Seluruh Keluargaku Pindah Agama dan Aku Tak Tahu Harus Bagaimana

26 Juni 2017 20:54 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Muslim - Kristiani (Foto: paulheck.org)
zoom-in-whitePerbesar
Muslim - Kristiani (Foto: paulheck.org)
ADVERTISEMENT
Pertanyaan: Apa yang akan kamu lakukan setelah lima tahun meninggalkan rumah dan enam tahun tak saling berbicara dengan orang tua karena perbedaan agama?
ADVERTISEMENT
Aditia Rizki Nugraha, 23 tahun, pernah merasakannya. Namun kendati sempat dua kali diusir dari rumah, ia tak gentar untuk mencoba kembali merekatkan hubungannya dengan keluarga.
Pangkal masalahnya tidak sembarangan: soal iman. Di tengah keluarga besar Adit yang beragama Islam, keluarga intinya (bapak, ibu, kakak, dan adiknya) memutuskan untuk berganti keyakinan menjadi Nasrani. Adit bergeming. Ia tetap memilih Islam.
Adit bercerita soal keluarganya yang beda agama (Foto: Cornelius Bintang)
zoom-in-whitePerbesar
Adit bercerita soal keluarganya yang beda agama (Foto: Cornelius Bintang)
Kala usianya masih 13 tahun, persis satu hari sebelum Ramadhan, cerita ini bermula. Adit kala itu tak tahu keluarganya telah berpindah agama. Sesuatu yang ganjil baru ia rasakan tatkala sepulang dari sekolah. Ia menjumpai saudara tirinya menampakkan wajah marah seperti hendak berkelahi. Ada hal yang tidak beres.
Pada malam yang sama itu pula, Adit kemudian “diungsikan” ke rumah neneknya. Hal ini dilakukan setelah keluarga besar telah mengetahui apa yang terjadi. Orang tua Adit pun menjadi “buronan” oleh keluarga mereka. Keduanya dituntut penjelasan perihal kepindahan agama mereka.
ADVERTISEMENT
Adit akhirnya mengetahui masalah sebenarnya. Tapi kenapa? Ada apa? Bagaimana semua ini terjadi? Ada berbuhul pertanyaannya yang tertahan dan ia, sebagaimana pengakuannya, “hanya bisa menangis”.
Segenap upaya terus dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga besar untuk “meng-Islamkan” orang tua Adit. Tapi sia-sia. Mereka, dan juga adik dan kakak Adit, tetap berpegang teguh pada ajaran Nasrani.
Masalahnya tak selesai sampai di situ. Orang-orang yang semestinya tak berhak ikut campur jadi turut bertindak akibat tindakan yang kontroversial keluarga Adit.
Adik laki-lakinya yang kala itu masih duduk di kelas 4 SD, misalnya, jadi sering di-bully dan dipalak oleh teman sekolahnya. Begitu pula dengan adik perempuannya yang sering di-bully karena “berbeda” dari sekitar.
ADVERTISEMENT
Apa boleh bikin, persoalan iman di Indonesia adalah hal yang sangat sensitif. Jelas pula di lingkungan di sekitar Adit belum bisa menerima pilihan keluarga mereka.
Sepanjang delapan tahun Adit mempelajari dan memaknai perbedaan di keluarganya. Proses itu dimulai sejak ia memutuskan tak lagi tinggal bersama keluarga, kurang lebih enam bulan pasca kepindahan mereka ke agama lain.
Adit kemudian memilih mengontrak di ruangan 3x4 m, dan untuk menyambung hidup, ia pun membuka usaha counter pulsa. Bapaknya praktis tak pernah lagi mengurusinya apapun, termasuk materi.
1,5 tahun Adit tinggal sendiri. Bapak dan Ibunya tak mengetahui, bahkan ketika ia melanjutkan pendidikan ke bangku SMA. Hingga pada satu waktu, kedua orang tuanya sakit keras. Rasa khawatir dan juga rindu itu kelewat kuat untuk ia tahan. Dengan segala konsekuensinya, Adit memutuskan pulang.
ADVERTISEMENT
Namun kepulangannya ternyata tak kunjung meredam perseteruan. Sang Bapak yang terus berupaya mengajak Adit berpindah keyakinan kerap kali berang tiap mendengar penolakan dari anaknya tersebut. Sejak masuk SMA, Adit pun diusir bapaknya dari rumah.
Tanpa bekal dan tujuan yang pasti, Adit menjadikan masjid di sekolah sebagai tempat pelarian. Kebetulan ia berpartisipasi dalam kegiatan rohani islam di sekolahnya, maka ia pun menyambi sebagai marbot masjid agar dapat tinggal di sana.
Sebulan sudah Adit merumahkan masjid sekolah, hingga pihak sekolah mengendus ketidakberesan pada dirinya. Ia pun ditanyai oleh para guru tapi Adit tetap bungkam. Nama baik keluarga adalah alasannya. Adit pun dikembalikan ke rumah. Ia sadar, konflik belum selesai.
ADVERTISEMENT
Saat duduk di kelas 3 SMA semester II, tepat di ujung tahap kelulusan di Ujian Nasional, setelah kembali beradu pendapat dengan bapaknya, Adit kembali diusir dari rumah.
Di tengah kebingungan yang sangat tersebut, ada berkah yang tak terduga mampir: salah seorang saudara dari Ibunya “meminjamkan” rumah kosongnya untuk dirawat oleh Adit.
