Curahan Hati Karyawan Perempuan Korban Pelecehan Seksual di Sulteng

Konten Media Partner
12 Desember 2019 13:26 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Oleh: Intan Arif, S.Ikom
Menghadapi pelecehan seksual (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Ingatanku melambung ke peristiwa beberapa tahun silam, setelah melihat rentetan berita di media massa soal dugaan penyelundupan Harley Davidson yang dilakukan oleh Dirut Garuda, lalu berkembang menjadi kasus pelecehan yang dilakukan oleh Dirut itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Saat itu saya masih terdaftar sebagai wartawan di salah satu surat kabar harian di Provinsi Sulawesi Tengah dan diminta mewawancarai beberapa perempuan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinannya.
Walau cerita ini sudah lama dan pimpinan itu sudah diberhentikan dari jabatannya, tapi bagi saya kasus ini masih relevan untuk diperbicangkan kembali. Mengingat sangat jarang persoalan ini diangkat di media massa.
Suatu hari di ruang redaksi kami tampak lenggang. Hanya empat orang staf redaksi di dalamnya. Seluruhnya sibuk mengetik berita yang diperoleh sejak pagi tadi. Saya sendiri saat itu lagi asyik mengetik berita. Namun, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara memanggil namaku dari balik kaca. Saya belum tahu persis mengapa nama saya dipanggil?
ADVERTISEMENT
Suara itu berasal dari ruangan sebelah, ruang bos kami yang hanya dibatasi dengan kaca tembus pandang. Dari balik kaca itu, pandanganku langsung tertuju pada lima orang wanita dewasa yang duduk berdempetan di kursi sofa.
Tubuh mereka dibalut pakaian uniform salah satu perusahaan lengkap dari jilbab hingga celana, tinggal sepatu yang dilepas. Karena untuk masuk ke ruangan tersebut, terlebih dahulu harus melepas alas kaki.
Wajah wanita-wanita itu sangat jelas terlihat olehku. Make up tebal masih melengket, wajah mereka masih nampak segar sekalipun sebagian darinya sudah berumur.
Pelan-pelan saya melangkah mendekati pintu masuk ruangan tersebut. Dari balik kaca sebagian dari mereka ikut menatap saya saat mendekat ke ruangan. Tampak olehku, gerak tubuh mereka gusar namun yang lainnya berusaha tenang.
ADVERTISEMENT
"Ah siapa mereka dan ada apa ini?" saya bertanya dalam hati.
Namun belum sampai ke ruangan itu, senior saya yang sebelumnya menerima kedatangan mereka lebih dulu, mengajak saya bicara di dalam redaksi menjelaskan maksud kedatangan wanita-wanita tersebut di kantor itu kepada saya.
"Intan mereka ingin diliput. Mereka bercerita soal pelecehan seksual. Jadi lebih baik kamu yang terima. Kamu perempuan. Ini demi menjaga privasi mereka," terang senior saya itu.
Saat itu saya dalam keadaan capek setelah seharian meliput. Rasanya ingin istirahat sejenak. Namun kedatangan wanita-wanita itu mengharuskan saya menyiapkan diri sebaik mungkin. Lalu saya pun segera mendekati mereka. Jujur saya tidak punya pengalaman meliput tentang pelecehan, apalagi berhadapan langsung dengan korban-korbannya.
ADVERTISEMENT
Syukur percakapan kami mengalir begitu saja. Perempuan-perumpuan ini seperti memahami betul apa yang mereka ingin sampaikan. Mungkin mereka sudah mempersiapkannya jauh hari sebelumnya. Mereka paham bagaimana kerja media dan bagaimana sebaiknya mereka diwawancarai.
Itu adalah hari pertama saya mewawancarai korban pelecehan yang jumlahnya tidak hanya satu, tapi lebih. Malah menurut penuturan perempuan-perempuan itu, sebenarnya yang mengalami pelecehan lebih dari jumlah yang datang ke kantorku saat itu.
