Air Sungai Bersejarah di Pongian Banggai Berubah Warna Jadi Cokelat Kemerahan

Konten Media Partner
24 April 2021 19:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beberapa warga terlihat mencuci baju di sungai pongian Banggai yg mulai berubah warna. Sebelum berubah warna, warga memanfaatkan air sungai sebagai tempat cuci baju, wudhu, hingga minum. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa warga terlihat mencuci baju di sungai pongian Banggai yg mulai berubah warna. Sebelum berubah warna, warga memanfaatkan air sungai sebagai tempat cuci baju, wudhu, hingga minum. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sunaryo (62), warga Desa Pongian, Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng), jauh hari sudah menunggu kabar buruk datang di Sungai Pongian lagi. Sungai itu sudah tiga kali banjir, namun kali ini yang terparah.
ADVERTISEMENT
“Sudah banjir sejak tahun 2001. Karena di atas sana dulu ada perusahaan menebang kayu,” cerita Sunaryo kepada media ini, Sabtu (24/4).
Banjir kedua, adalah banjir yang sama. Perusahaan kayu datang menebang, tapi tidak melakukan reboisasi atau penanaman kembali pohon di hutan sesuai janji perusahaan sebelumnya kepada masyarakat. Akibatnya, rumah Sunaryo yang terletak di bantaran Sungai Pongian, ikut terdampak banjir.
Lalu menyusul banjir ketiga. Kali ini, Sunaryo hanya bisa pasrah. Di atas gunung pohon-pohon mulai habis ditebang. Tapi tak satupun warga desa yang berani protes.
Begitu juga dengan Sunaryo. Apa boleh buat. Ia hanya lulusan sekolah dasar (SD), sejak dulu takut bicara. Cepat gugup di depan orang banyak. Tidak bisa protes.
ADVERTISEMENT
“Kita masyarakat kecil mau bikin apa. Kita hidup pas-pasan. Mo cari urusan begini, ongkos makan saja susah, apa lagi mo urus begini. Yah kita tinggal pasrah saja sama Tuhan,” kata Sunaryo.
Penderitaannya sebagai warga yang tinggal di dekat sungai belum berakhir. Sampai akhirnya, perusahaan baru kembali muncul di Desa Sunaryo. Perusahaan itu bernama PT Koninis Fajar Mineral (KFM).
Perusahaan yang bergerak di bidang nikel itu, baru masuk empat bulan melakukan eksplorasi di atas gunung dekat dengan Desa Pongian.
Kehadiran perusahaan tersebut anehnya tanpa diketahui warga. Tanpa melalui sosialisasi lalu muncul seketika. Itu pun, nanti Sunaryo dengar bahwa ada perusahaan tambang di atas gunung.
“Karena belajar dari pengalaman, saya langsung ke Pemerintah Desa meminta agar keadaan sungai diperhatikan. Warga bergantung pada air sungai,” kata Sunaryo.
Beberapa warga terlihat mencuci baju di sungai pongian Banggai yg mulai berubah warna. Sebelum berubah warna, warga memanfaatkan air sungai sebagai tempat cuci baju, wudhu, hingga minum. Foto: Istimewa
Lalu berkat usaha tersebut, pihak perusahaan disurati. Dalam surat balasannya, pihak perusahaan menjamin bahwa air di sungai Pongian tidak akan keruh karena aktivitas mereka. Mendengar itu Sunaryo tidak berkata apa-apa, meski ia ragu dengan pernyataan pihak perusahaan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, ketakutan warga terbukti. Belum cukup dua hari terbitnya surat itu, air di sungai Pongian mulai keruh tepatnya di tanggal 11 Februari 2021. Mendekati bulan April, warna air sungai semakin parah. Kini berubah warna menjadi coklat kemerah-merahan. Tidak ada satupun warga yang menggunakannya lagi.
Padahal sejak dulu, warga Desa Pongian menggantungkan hidupnya di sungai tersebut. Warga punya keterikatan sejarah dengan sungai. Di sungai itu warga mencari makanan. Bahkan, setiap bayi lahir kabarnya akan dicelup ke dalam sungai.
