Sebuah Jalan Tengah Revisi UU Panten No 13 Tahun 2016

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2021 10:46 WIB
·
waktu baca 17 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini, dunia sedang bergerak maju di atas jembatan Revolusi Industri 4.0 dan sudah mulai melangkah ke arah revolusi Industri 5.0. Ini ditandai dengan munculnya Artificial Intelligence sebagai alat yang dapat menciptakan berbagai kreasi dan produk. Di Australia Artificial Intelligence sudah didaftarkan sebagai investor, subyek hukum penemu paten.
ADVERTISEMENT
Walaupun saat ini masih berproses di Federal Court of Australia. Di berbagai negara di Eropa dan juga di Amerika ada yang setuju dan ada yang menolak tentang boleh tidaknya Artificial Intelligence menjadi subyek hukum sebagai investor.
Di sinilah perlu pemahaman yang terintegrasi dan menyeluruh yang tidak hanya terkait dengan pemahaman mengenai seluk beluk teknologi yang menghasilkan paten, akan tetapi juga tentang keberadaan Artificial Intelligence sebagai alat bantu manusia untuk berkreasi dan menciptakan produk.
Ketika mesin disuntikkan data melalui platform digital dan dihubungkan dengan teknologi informasi, maka mesin dapat digerakkan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan orang yang menemukannya dan mengoperasikan alat itu. Bagaimana peristiwa hukum yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dengan penggunaan Artificial Intelligence ini, seperti apa hubungan hukumnya, dan apa akibat hukum yang ditimbulkannya, semua ini perlu dipahami secara terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Tulisan berikut ini ingin mengajak kita semua untuk berbagi pengetahuan khususnya terkait dengan bidang hukum paten.

Dunia Memasuki Era Disrupsi

Nsi Industri 4.0 yang saat ini mulai melangkah ke Revolusi 5.0 telah mengantarkan peradaban manusia pada zaman yang sulit untuk diperkirakan. Di seluruh belahan bumi manusia akan menyaksikan berbagai perubahan pada pola-pola perilaku ekonomi, perilaku konsumsi dan pilihan-pilihan jenis pekerjaan yang berubah mendisrupsi pola-pola yang lama yang penuh dengan ketidakpastian.
Beberapa perusahaan-perusahaan besar sudah runtuh digantikan oleh perusahaan yang tak terlihat dengan kasat mata. Perusahaan itu dikendalikan dengan alat yang tersimpan dalam saku. Transaksi tidak lagi menggunakan uang tunai atau kartu plastik tapi cukup dengan smartphone. Banyak hal-hal lama yang tersingkirkan dengan datangnya sesuatu yang baru. Inilah yang disebut dengan era disrupsi (disruption era).
ADVERTISEMENT
Akan ada gap antara generasi masa lalu dengan generasi masa kini atau milenial, oleh karena itu perlu dibangun ketersambungan sejarah dalam segala lini kehidupan agar bangsa ini dapat memahami denyut nadi bangsanya sendiri. Tidak tercabut dari akar peradabannya. Itulah sebabnya dalam diskursus ini, perlu ditemukan formula agar bangsa ini dapat kembali kepada perjanjian luhur bangsa ini yakni Pancasila.
Selain dialog antar generasi diperlukan pula ketersambungan antara negara maju dengan negara dunia ketiga (developing countries) bahwa bumi ini perlu dikelola secara adil dan harus digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan ummat manusia dari generasi ke generasi. Dalam konteks paten, ambillah secukupnya dari alam dan kembalikan kepada alam, jika kita mengambil sesuatu yang lebih pada hari ini, sesungguhnya kita telah merampas hak waris dari anak cucu kita. Sebab, apa yang kita terima hari ini adalah apa-apa yang telah diwariskan oleh generasi kita terdahulu.
ADVERTISEMENT
Tentunya kita tidak mau bahwa penderitaan generasi kita pada masa yang akan datang, terjadi karena perbuatan kita hari ini. Paten sebagai instrumen untuk membangun peradaban ummat manusia harus dikembangkan untuk kesejahteraan ummat manusia. Orang-orang Jepang, orang-orang Amerika, orang-orang Eropa, orang-orang Indonesia, orang-orang Afrika, adalah makhluk manusia yang terbuat dari unsur yang sama yang memiliki hak untuk hidup dan sejahtera di muka bumi.