Sebagian dari korban pelecehan itu menurut temannya, ada yang malu membuka diri dan datang ke kantor kami. Temannya itu hanya menitip pesan kepada mereka untuk menceritakan kisahnya dan bersepakat dengan teman-temannya untuk membuka persoalan tersebut ke publik. Kemudian satu persatu wanita-wanita itu memulai pembicaraannya.
ADVERTISEMENT
"Kami datang kemari untuk diliput. Kami ingin menceritakan perlakuan tidak mengenakkan yang kami terima oleh bos kami di kantor," ujar seorang wanita gempal kepadaku.
"Kami minta media ini bisa menaikkan berita kami. Karena kami tidak punya upaya lain supaya bos kami itu segera diberhentikan dari jabatannya," ungkapnya lagi.
Kemudian ia menjelaskan kembali. Bosnya tersebut yang menjabat sebagai direktur di sebuah perusahaan plat merah milik pemerintah daerah, kini tersandung kasus korupsi. Tetapi kasusnya timbul tenggelam dan terkesan diulur-ulur. Padahal, berkasnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, namun hingga kini belum ada kejelasan.
Bagi mereka, tersandungnya dirut mereka dalam persoalan hukum adalah angin segar untuk perempuan-perempuan ini. Tapi karena proses hukum yang lama sedangkan mereka terus-menerus dibayangi dengan pelecehan yang tidak pernah selesai. Jalan terbaiknya adalah membongkar kasus lainnya dengan harapan bisa menjadi pertimbangan penegak hukum agar dirut tersebut diadili dengan pasal berlapis.
ADVERTISEMENT
"Sebagai karyawan kami gusar, kami ini ingin kejelasan atas kasus tersebut. Mungkin dengan kami membuka persoalan kami ini, bos kami itu bisa segera diberhentikan," ujar wanita tersebut.
Ia mengaku, supaya kasus ini beredar luas, mereka tidak hanya bicara melalui media massa, tetapi mendatangi pihak kepolisian guna meminta pertimbangan atas persoalan yang mereka alami.
Lanjut cerita, perempuan-perempuan itu kemudian mulai menceritakan kepada saya tentang pelecehan yang mereka alami di kantornya yang dilakukan oleh bosnya sendiri.
Menurut cerita wanita itu, bosnya tersebut sering melemparkan nada bahasa kotor terhadap karyawannya yang berhubungan dengan seksual. Selain itu, bosnya juga memperlakukan mereka secara tidak hormat sebagai perempuan dan terkesan memanfaatkan keadaan.
"Dia pernah bicara kotor dengan saya. Maksud saya, kamu bos tidak sepantasnya bicara itu dengan saya," ujar rekan wanita itu menimpali.
ADVERTISEMENT
Kemudian saya balik bertanya ke wanita tadi, seperti apa perlakuan bos itu kepadanya? Ia menjawab bahwa bosnya pernah mengajaknya bicara soal hubungan suami istri dengan dirinya. Ia ingin mengetahui bagaimana stafnya itu melakukan hal tersebut dengan suaminya.
"Mungkin kedengarannya itu seperti bermain-main, tapi itu membuat saya tersinggung," tambah wanita tersebut.
Selain kerap melakukan pelecehan secara psikis, dirut tersebut juga sering melakukan pelecehan secara fisik yang membuat staf perempuan di kantor itu merasa ketakutan. Rupanya, cerita tindakan dirut tersebut mereka bongkar hanya sesama perempuan-perempuan saja.
"Saya kalau bapak itu datang, saya macam ketakutan," tambah seorang wanita lainnya.
Ia mengaku pernah dilecehkan yang membuat hatinya sampai sekarang tidak tenang.
"Bapak itu pernah mengajak saya ke dalam ruangannya. Alasannya diajak bekerja. Tapi setelah itu ingin dipijat," tutur wanita tersebut.
ADVERTISEMENT
Di kantor, dirut tersebut memiliki ruangan khusus untuk istirahat. Di dalamnya terdapat kasur. Dan di kasur itulah, wanita tadi diminta memijit dirut tersebut. Selain meminta dipijit, dirut itu melakukan tindakan di luar batas yang membuat wanita tadi lari ke luar ruangan.
