan hakim yang paling buruk dari sekian banyak putusan hakim yang bermasalah dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Di mana para hakim yang memutus perkara itu tak lagi dapat menentukan keputusannya berdasarkan hati nuraninya dan lingkup kewenangan mengadili. Karenanya, Hakim yang menyidangkan perkara dengan putusan-putusan seperti itu harus diperiksa. Harus ada tindakan hukum yang tegas dari Komisi Yudisial dan dari Mahkamah Agung. Jika tidak, inilah cikal bakal kehancuran sistem peradilan di Indonesia.