Penyesuaian UU Paten

Ilustrasi investasi saham. Foto: Shutter Stock
Tuntutan kemajuan teknologi informasi dengan menggunakan platform digital tidak terlalu berlebihan juga jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 UU Paten No.13 Tahun 2016. Ketentuan itu harus disesuaikan dengan kemajuan teknologi digital, termasuk program komputer yang memiliki efek teknis dan fungsi untuk menghasilkan penyelesaian masalah yang dapat diberi paten seperti algoritma dan peng-enkripsi-an (pengamanan informasi), yang dikenal dengan Artificial Intelligence.
ADVERTISEMENT
Asal saja semua itu diarahkan pada kepentingan kemaslahatan ummat manusia, yang hidup di atas planet bumi dalam putaran tata surya yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan seluruh tata surya yang ada di alam ini.
Satu hal yang perlu juga mendapat perhatian, ketika Artificial Intelligence dapat menciptakan produk, maka yang menjadi subyek hukumnya tetaplah orang yang mengoperasikan Artificial Intelligence tersebut. Artificial Intelligence tidak dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Artificial Intelligence tidak dapat menerima keuntungan atau menikmati keuntungan dari kreasi atau produk yang ia ciptakan.
Demikian juga ketika Artificial Intelligence melakukan kesalahan, mungkin menyebabkan kerugian atau kematian pada orang lain, maka yang dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum tetaplah manusia yang mengoperasikannya. Saat ini banyak Negara-negara maju yang mengoperasikan robot untuk membuat lukisan, menciptakan aransemen musik dan lagu, membuat laporan berita pendek dan bahkan melakukan operasi-operasi pembedahan dalam praktik medis. Tentu saja jika terjadi pemberitaan yang keliru atau operasi pembedahan yang gagal, maka orang yang mengoperasikan Artificial Intelligence itulah yang menjadi subyek hukum yang bisa dimintakan pertanggung jawaban.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu pekerjaan untuk merevisi UU Paten ini tentu memerlukan keseriusan di luar kebiasaan yang dilakukan oleh mereka-mereka yang berkecimpung di dunia legislasi selama ini. Badan Legislasi Nasional harus berani mengambil langkah-langkah dengan melahirkan teks-teks normatif yang baru dan tidak hanya mengekor pada model-model yang ditawarkan oleh negara industri maju yang selama ini berlandaskan ideologi kapitalis. Kita harus berani kembali mendesain arah kebijakan politik hukum terkait HKI dan perdagangan dengan bertolak pada pijakan ideologi bangsa dan bertumpu pada cita-cita kemerdekaan. Ini adalah sebuah prasyarat untuk menjadi bangsa yang mandiri.
Pertarungan global telah dimulai. Christopher May (2010) dalam bukunya “The Global Political Economi of Inteellectual Property Rights” mengatakan, instrumen HKI telah dijadikan alat bagi negara industri maju sebagai instrumen politik ekonomi global. Kebijakan perdagangan yang dikaitkan dengan pelindungan HKI sebenarnya adalah cara-cara negara raksasa melindungi kepentingan ekonominya dan semakin hari cara-cara itu semakin terlihat tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT

Siapa Yang Hendak Dilindungi?

