Ferdi, Penyintas Gempa Palu yang Menyambung Hidup Melalui Padat Karya

Konten Media Partner
19 Juli 2020 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ferdi (48), penyintas gempa Palu. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ferdi (48), penyintas gempa Palu. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siang itu matahari menyengat kulit, seorang pria bertubuh ringkih menggunakan helm keselamatan berwarna kuning nampak sibuk memplester dinding selokan dengan adukan pasir dan semen.
ADVERTISEMENT
Keningnya berkerut, coba menghalau debu yang beterbangan di sekitarnya. Sesekali ia mengelap keringat yang mengucur di wajahnya. Terlihat jelas, ia kelelahan.
Begitulah yang dirasakan Ferdi (48), salah satu buruh bangunan yang mengadu nasib pada salah satu program padat karya Kementerian PUPR di Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu.
Sebagai seorang kepala keluarga, ia harus menafkahi seorang isteri dan tiga anaknya. Sementara, putri sulungnya telah memasuki semester kedua di salah satu perguruan tinggi di Kota Palu. Biaya kuliah yang mahal tentunya harus segera disiapkan Ferdi.
Pria asal Kabupaten Banggai Laut ini telah berdomisili di Kota Palu sejak tahun 1994. Mulai dari menjadi buruh hingga pegawai restoran pernah ia lakoni demi bertahan hidup di kota ini. Isterinya pun sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga. Hingga pada awal tahun 2000-an, dengan modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, ia pun merintis usaha cafe di kawasan pantai Taman Ria, Kelurahan Lere, Kota Palu.
ADVERTISEMENT
Seiring perjalanan waktu, usaha cafe yang ia rintis membawa peningkatan finansial. Menurut pengakuannya, usaha ini bisa menghasilkan pendapatan kotor hingga Rp800 ribu per hari. Ferdi pun mengaku bangga karena sebagai kepala keluarga, ia sanggup menghidupi keluarga secara layak dan menyekolahkan putri sulungnya hingga ke bangku perkuliahan.
Selain menjadi tempat usaha, cafe itu juga difungsikan sebagai tempat tinggal bersama isteri dan tiga anaknya. Secara perlahan, ia pun mulai menabung. Sudah sejak lama ia bermimpi memiliki sebuah rumah pribadi. Pada fase ini, Ferdi dan keluarga hidup bahagia dan berkecukupan.
Ferdi (48), penyintas gempa Palu. Foto: Istimewa
Namun, bencana gempabumi pada 28 September 2018 silam membalikkan keadaaan. Dalam sekejap saja, gelombang tsunami menyapu bersih kawasan kuliner, bangunan gedung dan permukiman di sepanjang pantai Teluk Palu, termasuk cafe milik Ferdi. Ia menyaksikan, bagaimana gelombang dahsyat itu menghancurkan bangunan gedung menjadi puing-puing, yang kemudian tenggelam, membawa serta harapan dan cita-citanya.
ADVERTISEMENT
“Memang Tuhan Maha Kuasa. Saya lihat betul bagaimana saya punya cafe terbogkar dihantam tsunami,” Kenang Ferdi.
Situasi menempatkan Ferdi pada titik terendah. Usaha yang ia bangun dengan jerih payah selama 20 tahun seketika punah, begitu pula dengan cita-cita untuk memiliki sebuah rumah. Sejak itu, jalan hidup Ferdi tak tentu arah. Ia terus berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain karena masalah biaya.
Tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun kian menipis hingga akhirnya tergerus habis. Pada masa-masa itu, ia sempat bekerja sebagai buruh dalam pembangunan tanggul Teluk Palu, sampai akhirnya proyek dihentikan sementara. Dalam situasi serba terhimpit, tak jarang, bubur dibumbui garam menjadi menu wajib.
“Kadang kalau lagi tidak ada uang, kami makan bubur saja pakai garam,” ungkap Ferdi sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, ipar Ferdi yang menghuni salah satu bilik Huntara di Kelurahan Lere balik ke kampung. Ferdi pun ditawarkan untuk tinggal di sana. Sekalipun luasnya tidak memadai untuk ditinggali bersama anak dan isteri, Ferdi mengaku bersyukur. Sekarang, ia bisa tinggal tanpa harus keluar biaya.
Ketika berbincang dengan Ferdi, tak tampak ekspresi kesedihan di matanya. Ia bercerita lepas tentang pahit dan getir hidup sebagai penyintas. Sesekali, ia bahkan tertawa mengenang masa-masa sulit yang ia jalani.
Mungkin, begitulah cara Ferdi untuk berdamai dengan nasib yang tidak sedang berpihak padanya.
Ferdi (48), penyintas gempa Palu. Foto: Istimewa
Ferdi mengaku, sesekali menyempatkan waktu berkunjung ke pantai, tepat di lokasi bekas cafe yang kini telah rata dengan tanah. Di sana, ia mengenang masa lalu sembari berdoa agar masa sulit segera berlalu.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir, Ferdi mengaku risau. Ia mendengar kabar, masa waktu menghuni Huntara akan berakhir dalam tiga bulan ke depan, padat karya pun tak lama lagi selesai.
“Belum tahu mau ke mana. Tidak tahu juga mau bikin apa lagi,” jawabnya dengan nada lirih.
Ferdi sendiri tidak memenuhi kriteria penerima Huntap, tak memiliki tanah bangunan beserta legalitasnya.
Gempabumi yang terjadi hampir dua tahun lalu, nyatanya masih menyisakan pilu bagi sebagian penyintas di Kota Palu.
Setidaknya, itulah yang dialami Ferdi, penyintas yang sudah empat bulan ini menghuni Huntara. Ferdi hanyalah satu dari sekian banyak cerita tentang kehidupan penyintas bencana di masa pandemi virus Corona.
Di luar sana, di tempat yang berbeda, tak sedikit orang mengalami hal yang sama. Bagaimanapun juga hidup harus berjalan. Apalagi, ia tumpuan harapan keluarga. Ferdi percaya, selama ia terus berjuang, Tuhan yang penyayang akan senantiasa menunjukkan jalan.
ADVERTISEMENT