Bambang Sardi, Inovator Minyak Kelapa Murni Penyelamat Petani

Konten Media Partner
10 Juli 2019 15:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bambang Sardi, dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako saat memperlihatkan bahan hasil produksinya yang terbuat dari kelapa murni. Foto: Amar Burase/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Sardi, dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako saat memperlihatkan bahan hasil produksinya yang terbuat dari kelapa murni. Foto: Amar Burase/PaluPoso
ADVERTISEMENT
Hampir setiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah merupakan sentra penghasil kelapa varietas dalam. Meski hasil produksinya melimpah, namun potensi ini belum dapat dijadikan sumber mata pencaharian bagi para petani kelapa. Selama ini mereka hanya dapat mengolah kelapa varietas dalam menjadi kopra atau kelapa kering yang harganya fluktuatif bergantung pada dinamika pasar.
ADVERTISEMENT
Petani yang mengolahnya menjadi minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO), kalau pun ada, biasanya minyak itu kurang mengandung protein karena kandungan asam lauratnya di bawah 50 persen. Sehingga pemanfaatannya baru sebatas memenuhi kebutuhan industri pangan. Hal itu lantaran metode yang digunakan dalam fermentasinya masih konvensional.
Padahal kandungan asam laurat minyak kelapa murni bisa di atas 50 persen jika fermentasinya dengan metode anaerob. Dengan kaya kandungan protein, pemanfaatan minyak itu bisa digunakan misalnya sebagai antivirus, antijamur, dan antibakteri. Dengan kalimat lain, minyak kelapa murni itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan industri kesehatan atau farmasi dan kosmetik.
Adalah Bambang Sardi, dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako, yang menggagas produksi minyak kelapa murni dengan metode fermentasi anaerob. Pria berusia 33 tahun ini mengatakan gagasan untuk berinovasi itu muncul saat dia masih menempuh pendidikan Strata 1 (S1) di Jurusan Teknik Kimia Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Dia mengungkapkan saat itu seorang dosennya menjelaskan tentang produksi minyak kelapa murni dengan metode fermentasi konvensional. Hasil produksi itu tidak memenuhi level industri karena tidak efisien, tidak ramah lingkungan, dan produknya belum bisa diterima masyarakat secara umum.
Gagasan itu semakin kuat saat Bambang bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Dia mengetahui dari data resmi dan observasi lapangan bahwa Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi dengan luas lahan kelapa terbesar di Indonesia, meski bukan yang terbaik dalam pengolahannya. Tak heran umumnya kondisi ekonomi petani di sana yang bergantung pada kelapa masih di bawah garis kemiskinan.
“Ini menyebabkan saya mempunyai beban moral untuk menyelesaikan masalah kelapa tersebut, dan salah satu solusinya adalah perlu adanya diversifikasi produk olahan kelapa. Salah satu diversifikasi produk olahan kelapa adalah inovasi produksi VCO dari kelapa varietas dalam melalui metode fermentasi anaerob,” kata Bambang kepada PaluPoso di rumahnya, Palu, Minggu (30/6).
ADVERTISEMENT
Bambang pertama kali mengujicobakan gagasannya itu saat menjadi pembimbing mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Siniu Silanga, Kecamatan Siniu, Kabupaten Parigi Moutong, pada 2015. Dia meneliti cara mengoptimalkan potensi desa itu, salah satunya kelapa varietas dalam, yang memang banyak ditanami warga.
“Tentu tidak cukup satu-dua hari untuk menghasilkan produk berkualitas, tetapi harus kontinu. Begitu juga untuk membina masyarakat dalam menawarkan ide-ide, bagaimana mengelola kelapa menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Alhamdulillah, masyarakat Desa Siniu Silanga sangat mendukung,” ujar Bambang.
Bambang Sardi, dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako saat memperlihatkan salah satu alat yang digunakan untuk produksi bahan dari kelapa murni, di BTN Purnama Dhita, Tinggede, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Amar Burase/PaluPoso
Fermentasi Anaerob
Fermentasi anaerob merupakan metode fermentasi alami yang penekanannya pada pengontrolan kondisi selama proses produksi, salah satunya standardisasi bahan baku yang selama ini belum pernah dilakukan.
“Jadi kita betul-betul pilih kelapa varietas dalam, kemudian kelapa yang usianya 4 bulan ke atas. Selama ini orang hanya beli di pasar yang tidak jelas sumbernya. Kemudian kelapa yang dipanen harus langsung diolah,” kata Bambang.
ADVERTISEMENT
Pria asal Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu berpendapat masyarakat kurang memperhatikan standar bahan baku produksi minyak selama ini. Padahal kualitas produksi minyak kelapa murni atau VCO ditentukan dari bahan bakunya. Misalnya, kata dia, pemilihan buah kelapa dengan usia panen minimal 6 bulan dan waktu tunda pengolahan maksimal 7 hari.
Selain itu, kelapanya pun harus berasal dari pohon yang ditanam kurang dari 400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kemudian parut yang digunakan harus tumpul agar sari daging kelapanya halus.
“Kalau halus (hasil parutnya), ekstraksi santannya juga banyak,” ujar Bambang.
Selanjutnya proses pemerasan kelapa yang sudah diparut harus menggunakan air dari kelapa itu sendiri, bukan air yang berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau sejenisnya. Perbandingan antara daging kelapa yang diparut dengan media pemerasnya harus satu banding satu (1:1). Pemerasan dilakukan sebanyak tiga kali untuk menghasilkan santan.