Ilustrasi undang-undang. Foto: Pixabay
Undang-undang Paten yang berlaku hari ini UU No.13 Tahun 2016. Dalam konsideransnya undang-undang ini tidak lagi secara spesifik menyinggung tentang amanah konstitusi dan cita-cita negara. Pertimbangan yang digunakan sangat pragmatis dengan mengacu pada kemajuan perkembangan teknologi dan karenanya perlu peningkatan pelindungan bagi para investor. Memang disebut pelindungan itu perlu untuk memotivasi investor untuk meningkatkan hasil karya atau temuannya, baik secara kuantitas maupun kualitasnya dan untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat.
Namun, tidak disebutkan secara khusus bahwa undang-undang ini dimaksudkan juga untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional. Di samping itu undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melindungi sumber-sumber daya hayati dan non hayati dalam negeri atau untuk mendorong tumbuhnya industri dalam negeri melalui kebijakan investasi dan alih teknologi yang melibatkan pelaku usaha dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Demikian juga mestinya disebutkan secara spesifik bahwa undang-undang ini juga dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya lembaga riset dalam negeri baik yang dikelola oleh Lembaga Riset Nasional ataupun Perguruan Tinggi melalui paten asing yang terdaftar di Indonesia dan sebagainya yang memperlihatkan komitmen kebangsaan.
Ini tentu harus menjadi perhatian kita bersama. Para ilmuwan hukum tak boleh tampil sebagai pengamat, tapi harus memberikan solusi. Solusi untuk penyempurnaan kaidah-kaidah hukum paten yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, namun tidak tercabut dari akar ideologi Pancasila. Harus ada keseimbangan antara tuntutan realita dengan konsep ideal yang hendak diperjuangkan. Tidak melulu mengikuti arus dan gelombang tuntutan negara industri maju yang menawarkan sistem ekonomi kapitalis.
Jika seandainya hari ini tuntutan negara ekonomi maju yang notabene sebagai negara pemilik paten belum bisa diabaikan seluruhnya, tapi harus ada target jangka panjang untuk mengembalikan sistem ekonomi dan pola-pola investasi ke dalam sistem hukum dan sistem ekonomi Pancasila. Perlu penguatan dari dalam dengan memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan pelaku bisnis ekonomi kreatif, ekonomi sektor informal, khususnya di kalangan UMKM, serta terbukanya peluang investasi, alih teknologi dan serapan tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Harus ada kejelasan tentang apa yang diinginkan negara dengan undang-undang paten yang akan disempurnakan. Jadi tidak hanya sekadar mempersoalkan norma yang terdapat dalam pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 yang dipandang membebani pemegang paten. Atau dipandang sebagai kewajiban yang bersifat diskriminatif dan tak masuk akal. Sekarang mari kita simak bunyi redaksi Pasal 20 Undang-undang No. 13 Tahun 2016:
Bila ketentuan ini dirujuk dengan teks Tujuan Negara, ketentuan ini sudah sejalan dengan cita-cita negara. Karena paten diberikan oleh negara dan negara wajib melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, maka secara normatif, teks Pasal 20 itu memang harus demikian bunyinya. Namun bagi mereka yang hanya melihat dari sudut kepentingan bisnis para investor dan mengacu pada keuntungan semata, maka norma Pasal 20 ini dianggap diskriminatif dan tidak melindungi kepentingan pemilik Paten khususnya pemilik atau pemegang paten asing.
ADVERTISEMENT
Akhirnya ketentuan Pasal 20 ini menimbulkan banyak diskursus, terutama bagi kalangan pemegang paten asing khususnya di negara-negara maju. Kata "wajib" apakah ini merupakan suatu keharusan, sehingga pemegang paten tidak boleh pasif. Setelah mendaftarkan patennya harus segera dilakukan langkah-langkah untuk membuat produknya di Indonesia. Ini yang dipandang oleh pemilik paten sesuatu yang tak masuk akal. Karena untuk mendirikan pabrik dalam rangka membuat produk, tentu memiliki kajian-kajian yang dituangkan dalam berbagai studi untuk kelayakannya.
Tentu saja pihak pemegang paten merasa keberatan, sebab hal ini bertentangan dengan prinsip Hukum Benda yang sejak zaman dahulu dikembangkan dengan prinsip kapitalis, yakni memberi pelindungan kepada pemegang hak di mana pun benda itu berada dan kepadanya diberi kebebasan untuk menggunakan/menjalankan atau tidak menggunakan/menjalankannya. Semisal pemilik mobil tak ada kewajiban bagi pemiliknya untuk menggunakan atau memanfaatkan mobil tersebut. Pemiliknya boleh membiarkannya di garasi, atau menyewakannya untuk dipergunakan orang lain. Pemegang hak milik bebas menggunakan haknya sepanjang tidak mengganggu hak orang lain vide Pasal 570 KUH Perdata.
ADVERTISEMENT

