Ziarah ke Bioskop di Nusantara

Pak Wali
adalah
Konten dari Pengguna
20 Mei 2017 0:00 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pak Wali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa, publik di nusantara berkesempatan menonton film 'Ziarah' yang mulai diputar di bioskop. Nah, ada beberapa hal menarik dari pemutaran serentak yang hampir bersamaan dengan momen kesejarahan Kebangkitan Nasional.
ADVERTISEMENT
Tulisan berikut ini tak berniat menulis review seperti apa jalan cerita film, tapi mengajak pembaca untuk menyimak beberapa catatan.
Pertama, soal keaktoran tokoh utama Mbah Sri yang diperankan Mbah Ponco, lansia berusia 95 tahun menjadi aktor film paling tua dalam catatan sinema Indonesia untuk pemeran utama. Butuh energi tersendiri bagi siapa saja bukan saja pemain, tapi juga sineas untuk bisa menghadirkan jiwa cerita ke dalam layar kaca sesuai skenario.
Kedua, urusan tema cerita yang jauh dari masalah populer dari film Indonesia. Ini adalah film panjang pertama bagi sutradara BW Purbanegara yang selama ini begitu percaya bahasa gambar, juga logika cerita.
Sejak awal, penonton sudah diajak masuk ke masalah kematian yang dipahamkan sebagai tubuh yang tertimbun tanah. Gelap di dalamnya. Tetapi karena ini sebuah film maka mengalirlah jiwa cerita. Babak, demi babak cerita Mbah Sri dan pertanyaan juga keinginan untuk bisa berziarah ke makam suaminya, yang dikisahkan pernah berjuang saat Agresi Militer Belanda kedua pada 1948-1949, dan berpamitan pergi tapi tak pernah kembali.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, 'Ziarah' mengajak penonton untuk menyimak lagi beragam pertanyaan yang dulu pernah hadir di dalam sejarah bangsa ini, soal hal-hal besar terkait kepahlawanan, konflik hingga kesetiaan, harapan, juga cinta.
Sementara dalam gedung bioskop, yang sudah mati di banyak kota, publik nusantara telah menemukan pahlawan masing-masing dengan segala heroisme-nya. Kini beberapa kota bioskop belum juga hidup seperti di masa kejayaan-nya dahulu.
Bagi saya, inilah posisi penting menghadirkan 'Ziarah' ke gedung bioskop dan bisa jadi alasan bersama untuk menghidupkan kembali layar perak di kota di seluruh tanah air.
Film ini dibuat dengan latar belakang visual dan topografi dari daerah pedesaan, kawasan pegunungan kapur Bantul hingga Wonogiri saat tak ada gedung bioskop maka hanya kesempatan menonton di layar perak 'misbar' gerimis bubar saja warga bisa menonton.
ADVERTISEMENT
Ketiga, hadirnya sosok sutradara yang tampil sejenak dalam film. Bisa saja ini tak dikenali publik, tapi mereka adalah sosok penting dalam film yang menentukan arah cerita. Bukan hal yang dominan, tapi inilah bagian dari sejarah film.
Sutradara seperti Ismail Basbeth, Hanung Bramantyo yang mau ikut jadi pemain termasuk sutradara BW Purbanegara turut berziarah untuk mengantar atau menemani penonton ke bioskop.
Di titik inilah agaknya sangkan paraning sinema Indonesia, memang sangat bergantung pada juru cerita, bagaimana juru kamera membingkai imaji demi imaji hingga ke akhir cerita, juga apresiasi penonton untuk terus berjalan dengan langkah masing-masing.
Seperti generasi penonton hari ini, bangsa kita saat ini yang tengah bersama-sama sedang mengalami fase 'kebangkitan nasional'. Mencari pahlawan sesuai versi masing-masing, keyakinan mereka, zaman kini.
ADVERTISEMENT
Menonton-lah, ber-Ziarah bersama.
#bicaraJUJUR