Cahaya tanda harapan (Foto: Myriams Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Cahaya tanda harapan (Foto: Myriams Foto)
Waktu berjalan, dan karena juga butuh penghasilan, Adit pun meminta izin kepada saudaranya tersebut untuk meminjam salah satu ruangan untuk membuka warung kecil-kecilan. Dengan warung itulah ia menggantungkan hidup hingga kemudian ia diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Ada alasan di balik pilihannnya untuk berkuliah di tempat yang jauh. Ia ingin melupakan sekelumit persoalan hidupnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
ADVERTISEMENT
“Di sini (Yogya--red) saya bisa menjadi orang baru. Punya teman baru, lingkungan baru, yang tak tahu apa masalah saya sebenarnya.”
Sepanjang hidupnya di Yogya, Adit terus berupaya memaafkan pengalamannya. Ia mencoba melebur marah, kendati ingatan tersebut akan tetap membekas di amygdala-nya.
Adit mengenang momen-momen dalam hidupnya (Foto: Cornelius Bintang)
zoom-in-whitePerbesar
Adit mengenang momen-momen dalam hidupnya (Foto: Cornelius Bintang)
Pada Idul Fitri tahun 2012, Adit memutuskan pulang ke rumah. Ia tak lagi tahan ingin merayakan lebaran bersama keluarga meski semua telah berbeda. Namun, sekali lagi, kondisinya masih jauh panggang dari api.
Tepat setelah shalat Ied yang jatuh di hari Minggu, Adit diminta bapaknya untuk diantar ke gereja. Adit mengiyakan permintaan tersebut. Barangkali, ia tak lagi memiliki marah atau waktu telah mengajarkannya pendewasaan diri.
“Hal itu menyakitkan sekaligus membuat saya paham, saya berterima kasih pada Bapak atas momen itu,” kenang Adit.
ADVERTISEMENT
Tapi tak ada yang lebih menggetarkan Adit selain berbicara soal ibunya. Berbeda dengan bapaknya yang keras dan intimidatif, Ibu yang selama ini ia kenal adalah sosok yang tak henti mencurahkan perhatian dan kasih sayang meski berjarak keyakinan.
Hai, Ibu! (Foto: SeppH)
zoom-in-whitePerbesar
Hai, Ibu! (Foto: SeppH)
Pernah suatu ketika, Ibu menitipkan bekal pada adik untuk diantar ke Adit. Tapi bekal itu tak pernah sampai karena di jalan adiknya dicegat sekelompok orang tak dikenal dan dipalak. Adit pun baru mengetahui hal ini beberapa tahun setelah kejadian tersebut.
Ada penyesalan yang tak tertangguhkan dari Adit tiap ia mengenang ibunya. Terutama karena dulu ia tidak punya banyak waktu untuk berbicara berdua dengan Ibu.
Saat Adit diusir oleh bapak untuk yang kedua kalinya, ia masih ingat betul bagaimana gestur ibunya: sorot mata yang cemas, melipat tangan, dan menggigit jari. Ibunya tampak seperti seseorang yang ingin mencegah anaknya angkat kaki, tapi tak bisa.
ADVERTISEMENT
Adit pun pamit kepada Ibunya begitu saja tanpa ada pelukan perpisahan. Kemarahan membuatnya pergi seperti seorang laki-laki yang tak punya siapa-siapa lagi di dunia. Matanya basah tiap mengenang kejadian ini.
“Saya sedih, cuma bisa nangis, tapi juga marah tiap ingat itu. Campur aduk, nggak tahu harus ngapain selain pergi.”
Penyesalan Adit terhadap Ibunya (Foto: Cornelius Bintang)
zoom-in-whitePerbesar
Penyesalan Adit terhadap Ibunya (Foto: Cornelius Bintang)
Bertahun-tahun Adit berjalan di trek kehidupan yang membuatnya terguncang berkali-kali. Kini ia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, pun demikian keluarganya.
Di bulan Ramadhan, misalnya, ibu masih sempat menyiapkan makanan berbuka dan sahur untuk Adit. Pada hari raya Idul Fitri, keluarga mereka selalu berbagi tugas untuk menyiapkan makanan: Ibu memasak opor dan sambal kentang, Bapak membuat ketupat. Sementara saat perayaan Natal, Adit juga turut membantu memasang pohon Natal dan salib di rumah.
ADVERTISEMENT
Tak ada lagi ritual ibadah yang dipermasalahkan. Tak ada lagi tarung argumen yang membuatnya meski angkat kaki. Adit bisa shalat kendati banyak atribut Nasrani di rumahnya. Dan keluarganya tetap ke gereja tiap hari Minggu.
Toleransi Beragama (Foto: Mohammad Ayudha/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Toleransi Beragama (Foto: Mohammad Ayudha/Antara)
Pada akhirnya mereka paham bahwa antara iman dan keluarga, betapapun erat ikatannya, tidaklah dapat diperbandingkan. Mereka pun saling tetap mendoakan dengan cara masing-masing.
“Saya sudah memaafkan diri sendiri, saya pun sudah memaafkan mereka. Saya sayang sama mereka. Begitupun pada adik, kakak dan keluarga besar saya.”
Adit percaya, hidayah bisa berupa apa saja, termasuk keyakinan yang mantap ia anut. Tak terbesit sedikit pun untuk menduakan akidahnya. Ia mantap memilih Islam dan karenanya ia juga percaya pada konsep ‘Islam rahmatan lil alamin’, wajah Islam yang ramah dan rahmah.
ADVERTISEMENT
Dan jika untuk menuju kesana harus melewati sekian cobaan, maka biarlah, hadapilah. Sebab sebaik dan sekokoh-kokohnya iman adalah sebagai suluh. Bukan sebagai benteng.