Dosa Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016

Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Sebenarnya sulit untuk kita temukan “dosa” pasal 20 UU Paten No. 13 Tahun 2016 itu. Namun demikian di kalangan praktisi mengatakan, untuk apa pasal itu dipertahankan kalau tidak implementatif. Bukankah ketentuan itu hanya berupa ketentuan yang melawan arus dengan keinginan para investor asing? Lagi pula Indonesia juga tidak berbuat apa-apa, jika Paten Asing yang terdaftar di Indonesia tapi tidak dibuat atau tidak dilaksanakan di Indonesia?
Jadi, harus ada tindakan penyeimbang kalau Pasal 20 UU Paten No 13 Tahun 2016 itu hendak dipertahankan, harus ada jalan tengah. Pertanyaan yang sama juga terhadap paten warga Indonesia yang terdaftar di Indonesia tapi tidak dilaksanakan di Indonesia. Hal semacam itu dapat saja terjadi. Misalnya terhadap paten yang teknologinya tidak terdapat di Indonesia, atau tak dapat dilaksanakan di Indonesia oleh karena ketidaksiapan infrastruktur dan faktor pendukung teknis lainnya. Lebih dari itu juga merujuk pada Article 27 (1) TRIPs Agreement prinsip nasionalitas ini tidaklah begitu tepat lagi untuk diterapkan dalam hal paten.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari kalangan akademisi mengatakan Pasal 20 itu tidak bertentangan dengan prinsip diskriminasi menurut article 27 TRIPs Agreement. Ini terkait local working, keharusan untuk penyiapan lapangan kerja bagi pekerja dalam negeri. Apakah tenaga kerja dalam negeri sudah siap dengan teknologi yang ditawarkan oleh Paten yang akan didaftarkan itu? Apakah infra struktur Indonesia sudah memadai? Apakah tenaga kerja asing "berbeda" kemampuannya dengan tenaga kerjaan luar negeri. Ini yang mereka anggap diskriminatif versi Article 27 TRIPs Agreement.
Namun ada juga pandangan lain, bagaimana kalau Paten milik warga negara Indonesia terdaftar di Luar Negeri, misalnya di Malaysia, lalu negara itu kemudian mewajibkan hal yang sama agar si pemegang paten itu diwajibkan untuk membuat produk atau menggunakan proses yang harus dilakukannya di Malaysia?
ADVERTISEMENT
Ketika pemilik paten itu kemudian mendaftarkan patennya di Indonesia, lalu dikenakan lagi kewajiban untuk membuat produk atau melaksanakan proses di Indonesia, tentu hal ini sulit untuk dilakukan dari segi efisiensi ekonomi. Tentu kita akan menghadapi dilema; pilihan antara pelindungan asing dengan efisiensi ekonomi untuk mendirikan pabrik yang dapat berproduksi atau yang memungkinkan untuk menjalankan paten tersebut di negara asing.
Di sinilah letak permasalahannya. Di satu sisi Indonesia ingin melindungi kepentingan nasionalnya namun kita tak memiliki kemampuan untuk merealisasikannya, di pihak lain kita ingin memberi peluang kepada pihak pemegang Paten Asing agar menjalankan aktivitas usahanya di Indonesia dengan harapan dapat memantik investasi dan mempercepat proses alih teknologi. Sangat ideal memang, akan tetapi dianggap tidak realistis dan di luar hitung-hitungan bisnis.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu harus dimaklumi juga bahwa pihak pemegang paten Asing untuk mendapatkan patennya juga tidak sedikit menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Jika ditambah lagi dengan kewajiban untuk membuat produk di Indonesia, tentu hal ini sangat memberatkan. Misalnya mereka sudah mendirikan Pabrik Farmasi di Thailand tapi juga harus mendirikan pabrik yang sama di Indonesia-ini tentunya akan memberatkan mereka. Oleh mereka ini dianggap menghambat perdagangan, bertentangan dengan prinsip TRIPs Agreement.
Mereka yang menganut prinsip nasionalitas menghendaki setiap pemegang paten yang terdaftar di Indonesia wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Ini wajar saja harus dipatuhi oleh setiap pemegang paten terdaftar. Tak mungkin negara mempunyai tugas melindungi saja paten asing, tanpa kontribusi yang dapat diberikannya kepada negara bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Itu pula sebabnya setiap paten produk atau paten proses yang terdaftar harus menunjang transfer teknologi. Dengan harapan kelak nanti pada waktunya produk atau proses itu dapat dialihkan dan digunakan oleh negara yang bersangkutan untuk kepentingan rakyat dan bangsanya.