"Dia ingin mencium saya. Saya ketakutan. Antara bingung dan takut. Saya putuskan lari," ujar wanita tadi.
Dan modus tersebut dilakukan dirut itu hampir ke setiap perempuan yang ada di kantornya. Sehingga lewat cerita temannya, perempuan-perempuan tadi belajar menandai bahaya apa saja yang bisa mengantarkan mereka ke dalam pelecehan yang sama seperti yang dialami temannya.
"Karena tindakan seperti itu tidak hanya terjadi pada satu dua orang perempuan saja, bahkan lebih dengan modus yang sama. Makanya, kami tandai sekali kalau dia ajak ke ruangan, maka sebaiknya jangan diikuti," terang wanita lainnya.
ADVERTISEMENT
Cerita lain yang paling kurang ajar menurut saya adalah, saat dirut tersebut menarik paksa tangan staf perempuan tersebut untuk masuk ke ruangannya.
Ilustrasi pelecehan seksual (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Hal itu dialami sebut saja Ibu Mawar. Kepada saya, ia pernah dipaksa bosnya itu untuk masuk ke ruangannya saat seluruh staf mulai pulang ke rumah.
"Saya kaget dan ketakutan. Dia pegang tanganku kencang sekali. Sampai saya tidak punya tenaga untuk melawan. Namun, saya terus berusaha meronta-ronta. Sampai bapak itu capek sendiri menarik tangan saya," cerita Ibu Mewar.
Beruntung saat itu teman kantornya datang dan dirut tersebut segera melepas cengkeraman tangannya.
"Kejadian ini bukan hanya saya yang alami tapi staf perempuan lainnya. Temanku yang satu alami hal serupa, tapi ia tidak datang hari ini," ceritanya kembali.
ADVERTISEMENT
Kemudian, percakapakan menjadi tegang manakala wanita-wanita tersebut menceritakan pelecehan yang paling menyedihkan menurut saya, bahkan ini sudah termasuk pemerkosaan.
Mereka menceritakan nasib seorang staf perempuan yang mereka sendiri tidak memastikan kepada saya apakah wanita itu berhasil ditiduri dengan si dirut atau tidak. Kisah itu diawali dengan iming-iming perjalanan dinas.
"Jadi, pernah ada kejadian. Teman kami diajak ikut perjalanan dinas sama dirut itu. Katanya dia butuh orang untuk bantu dia. Tapi sampai di sana, dirut itu ingin sekamar dengan teman saya itu,"cerita wanita lainnya.
Sekarang, menurut wanita-wanita ini, temannya itu, menolak datang ke kantor saya untuk mengikuti proses wawancara karena dia malu dan masih trauma dengan kejadian yang dialaminya.
"Teman saya ini tidak tahu apa-apa soal kelakuan bos kami itu. Dia juga masih baru di kantor. Makanya dengan kejadian ini kami rasanya sangat menyesal perempuan itu sudah jadi korban,"cerita kembali wanita tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kesekian detik, saat cerita itu dibuka, suasana tiba-tiba hening. Kami saling pandang-memandang. Saya sendiri berusaha menangkap maksud pembicaraan wanita tersebut yang tanpa akhir. Dia menggantung pemahaman saya soal kesimpulan akhir dari ceritanya tadi.
Namun sekilas, dari balik wajah-wajah mereka yang gusar. Saya menangkap sinyal bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi kepada perempuan muda itu. Semua saya tangkap lewat gerak-gerik mata mereka. Bahasa tubuh wanita-wanita ini memperlihatkan ketidaknyamanan membuka aib temannya sendiri.
Saya sendiri saat itu hanya diam terpaku menatap mereka. Berusaha menangkap bahwa apa yang saya pikirkan tidak seburuk pandangan mereka. Tapi sayang, saya salah. Semakin saya diam menunggu kelanjutan cerita wanita tadi, saya hanya melihat wanita-wanita tersebut makin memperlihatkan sebuah pengakuan yang secara tidak langsung mengisyaratkan. "Iya, wanita itu sudah ditiduri bosnya".