“Mau mengharap air PAM tidak lancar. Akhirnya keluarga saya membeli air bersih di jerigen untuk mencukupi kebutuhan air keluarga saya. Sudah tidak tahan, akhirnya saya mengeluh dengan anak-anak muda yang punya pergerakan,” ujar Sunaryo.
ADVERTISEMENT
Ia khawatir, hadirnya perusahaan tersebut bukan saja membuat air sungai berubah, tetapi bencana banjir untuk kesekian kalinya.
Begitu halnya yang dikatakan warga Desa Pongian lainnya, Asrianto. Ia juga mengaku terdampak dengan perubahan warna sungai tersebut. Selasa (20/4), ia memimpin aksi demonstrasi bersama warga Desa Pongian lainnya yang ikut terdampak oleh aktivitas pertambangan tersebut hingga menyebabkan sungai di desa mereka ikut terdampak.
“Perusahaan itu masuk di desa saat sosialisasi tidak melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Warga mengeluh dengan Kepala Desa karena dia dipilih masyarakat,” tutur Asrianto.
Ia dan warga desa lainnya sudah mengecek lokasi penambangan, saat itu yang mereka temui lokasi yang tadinya hutan, digusur. Pohon-pohonnya dikeluarkan.
Setelah itu perusahaan menggali tanah, lalu tanah ditumpuk lalu diangkut di dalam mobil truk menuju kapal tongkang. Setelah itu, tanah itu dibawa begitu saja, tanpa diketahui ke mana arahnya.
Air Sungai Bersejarah di Pongian Banggai Berubah Warna Jadi Cokelat Kemerahan. Foto: Istimewa
Karena sudah terjadi pengupasan tanah. Maka material dari kupasan tanah yang berwarna merah itu mengalir dibawa air hujan menuju sungai mati. Saat hujan, air sungai mati meluap dan mengaliri sungai induk yakni Sungai Pongian. Sehingga membuat sungai ikut menjadi merah.
ADVERTISEMENT
“Warga tidak bisa berbuat apa-apa karena aktivitas perusahaan didukung Pemerintah Desa (Pemdes),” ujarnya lagi.
Kenyataan itu, membuat suasana makin runyam. Konflik sesama warga desa bisa kapan saja terjadi. Yakni antara Pemdes, warga yang bekerja di perusahaan tersebut dan warga yang menolak perusahaan karena mulai terdampak dari aktivitas penambangan.
“Saya sendiri aparat desa. Tapi saya berani begini karena saya tahu ceritanya sampai ada itu perusahaan. Kami di sini tinggal menahan diri. Saling mengingatkan agar jangan sampai terjadi konflik antara sesama kami sendiri,” ucapnya lagi.
Terkait hal itu, pihak PT KFM yang dikonfirmasi, melalui Humas PT KFM, Udi, membantah bila sebelumnya, perusahaan tidak melibatkan masyarakat dalam sosialisasi sebelum perusahaan masuk ke desa itu.
ADVERTISEMENT
“Banyak kok warga yang hadir. Kebanyakan perwakilan,” jelasnya.
Namun ia tidak menampik bila air Sungai Pongiang kini berubah warna. Namun sejauh itu, perubahan warna dikarenakan di dalam air sungai terdapat lubang-lubang. Bila lubang-lubang tersebut disentuh, maka dengan mudah membuat air menjadi keruh atau berubah warna.
“Saat masyarakat memprotes perusahaan dengan cepat memperbaikinya. Mereka sudah mengikuti keinginan warga yang menuntut agar air mereka dijernihkan kembali dengan membuka lubang baru didekat kuala mati agar saat hujan, tidak lagi mengalir di Kuala induk,” terang Udi.
Namun, hal itu butuh waktu. Endapan tanah merah sudah terlanjur bercampur di air sungai, saat ini yang diharapkan adalah turunnya hujan deras, sehingga endapan bisa dibawa arus sungai.
ADVERTISEMENT