Jalan tengah seperti apa yang ditawarkan, yakni tetap membiarkan redaksi pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 seperti itu, akan tetapi ditambah beberapa klausule seperti yang akan diuraikan, antara lain bahwa jika terdapat kepentingan khusus berdasarkan studi kelayakan kepada pemegang paten terdaftar dapat mengajukan dispensasi untuk tidak membuat produk dan melaksanakan proses di Indonesia atas izin Menteri. Mengenai kriteria kepentingan khusus yang dimaksudkan akan diatur dalam Peraturan Menteri, dan seterusnya.
Penyerapan dan penyediaan lapangan kerja juga menjadi aspek penting yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang paten (termasuk Paten Asing) yang terdaftar di Indonesia. Paten harus memberi kontribusi bagi terciptanya lapangan kerja dan penyerapan modal. Intinya jangan sampai negara diberi tugas “penjagaan dan pengamanan” tetapi negara tidak mendapat kontribusi selain biaya pemeliharaan.
ADVERTISEMENT
Sebab jika demikian negara akan menjadi "calo atau makelar" dan hanya menciptakan masyarkat konsumtif. Menjadi ladang pihak asing untuk memasarkan produknya dan ini akan berimbas pada tersedotnya devisa negara. Peluang itu bukan tidak mungkin, jika instrumen lisensi untuk pemasaran produk dari paten asing yang terdaftar di Indonesia sudah dianggap mewakili sebagai pelaksanaan paten di Indonesia.
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
Di sisi lain paten itu merupakan hak kebendaan. Hak mutlak yang diberikan negara kepada penemunya, kepada investornya. Mempunyai sifat droit de suites sifat hak yang mengikuti di mana pun benda itu berada (Mariam Darus, 2010). Jika seseorang memiliki paten, maka di tempat mana pun paten itu akan dilindungi setelah memenuhi persyaratan pendaftarannya. Syarat yang dicantumkan oleh Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 adalah merupakan pengecualian dari asas hukum itu. Memang, asas selalu memiliki pengecualian (Sudikno Mertokusumo, 2003). Sudah tepat pembuat undang-undang untuk melindungi negaranya memuat syarat yang demikian itu.
ADVERTISEMENT
Negara yang berkewajiban melindungi segenap tumpah darah Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi (salah satu tujuan negara yang dimuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945) harus melindungi rakyatnya dari serbuan produk, tenaga kerja dan investasi asing. Oleh karena itu, setiap pemegang paten mestinya berkewajiban membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia dan menunjang alih teknologi serta penyerapan investasi dan penyediaan lapangan kerja. Itulah opini yang berkembang di kubu akademisi yang berpandangan idealis.
Tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini saat ini adalah, Indonesia harus juga mendengar “keluhan” pihak Asing. Kewajiban untuk melaksanakan paten yang terdaftar di Indonesia sangat memberatkan pihak Asing. Hambatan yang dihadapi itu bukan saja dari aspek normatif, mulai dari ketidaksiapan infra struktur sampai pada persoalan hambatan birokrasi dan bahkan hambatan struktural dan kultural. Pertanyaannya ialah apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia jika, Paten yang tidak terdaftar (atau tidak jadi di daftar di Indonesia karena alasan kewajiban menurut Pasal 20 itu) di Indonesia?.
ADVERTISEMENT
Bisakah kita melaksanakan paten itu secara sendiri? Tentu tidak semudah itu. Oleh karena itu beri ruang kepada pemegang paten asing untuk tidak serta merta memenuhi kewajiban sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 20 UU No,13 Tahun 2016 itu.
Apakah dibuat Peraturan Pemerintah untuk pengecualian pemberlakuan ketentuan dengan syarat-syarat tertentu atau setidak-tidaknya dalam bentuk Peraturan Menteri, namun payung hukumnya harus disiapkan lebih dulu dalam UU Paten yang baru nanti. Payung hukum yang memberi kewenangan kepada Menteri untuk membuat peraturan pelaksanaannya. Atau Pasal itu diamandemen dengan norma yang lebih lunak. Itulah pandangan yang berkembang di kubu yang menganut paham pragmatis.

