Hunian Sementara Korban Bencana Sulteng Rawan KDRT

Konten Media Partner
11 April 2019 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu bangunan huntara yang dibangun di Kota Palu. Foto: Dok. PaluPoso
Beberapa model konstruksi hunian sementara atau huntara menggunakan desaign beberapa bilik dalam satu lantai panggung bersambung yang berada di beberapa shelter pengungsian di wilayah terdampak bencana di Sulawesi Tengah, dianggap rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
ADVERTISEMENT
"Selain bentuk huntaranya kecil, dalam satu petak yang terdiri dari 9 hingga 12 bilik tersebut, model lantainya panggung dan bersambung antara ruang lainnya. Sehingga pasangan suami istri enggan melakukan pemenuhan boilogis. Karena bergerak sedikit saja akan terasa getarannya di semua ruang atau bilik lainya dalam satu petak," ujar Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Sulawesi Tengah, Masyita Asjudi, Kamis (11/4) saat giat evaluasi tujuh bulan pasca bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi di Sekertariat Posko Sulteng Bergerak, Jalan Rajawali, Kota Palu.
Karena tidak memungkinkan menyalurkan hasrat biologisnya, kata Masyita, atas dasar beberapa laporan kepada PBHR, mayoritas pihak suami melampiaskannya dengan melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya.
"Lebih memprihatinkan lagi, hal itu dapat mengakibatkan pelecehan seksual terhadap anak, karena mayoritas kebutuhan biologis bagi pria tidak tersalurkan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, proses belajar anak di dalam huntara tidak dapat dilakukan dengan baik karena keterbatasan ruang. Bahkan, bagi kaum wanita tidak bisa melakukan kegiatan sebagaimana mestinya. Karena sempitnya ruang lingkup dari hunian sementara.
Ilustrasi: Warga Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB di Hunian Sementara (Huntara) BNI. (Foto: Dewi Rachmat Kusuma/kumparan)
Ia juga menyoroti persediaan air bersih juga sangat terbatas di lokasi Huntara. Secara kasat mata, banyak air yang disediakan, namun hanya sekali dalam empat hari saja. Sehingga banyak tandon air yang kosong.
“Bagaimana sanitasi di huntara dapat difungsikan dengan baik? Bagaimana mereka menjaga kebersihan tubuh, serta kesehatan organ vitalnya bagi wanita saat menstruasi, " katanya.
Olehnya, dia berharap proses pembangunan huntara yang tidak memenuhi standar SOP layak huni serta tidak memperhatikan sisi humanity agar dihentikan pengerjaannya, dengan merealisasikan secepatnya pendirian hunian tetap atau huntap.
ADVERTISEMENT
Giat evalusi tersebut juga dihadiri oleh Sekdaprov Sulteng, Hidayat Lamakarate, Kepala BPBD Palu, Presley Tampubolon, inisiator lembaga Sulteng Bergerak Ikshan Loulemba, pihak NGO serta insan pers di kota Palu.
Penulis: Firman (Kontributor)