ADVERTISEMENT
Setelah itu masuk pada tahap fermentasi dengan cara alami. Proses ini tidak menggunakan teknologi pemanas buatan, melainkan memanfaatkan suhu panas alami yang biasanya sekitar 34 derajat celsius pada tekanan standar sekitar satu atmosfer (atm). Fermentasi dilakukan selama lebih dari 24 jam.
Bambang menjelaskan memproduksi minyak kelapa murni atau VCO dengan cara alami ini pada prinsipnya sangat murah dan mudah dilakukan masyarakat. Hasil produksinya pun bebas dari bahan-bahan kimia.
“Alhamdulillah, hasilnya itu (santannya) memiliki konversi 12,5 persen. Artinya, 8 biji kelapa dengan berat daging satu kilogram yang diolah bisa menghasilkan satu liter minyak kelapa murni dengan komposisi atau kualitas yang sangat baik, yaitu kandungan asam lauratnya di atas 50 persen,” ujar Bambang.
ADVERTISEMENT
Setelah sukses dengan penelitian tersebut, Bambang mengembangkan hasil minyak kelapa murni olahannya itu untuk digunakan sebagai salah satu bahan baku membuat biskuit. Biskuit itu pun terbukti mengandung manfaat bagi balita penderita gizi buruk dan mencegah balita stunting usai melalui uji kesehatan.
“Kami sudah coba berikan kepada para balita penderita gizi buruk di Parimo bekerja sama dengan tim medis. Diketahui, Kabupaten Parimo termasuk tertinggi angka balita penderita gizi buruk dan balita stunting,” katanya.
Tempat produksi kelapa murni hasil rintisan Bambang Sardi di di BTN Purnama Dhita, Tinggede, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Amar Burase/PaluPoso
Minyak Kelapa Murni Untungkan Petani
Penjualan minyak kelapa murni hasil olahan fermentasi anaerob itu, menurut Bambang, dapat memberi penghasilan tambahan bagi para petani kelapa, sehingga mereka tak perlu lagi mencari pekerjaan lain. Bambang menerangkan persentase hasil pengolahan kelapa menjadi minyak kelapa murni atau VCO dengan metode fermentasi anaerob bisa menghasilkan produksi sebesar 12,5 persen.
ADVERTISEMENT
Jadi, penjualan minyak kelapa murni lebih tinggi dibandingkan harga penjualan daging kelapa atau kopra. Harga daging kelapa seberat satu kilogram di Sulawesi Tengah rata-rata dijual seharga Rp 2.500, sedangkan satu liter minyak kelapa murni yang diolah dari satu kilogram daging kelapa dijual dengan harga Rp 31.500.
Dia mengungkapkan sudah ada tiga petani kelapa yang mulai memproduksi minyak kelapa murni menggunakan metode fermentasi anaerob. Masing-masing ketiganya ada di Desa Siniu Silanga, Kabupaten Parimo; Kelurahan Kawatuna, Kota Palu; dan Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi.
Mereka sudah bisa menghasilkan minyak kelapa murni rata-rata 150 liter setiap bulan. Jika dikonversikan dengan harga jualnya, maka setiap petani tersebut mendapat penghasilan sekitar Rp 4.725.000 setiap bulan.
ADVERTISEMENT
“Artinya, dari 1.200 biji kelapa bisa dihargai sekitar Rp 4,7 juta. Sedangkan kalau dijual per biji ke pengepul dengan kisaran harga Rp 3.000 per biji, omzet pendapatan petani paling banter Rp 450 ribu saja,” kata Bambang.
Suasana tempat produksi kelapa murni hasil rintisan Bambang Sardi di di BTN Purnama Dhita, Tinggede, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Amar Burase/PaluPoso
Peluang Pasar
Bukan hanya petani yang mendapat manfaat dari minyak kelapa murni hasil metode fermentasi anaerob ini, tetapi juga dokter spesialis gizi buruk, toko obat herbal, toko oleh-oleh, toko swalayan, dan para konsumen seperti penderita gizi buruk. Menurut Bambang, terdapat sekitar 1.ooo orang yang saat ini sudah terlibat dalam pemanfaatan minyak kelapa murni itu.
“Wilayah pemasaran produk sampai saat ini masih didominasi di daerah Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu dan Kabupaten Parigi Moutong,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Bambang mengakui jumlah tersebut memang belum bisa dikatakan besar, namun dia memakluminya karena produksi minyak kelapa murni berbasis industri rumah tangga ini baru dikembangkan sekitar satu tahun. Kendalanya berupa modal usaha dan sulitnya mengurus dokumen-dokumen legal terkait perizinan.
Saat ini Bambang sendiri sedang mengurus izin Usaha Kecil Obat Tradisional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta izin halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Pernah kami urus izin di BPOM, tetapi dimintai biaya yang cukup mahal dan kemampuan finansial kami belum mencukupi untuk membayar sesuai yang diminta pihak BPOM,” ucap Bambang.
Apresiasi SATU Indonesia Awards
ADVERTISEMENT
Atas usahanya menciptakan metode baru pembuatan minyak kelapa murni ini, Bambang mendapatkan apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2017 kategori bidang teknologi. Bambang menerima bantuan dana kegiatan senilai Rp 60 juta dan juga mendapatkan pembinaan kegiatan.
Penulis: Amar Burase