Jalan Tengah

Tak ada yang salah dari kedua pandangan itu. Akan tetapi yang perlu dikawal adalah, pemegang paten asing tidak boleh bertindak semena-mena atau secara terang-terangan melakukan eksploitasi dan eksplorasi terhadap sumber daya dalam negeri untuk kepentingan bisnisnya semata. Harus dibangun simbiosis mutualisme di antara keduanya. Usul yang dapat ditawarkan untuk menjembatani keduanya adalah jika Amendemen dilakukan, maka bunyi Pasal 20 itu berubah menjadi;
ADVERTISEMENT
Pasal 20:
1. Pemegang Paten yang terdaftar di Indonesia wajib untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia.
2. Membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang ekonomi nasional, percepatan transfer teknologi, penyerapan investasi, penyerapan tenaga kerja dalam negeri, menguatkan lembaga riset nasional dan lembaga riset Perguruan Tinggi.
3. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, maka pemilik paten terdaftar atau penerima hak diwajibkan untuk menunjuk pihak lain di dalam negeri Indonesia yang mampu untuk membuat produk dan menggunakan proses tersebut di Indonesia.
4. Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan dalam bentuk lisensi atau mengikat kerja sama investasi dengan investor dalam negeri tersebut untuk membuat produk atau menggunakan proses.
ADVERTISEMENT
5. Mengenai ukuran kemampuan Investor dalam negeri untuk membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
6. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dilaksanakan atas berbagai pertimbangan alasan keuangan dan investasi maka, pemegang Paten dapat meminta dispensasi kepada Pemerintah melalui Menteri dengan alasan tertentu yang kriteria dan syaratnya akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri.
7. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (6) setelah diberikan dispensasi pemilik paten terdaftar diwajibkan untuk memberikan sebagian dari keuntungan produk atau prosesnya yang dipasarkan dalam negeri Indonesia yang diperuntukkan untuk lembaga-lembaga riset Indonesia atau lembaga riset Perguruan Tinggi.
ADVERTISEMENT
8. Mengenai tata cara perhitungan keuntungan dan besarannya termasuk tata cara mendistribusikannya kepada lembaga riset Nasional dan Lembaga Riset Perguruan Tinggi atas Paten yang produk dan proses-nya yang tidak dilaksanakan namun dipasarkan di Indonesia sebagaimana dimaksudkan pada ayat (7) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
9. Dalam hal pemegang paten terdaftar di Indonesia tidak membuat produk atau melaksanakan prosesnya di Indonesia dengan alasan yang telah terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan (7), maka pemegang paten terdaftar wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia di Negara tempat produk itu dibuat atau proses itu dilaksanakan yang jumlah tenaga kerjanya dan syarat-syaratnya akan ditentukan dalam surat dispensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
Pasal ini tentu tidak berdiri sendiri. Pasal ini berhubungan dengan ketentuan terkait dengan Paten yang dilaksanakan Pemerintah dan Lisensi Wajib (Compulsory Licensing). Saat ini kita sedang menghadapi pekerjaan rumah kita yang lebih besar yakni menghadapi perubahan yang terjadi seketika yang tak dapat diperkirakan.
ADVERTISEMENT
Mengenai besaran persentase keuntungan misalnya, dapat diatur sedemikian rupa, misalnya sejak awal pihak Indonesia diberikan semacam "golden share" sebagai pesero pasif yang tidak memiliki hak suara, namun mendapat pembagian deviden. Bisa juga golden share itu diberikan kepada Pemerintah Daerah atau Perguruan Tinggi Negeri yang mengembangkan riset di wilayah tempat di mana produk itu dibuat atau proses itu dilaksanakan. itu Tentu hal ini harus dibedakan dengan pajak.

Penutup

Ilustrasi investasi. Foto: Shutter Stock
Indonesia tak bisa lagi mundur dalam pertarungan ini. Yang bisa kita lakukan adalah dengan menguatkan industri dalam negeri. Kurangi ketergantungan terhadap produk impor. Cari celah lain seperti penguatan industri kreatif dalam negeri untuk mengimbangi serbuan produk-produk impor. Bahan baku produk lokal dalam negeri jangan “diobral” khususnya untuk bahan baku lokal untuk produk farmasi. Ini adalah strategi lain untuk mengundang investor asing untuk membuat pabrik dan menjalankan patennya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Undang-undang terkait HKI dan perdagangan harus terintegrasi dalam satu sistem, sehingga kita lebih mudah untuk mengontrol hal-hal yang terkait dengan investasi dan alih teknologi. Dengan pembatasan melalui kewajiban yang dicantumkan dalam pasal 20 sudah kita alami selama tiga tahun ternyata itu tidak efektif melainkan hanya mengundang “tertawaan” pihak asing untuk tidak dikatakan mengundang “kebencian”.
Mari kita akhiri diskursus ini, dengan pilihan; dengan membuat usulan amandemen yang memberi keuntungan bagi semua pihak dengan merumuskan peraturan perundang-undangan yang benar-benar dapat mendorong pertumbuhan investasi dan menghilangkan hambatan investasi dan perdagangan di Indonesia, namun tetap berpihak pada memberi peluang kemitraan bagi usaha-usaha anak negeri. Indonesia ke depan mestinya mampu merumuskan peraturan perundang-undangan HKI termasuk UU Paten yang Commit Nationally, Think Globally dan Act Locally. Undang-undang yang berpijak pada Ideologi Pancasila, agar undang-undang itu bermartabat dan menunjukkan karakteristik Ke-Indonesia-an, jati diri dan kemandirian bangsa.
ADVERTISEMENT