Konten dari Pengguna

Cahaya di Balik Kapur Putih

Olivia Hasna Nur Mahirah
Mahasiswi UIN Syekh Wasil Kediri
28 Oktober 2025 10:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Cahaya di Balik Kapur Putih
Cerpen ini menggambarkan Bu Suri, guru desa yang tulus mengajar dan tetap bertahan demi menerangi masa depan murid-muridnya.
Olivia Hasna Nur Mahirah
Tulisan dari Olivia Hasna Nur Mahirah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Generate by AI
zoom-in-whitePerbesar
Source: Generate by AI
ADVERTISEMENT
Kabut tipis masih menggantung di lereng perbukitan Desa Jatilangu ketika Bu Suri melangkah pelan melewati jalan tanah berlumpur. Embun pagi terasa dingin menusuk, membuat tangannya yang menggenggam plastik berisi kapur putih sedikit bergetar. Di pundaknya tergantung tas merah tua yang sudah pudar warnanya. Di dalamnya terselip tumpukan buku tulis murid-muridnya yang lusuh, beberapa lembar kertas ulangan, dan sebatang pena hitam yang sering macet.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi, Bu Suri menempuh perjalanan hampir satu kilometer menuju SD Negeri Harapan. Sekolah itu berdiri di ujung desa, diapit oleh sawah dan kebun singkong. Bangunannya sederhana dinding papan yang mulai lapuk, atap seng yang bocor di beberapa sudut, dan papan tulis yang permukaannya sudah menguning. Tapi bagi Bu Suri, tempat itu adalah dunia kecil yang penuh harapan.
Sudah delapan tahun ia mengajar di sana. Delapan tahun pula ia menjadi saksi betapa sulitnya pendidikan menjangkau pelosok. Listrik sering padam, sinyal telepon hampir tak pernah muncul, dan gaji yang datang tak selalu tepat waktu. Namun, tak sekali pun Bu Suri berpikir untuk menyerah.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapanya ceria begitu sampai di depan kelas.
ADVERTISEMENT
“Pagi, Bu!” sahut mereka serempak, beberapa masih menahan kantuk sambil menguap.
Bu Suri tersenyum. “Siapa yang sudah sarapan?”
Hanya separuh tangan yang terangkat. Ia tahu, sebagian dari mereka harus membantu orang tua di ladang sebelum berangkat sekolah. Beberapa bahkan datang tanpa alas kaki. Tapi mata mereka tetap berbinar setiap kali pelajaran dimulai.
Ia menulis tanggal di papan tulis dengan kapur putih yang tinggal separuh. Guratan kapur itu berderit pelan di permukaan papan yang kasar. Kadang kapur itu patah di tengah menulis, tapi semangatnya tak pernah ikut patah.
Hari itu, listrik mati lagi. Tak ada proyektor, tak ada kipas, hanya suara ayam dan angin dari jendela yang terbuka. Tapi Bu Suri punya cara sendiri agar kelas tetap hidup. Ia bercerita tentang perjuangan para pahlawan bangsa, tentang Ki Hajar Dewantara, tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa mengubah nasib seseorang.
ADVERTISEMENT
“Anak-anak,” katanya lembut, “kalian mungkin tinggal di desa kecil, tapi pikiran kalian bisa pergi sejauh mana pun kalau kalian mau belajar.” Anak-anak itu menatap Bu Suri dengan mata penuh kagum. Di saat seperti itulah, Bu Suri merasa semua lelahnya terbayar.
Setiap sore, setelah bel pulang berbunyi, Bu Suri tidak langsung pulang. Ia duduk di bangku kayu yang mulai rapuh, memeriksa tugas-tugas muridnya satu per satu. Ia selalu menulis catatan kecil di pojok buku:
“Kamu sudah hebat hari ini.”
“Jangan menyerah, ya.”
Bagi Bu Suri, tulisan sederhana itu adalah doa kecil agar semangat anak-anaknya tidak pernah padam.
Suatu hari, Kepala Sekolah datang membawa kabar.
“Bu Suri,” katanya sambil tersenyum,
“Ada tawaran mutasi untuk Ibu ke kota. Fasilitas lengkap, gaji lebih besar, dan tempat tinggal disediakan. Bagaimana, Bu?”
ADVERTISEMENT
Bu Suri terdiam cukup lama. Ia menatap keluar jendela, ke arah lapangan tanah tempat anak-anak sering bermain kelereng. Hatinya bergetar. Sudah lama ia bermimpi punya ruang kelas dengan papan tulis digital, perpustakaan luas, dan bangku yang tidak reot. Tapi kemudian ia teringat wajah-wajah kecil yang menunggu setiap pagi, dan papan tulis kayu yang penuh debu kapur putih.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya akhirnya. “Tapi saya belum bisa. Di sini masih banyak anak yang butuh diajari bukan hanya membaca, tapi juga percaya pada dirinya sendiri.”
Kepala sekolah menatapnya kagum. “Ibu memang cahaya bagi sekolah ini.”
Bu Suri tersenyum kecil. “Ah, saya hanya menyalakan sedikit cahaya. Biarpun kecil, semoga cukup untuk menerangi jalan mereka.”
ADVERTISEMENT
Tahun-tahun berlalu. Beberapa murid Bu Suri kini sudah dewasa. Ada yang menjadi bidan desa, ada yang jadi petani sukses, bahkan ada satu yang kini mengajar di sekolah yang sama menggantikan Bu Suri yang mulai menua.
Di ruang guru yang kini sedikit lebih baik, tergantung sebuah foto lama:
Bu Suri berdiri di depan papan tulis, menggenggam sebatang kapur putih, senyumnya sederhana tapi penuh makna.
Suatu sore, salah satu mantan muridnya datang membawa bingkisan kecil.
“Bu, saya sekarang guru di kota. Ini kapur untuk Ibu, simbol dari semua pelajaran yang Ibu beri,” katanya haru.
Bu Suri tersenyum, menerima bingkisan itu dengan tangan bergetar. “Terima kasih, Nak. Ingatlah, cahaya bukan soal tempatnya terang, tapi seberapa banyak ia bisa menerangi sekelilingnya.”
ADVERTISEMENT
Dan ketika murid itu pergi, Bu Suri kembali menatap papan tulisnya. Di sana masih ada sisa debu kapur putih membentuk tulisan samar:
“Ilmu adalah cahaya.”
Kapur itu mungkin akan habis, tapi cahaya yang ditinggalkannya akan tetap menyala, bahkan setelah Bu Suri tak lagi berdiri di depan kelas.
Biografi Penulis :
Sasmita Dwi Febila, mahasiswi aktif Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, UIN Syekh Wasil Kediri.
Mohammad Regan Dwi Yulianto, mahasiswa aktif Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, UIN Syekh Wasil Kediri.
Olivia Hasna Nur Mahirah, mahasiswi aktif Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, UIN Syekh Wasil Kediri.