Malcolm Turnbull Ajak Mahasiswa Optimis Hadapi IA-CEPA

Olgha
A Passionate in progress.
Konten dari Pengguna
6 September 2021 11:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Olgha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mantan PM Australia Malcolm Turnbull melakukan wefie dengan sivitas akademika Universitas Indonesia. (Instagram Story @turnbullmalcolm)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan PM Australia Malcolm Turnbull melakukan wefie dengan sivitas akademika Universitas Indonesia. (Instagram Story @turnbullmalcolm)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kunjungan Mantan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull ke Indonesia pada Oktober (1/10/18) lalu, salah satunya, diisi dengan memberikan kuliah umum bertajuk “Advancing the Australia- Indonesia Economic Relationship” di FISIP UI, Depok. Turnbull mengungkapkan harapannya terhadap ratifikasi perjanjian ekonomi antara Australia dan Indonesia melalui Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif (IA-CEPA) oleh parlemen masing-masing negara.
ADVERTISEMENT
Turnbull memang seorang penggemar sejati pasar bebas dan ekonomi terbuka. Menurutnya, praktik protektionisme bukanlah tangga untuk membantu negara keluar dari jebakan low growth, tetapi hanya akan membuat negara jatuh ke dalam jebakan tersebut. Hal ini tercermin ketika Turnbull masih menjabat sebagai PM, Australia berhasil mendapatkan kebebasan tarif ekspor terhadap produk baja dan alumunium ke Amerika. Presiden AS Donlad Trump bahkan menyampaikan secara langsung melalui cuitannya di media sosial.
Cuitan @realDonaldTrump mengenai tarif ekspor baja dan alumunium kepada Australia.
ADVERTISEMENT
Dalam studi ekonomi, kita mengenalnya dengan teori comparative advantage oleh David Richardo (1819). Ketika suatu negara mampu memproduksi barang yang sama dengan lebih murah dan efisien, maka negara tersebut memiliki comparative advantage dibanding negara lain, biasanya melalui praktik perdagangan internasional. Konsep ini yang coba diterapkan Australia-Indonsia melalui IA-CEPA. Tujuan utama IA-CEPA, menurut Mantan Menperin Enggartiasto Lukita, adalah agar kedua negara dapat tumbuh bersama memanfaatkan kekuatan masing-masing untuk menciptakan kekuatan ekonomi baru di kawasan (31/8/19).
Masyarkat Indonesia tentu memiliki ekspektasi besar terhadap perjanjian ekonomi tersebut. Selain akan menguntungkan para eksportir, IA-CEPA membuka ruang bagi investor Australia untuk menanamkan modalnya sehingga diharapkan mampu menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru di Indonesia.
Reaktifasi Timbulkan Kekhawatiran
ADVERTISEMENT
IA-CEPA akhirnya menemui titik terang setelah sempat tertunda 8 tahun akibat dinamika politik di masing-masing negara. Sebelumnya, pembahasan mengenai IA-CEPA pertama kali berlangsung pada bulan April 2005 melalui Kementerian Perdagangan, meskipun saat itu masih berupa Joint Declaration of Comprehensive Partnership Indonesia-Australia. Peluncuran resmi baru dilakukan lima tahun setelahnya (Ditjen PPI, 2018).
Terlepas dari kesepakatan-kesepakatan yang terdengar menggiurkan, reaktifasi IA-CEPA sebetulnya menimbulkan beberapa kekhawatiran. Aktivitas ekonomi Australia dan Indonesia memang tidak terlalu besar dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan.
Sebelum IA-CEPA direaktifasi pada tahun 2016, rata-rata total perdagangan bilateral kedua negara selama lima tahun terakhir turun 4,25 persen dari 10,8 miliar menjadi 8,5 miliar dolar AS. Sedangkan, investasi Australia di Indonesia ikut mengalami penurunan. Hal ini menempatkan Australia pada peringkat ke-12 sebagai negara investor di Indonesia (Kontan).
ADVERTISEMENT
Namun, angka ini kian membaik setelah reaktifasi IA-CEPA dilakukan. Upaya mereaktifasi IA-CEPA bisa jadi merupakan langkah tepat dalam menguatkan hubungan ekonomi kedua negara. Indonesia dan Australia adalah tetangga dekat. Selayaknya tetangga, hubungan baik harus terus dijalin. IA-CEPA lahir setelah melalui perundingan belasan kali selama bertahun-tahun lamanya. Manfaat yang diterima pun seharusnya bisa dinikmati dalam jangka panjang.
Belajar dari IJEPA
Sebelum Australia, Indonesia pernah melakukan CEPA dengan negara Jepang melalui IJEPA. Meskipun mulai lebih awal, IJEPA dinilai gagal memaksimalkan potensi yang ada. Diketahui hanya 5 dari 13 fokus sektor industri yang menunjukan kemajuan.
Salah satu penyebabnya adalah Jepang menetapkan standardisasi yang tinggi terhadap produk-produk yang beredar di sana. Meskipun tarif cukai sudah nol, tetap tidak akan masuk ke pasar apabila tidak memenuhi standar. Sebaliknya, produk-produk impor Jepang membanjiri pasar Indonesia, terutama industri otomotif dan elektronik (Sandori, 2018).
ADVERTISEMENT
Bahkan setelah IJEPA diberlakukan, neraca perdagangan non-migas Indonesia kerap mengalami defisit. Berbanding terbalik dengan kondisi sebelum IJEPA diberlakukan. Pemerintah memang sudah sewajarnya mengkaji ulang perjanjian ini. Kalau hanya terus menguntungkan satu pihak, tidak ada alasan suatu perjanjian tetap dilanjutkan.
Comparative advatage memang menarik secara teori, tetapi sulit dipraktikan. Perjanjian kerja sama ekonomi internasional memerlukan kesiapan yang matang dari masing-masing negara. Pembebasan tarif memang bisa mempererat hubungan bilateral maupun regional, tetapi di saat yang bersamaan memperketat persaingan dalam negeri. Ini bisa menyakitkan pengusaha lokal apabila mereka tidak memiliki advantage yang sama atau lebih tinggi.
Baik Jepang dan Australia, keduanya sama-sama negara maju dengan etos kerja dan standar yang tinggi untuk masing-masing barang maupun jasanya. Kerja sama ekonomi dengan kedua negara tersebut, meskipun tertatih-tatih, merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dan menyamaratakan diri dengan mereka. Oleh karena itu, IA-CEPA tetap harus disambut dengan hangat dan kerja keras agar optimisme masyarakat dapat dibayar lunas.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada tanggal 31 Oktober 2019 pukul 16:20 oleh Olgha di kumparan.com.