Dewan Pers: Pemilu 2019, Pers Terbelah Kepentingan Politik

Konten Media Partner
15 Juli 2019 16:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ahmad Djauhar, Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers saat memberikan materi pada acara Workshop Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019, di Palu, Senin (15/7). Foto: PaluPoso
Indonesia boleh dikatakan menjadi salah satu negara dengan jumlah media terbanyak di dunia, total mencapai 47.000 media dengan aneka jenis (cetak, siar/broadcast, dan online). Namun pada pelaksanaan Pemilu 2019 lalu tampak ketidaknetralan pers. Demikian juga sejumlah tokoh yang sebelumnya dikenal sebagai Bapak Bangsa dan sering menjadi narasumber penting.
ADVERTISEMENT
"Semua itu terjadi karena pemilik atau pucuk pimpinan institusi media maupun sang tokoh menggadaikan dirinya kepada penguasa demi motif tertentu," kata Ahmad Djauhar, Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers pada acara Workshop Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019, di Palu, Senin (15/7).
Menurut Ahmad, termasuk di dalamnya pemilik atau pucuk pimpinan mencari pengamanan diri karena tersangkut kasus hukum. Dengan berlindung kepada kekuasaan 'amanlah' posisinya, sehingga tidak diproses oleh penegak hukum.
Beberapa saat seusai pemungutan suara tambahnya, kedua kubu saling mengklaim kemenangan. Media tampak terbelah menjadi dua kutub, mengikuti persaingan dua pasangan capres-cawapres. Demikian pula masyarakat, ikut terpolarisasi. Para pendukung kedua kubu saat itu katanya, terus menggalang massa dan opini. Media sosial menyebarkan hoaks dan ketakutan serta mengekspose mengenai berbagai sisi negatif penyelenggaraan pemilu.
ADVERTISEMENT
“Media sosial banyak mengekspose tentang kekurangan penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Peserta Workshop Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019, di Palu, Senin (15/7). Foto: PaluPoso
Seharusnya menurut Ahmad, wartawan menghindari ekspose pernyataan yang tak diperlukan dari pihak yang bersengketa. Bukan malah ikut memprovokasi para pendukung kedua kubu agar mereka perang pernyataan.
Berkaca pada Pemilu 2019 lalu tambahnya, pers harus kembali mengambil peran dan fungsi utamanya yakni, menyebarkan informasi secara faktual, akurat, netral, seimbang dan adil. Selain itu, media juga perlu menguji kebenaran semua informasi yang didapat.
Media terkesan membiarkan meme beredar secara liar di media sosial dengan cara merendahkan sekaligus melecehkan para politikus dan calon-calon pemimpin nasional itu. Seharusnya pers bersuara lantang menghadapi situasi saat itu.
Semua elemen pers perlu mendorong munculnya pemberitaan yang berorientasi pada problem solver terhadap masalah yang sedang dihadapi bangsa saat ini.
ADVERTISEMENT
“Persoalan kita bukan hanya memilih pemimpin dan wakil rakyat, namun hendaknya peduli juga terhadap kemajuan ekonomi, yang juga menyangkut hajat hidup banyak orang,” ujarnya.
Pers telah belajar betapa mahalnya pesta demokrasi 2019, yang tidak hanya berongkos mahal, melainkan merenggut korban jiwa dalam jumlah tidak sedikit.
Pengalaman ini hendaknya tidak terulang lagi di tahun-tahun mendatang. Semua anak bangsa terlalu murah untuk dijadikan tumbal Pemilu, apapun penyebab kematian mereka.
Olehnya, media di daerah maupun nasional hendaknya menyerukan dilakukannya evaluasi kritis dan menyeluruh atas pelaksanaan Pemilu model serentak seperti yang terjadi kemarin.