Cerita Penyintas COVID-19 dari Banggai, Sulteng, Sempat Berada pada Titik Pasrah

Konten Media Partner
25 Mei 2021 20:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Pintu masuk RSUD Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulteng, yang menjadi rumah sakit rujukan untuk pasien COVID-19 di daerah setempat. Foto: Alisan/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pintu masuk RSUD Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulteng, yang menjadi rumah sakit rujukan untuk pasien COVID-19 di daerah setempat. Foto: Alisan/PaluPoso
ADVERTISEMENT
Farid Haluti tak menyangka bakal terinfeksi COVID-19. Pada November 2020, ia berjuang di ruang isolasi RSUD Luwuk selama belasan hari dan jauh dari keluarga.
ADVERTISEMENT
Warga Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng) itu menceritakan, ketika tengah beraktivitas, ia merasakan flu. Setelah itu, Farid mengunjungi salah satu tempat praktik medis.
“Flu biasa, pikirnya mungkin kelelahan,” katanya kepada media ini, Selasa (25/5) sore.
Setelah diberi obat, ia merasakan mulai membaik dan beraktivitas kembali. Lalu pada Jumat November 2020, Farid tak bisa lagi salat Jumat karena telah demam tinggi dan kehilangan nafsu makan.
“Perasaan dingin, tapi badan panas, itu kalau saya. Mungkin kalau orang lagi beda-beda gejalanya,” ujar dia.
Keesokan harinya, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai itu memilih ke Rumah Sakit Claire Medika di Kelurahan Soho, Kabupaten Banggai. Begitu tiba, tenaga kesehatan melakukan rapid test dan rontgen.
ADVERTISEMENT
“Memang napas mulai cepat, tapi belum ada gejala-gejala hilang penciuman tidak ada,” katanya.
Hasil rapid test pun keluar dan Farid positif COVID-19. Pihak Rumah Sakit Claire Medika ingin membawanya ke RSUD Luwuk, tetapi Farid menolaknya dan memilih kembali ke rumah.
“Hanya waktu itu begitu diinfus langsung enak rasanya,” katanya.
Ketika di rumah, kata dia, kondisinya makin parah dalam semalam, demam tinggi dan nafsu makan hilang. Ketika pagi hari, ia langsung meminta adiknya untuk mengantar langsung ke RSUD Luwuk.
“Saya di rumah sakit masih jalan, masih bisa masuk sendiri. Saya masih bawa tas saya ke ruang isolasi,” ujarnya.
Hari pertama tepatnya pada siang hari, Farid langsung menjalani tes swab. Dua hari berada di ruang isolasi, ia masih beraktivitas seperti salat. Pada hari ketiga, kondisinya memburuk dan hasil swab mengonfirmasi bahwa ia terinfeksi COVID-19.
ADVERTISEMENT
“Tapi diminta bukti swab tidak diberikan,” katanya.
Ia mengakui, sesak napas dan suhu badan naik, serta hanya bisa terbaring.
“Saya bau dan rasa tidak hilang, makan tetap biasa. Susu, vitamin, dan buah itu semua tetap dikonsumsi,” katanya.
Farid mengakui, hanya cukup sulit bernapas, bahkan sampai pada titik kepasrahan. Karena itu, oksigen sangat penting untuk membantu pernapasan.
“Makanya penting oksigen tersedia di situ, karena lambat sedikit seperti mau putus napas,” ujarnya.
Selama di ruang isolasi RSUD Luwuk sekitar 12 hari, Farid menyaksikan sejumlah pasien yang meninggal dunia. Hal ini turut berpengaruh pada kondisi psikologinya.
“Secara psikologi kita terganggu ini karena ada yang meninggal di sampingnya kita,” ujarnya.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Luwuk di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Selasa (24/5). Di rumah sakit ini, Farid Haluti menjalani isolasi mandiri selama 12 hari. Foto: Alisan/PaluPoso
Ruang isolasi, menurutnya, tidak terlalu luas. Kemudian saat masuk ia mendapati 8 orang telah diisolasi terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
“Saya selama di sana 7 pasien meninggal,” katanya.
Tempat tidur antar pasien, kata dia, hanya dipisahkan tirai. Di tempat isolasi mandiri ini juga hanya memiliki 1 kamar mandi.
“Hanya ukuran 2 x 3 mungkin,” tuturnya.
Ia keluar dari tempat isolasi setelah pernapasan mulai membaik. Dukungan para koleganya yang selalu memberi semangat agar sembuh, kata dia, cukup menguatkan imunnya.
“Memang penyakit ini harus ada support, memberi semangat, kirim doa,” terang dia.
Selama dirawat, salah satu kerabatnya turut ikut dalam ruangan isolasi dengan memakai alat pelindung diri dengan lengkap.
“Saya tidak berdaya lagi sudah seperti mayat hidup. Kalau mau atur posisi harus dibantu, kalau mau paksa seperti mau putus napas,” ujarnya.
Beruntung, setelah keluar kerabatnya itu tidak ikut terinfeksi COVID-19. Begitu pun dengan keluarganya di dalam rumah.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah saya tidak buat kluster baru,” tuturnya.
Meski begitu, stigma sosial tetap melekat kepadanya dan keluarga di rumah. Meski pun rapid test telah membuktikan tak ada kluster baru, para tetangganya sudah jadi ketakutan ketika lewat depan rumahnya.
“Ini jadi tantangan secara psikologis,” katanya.
Selain itu, kata dia, meski telah berada di rumah, bukan berarti sembuh total. Farid baru merasakan benar-benar pulih total sekitar 2 bulan setelah keluar dari tempat isolasi di RSUD Luwuk.
“Saya biasa salat berdiri, kalau sudah datang tidak boleh lagi,” kata dia.
Kemudian, ia merasa mudah lelah. Saat pencoblosan di Pilkada 2020 pada 9 Desember, untuk ke tempat pemungutan suara Farid sangat lelah, padahal 1 Desember 2020 telah keluar dari tempat isolasi di RSUD Luwuk.
ADVERTISEMENT
“Secara emosional tinggi, temperamental. Itu yang saya rasakan,” katanya.
Atas pengalamannya itu, ia meminta kepada masyarakat agar menghindari penyakit ini.
“Kalau bisa masyarakat jangan sampai kena. Ikut protokol kesehatan. Penyakit ini ada, saya sudah rasa,” ujarnya.
Farid mendorong agar Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai memfasilitasi para penyintas COVID-19 agar membentuk sebuah wadah. Kemudian memberikan testimoni dan membantu mengingatkan masyarakat bahwa pentingnya menghindari COVID-19.
“Ini harus dikampanyekan di masyarakat. Rumah sakit dan dinas bagaimana penanganan medis yang sesuai standar,” ujar dia.