ADVERTISEMENT
Mereka saling lirik, saling dorong dengan cara halus yang saya tangkap agar di antara mereka bisa menuturkannya lebih jauh soal kisah temannya tadi. Tapi itu tidak terjadi. Mereka diam seribu bahasa. Saya pun ikut diam. Seperti mereka, saya tidak tertarik membahasnya secara jauh karena sudah pasti pertanyaan selanjutnya yang akan saya ajukan adalah kemana kalian saat wanita tadi diajak ikut perjalanan dinas oleh bosmu?
Ok, saya tidak ingin menghakimi wanita-wanita ini. Saya berusaha berpikir positif. Mungkin saja tidak mudah berada di posisi mereka. Lagi pula saya tidak punya hak untuk menghakimi wanita-wanita itu dan tetap harus bersifat profesional serta harus mampu menempatkan diri, mengingat ini pembicaraan sensitif dan menguras emosi.
ADVERTISEMENT
Saya lalu mengalihkan suasana kaku tadi dengan pura-pura mencatat kecil-kecil di kertas yang sudah saya siapkan sejak tadi. Saya pura-pura masa bodoh dengan cerita wanita itu. Padahal sebenarnya hatiku mulai teiris-iris.
Lalu, terdengar suara wanita lainnya berbicara. Kali ini ia membahas hal lain, soal perlakuan bosnya kepada staf perempuan yang memiliki anak bayi.
"Dia (dirut), tidak punya rasa iba kepada wanita yang punya anak kecil. Ia menetapkan peraturan kantor tidak melihat kondisi staf perempuan," ujar wanita pertama dalam wawancaraku sebelumnya.
Wanita tersebut punya anak kecil. Ia baru saja melahirkan dua bulan yang lalu. Hal itu mengharuskan dia bolak-balik ke rumah untuk memberi susu anaknya. Tetapi, dengan aturan yang dibuat dirutnya sendiri, ia tidak bisa melakukan hal tersebut dengan leluasa. Sang Dirut melarang karyawannya mengambil waktu istirahat di jam kantor dengan tanpa alasan apapun.
ADVERTISEMENT
"Hal ini yang membuat saya kecewa. Dia tidak punya rasa iba sama sekali terhadap kami yang baru saja melahirkan. Saya ingin dia segera diberhentikan saja,"aku wanita tersebut.
Seluruh wanita yang hadir mengamininya. Mereka setuju bila dirut itu diberhentikan bukan hanya karena kasus korupsi yang menjerat dia.
Mereka sudah tidak tahan dengan perlakuan dirut tersebut. Mereka tidak nyaman ke kantor apalagi melihat wajah dirut.
Perlakuan dirut tersebut terpaksa mereka bongkar karena mereka mendengar dirut tersebut tidak jadi dipecat dari jabatannya, sekalipun telah tersandung kasus korupsi. Penyebabnya hanya satu, si dirut punya bekingan orang penting di daerah itu. Sehingga posisinya sulit dilengserkan.
Maka tidak ada jalan lain untuk melawan. Jika kasus korupsi tidak bisa mengusir dirut tersebut dari kantor itu, maka jalan lainnya adalah melawannya dengan membuka cerita-cerita kelam staf perempuan yang diperlakukan secara tidak hormat oleh dirut tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jujur saja, sebenarnya kami malu dan ragu membuka masalah ini. Tapi kami dikuatkan teman-teman kantor lainnya bahwa bukan hanya soal korupsi yang jadi masalah, keberadaan dirut itu juga menjadi masalah untuk kami," tutup wanita tadi.
Entah mengapa kasus pelecehan yang dilakukan oleh dirut itu lebih menarik bagi saya ketimbang soal penyelundupan. Mungkin karena saya perempuan yang juga rentan dengan kondisi tersebut.
Tapi apalah itu, marilah kita membuka diri dengan persoalan-persoalan serupa. Tanpa mengait-ngaitkannya dengan hal basi atau hal biasa.