Huntara yang Tak Ramah Anak dan Perempuan Masih Jadi Permasalahan di Sulteng

Konten Media Partner
13 Maret 2020 21:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dialog publik bertajuk "Merefleksikan Keterlibatan dan Pemenuhan Hak Perempuan Pasigala pasca 546 Hari Bencana Sulteng". Foto: PKBI JMK-Oxfam
zoom-in-whitePerbesar
Dialog publik bertajuk "Merefleksikan Keterlibatan dan Pemenuhan Hak Perempuan Pasigala pasca 546 Hari Bencana Sulteng". Foto: PKBI JMK-Oxfam
ADVERTISEMENT
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2020, PKBI JMK-Oxfam menggelar dialog publik bertajuk "Merefleksikan Keterlibatan dan Pemenuhan Hak Perempuan Pasigala pasca 546 Hari Bencana Sulteng".
ADVERTISEMENT
Dialog publik tersebut melibatkan para perempuan korban bencana alam, perempuan penyintas KDRT, pendamping Orang Dengan HIV Aids (ODHA), paralegal dan Forum warga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) APIK Sulteng, remaja dampingan PKBI Sulteng, LSM se-Sulteng, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng, Ombudsman RI perwakilan Sulteng, DPRD Provinsi Sulteng, Dinas Sosial Sulteng, serta Pemprov Sulteng.
Dialog publik yang dilaksanakan pada Kamis 12 Maret 2020, menitikberatkan pembahasan mengenai perempuan dalam situasi kebencanaan. Bagaimana seharusnya perempuan menjadi elemen substansi yang harus mendapat perhatian khusus karena lebih beresiko mendapat kekerasan dan diskriminasi.
Belum lagi, secara biologis memerlukan perhatian khusus dan memiliki kebutuhan yang berbeda. Misalnya, haid, perempuan hamil, perempuan melahirkan, perempuan menyusui pada saat bencana.
ADVERTISEMENT
Akses air bersih, huntara yang tak bersekat, MCK yang tidak ramah perempuan dan anak, penerangan terbatas, keamanan dan rasa nyaman di huntara masih menjadi masalah yang harus mendapat konsen penuh dari seluruh pihak.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam pembangunan infrastruktur huntara maupun huntap di tahap pemulihan pasca bencana, perlu dilakukan seperti pemetaan huntara untuk mengenali kerentanan dan membangun pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (KGB).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulteng, Sofyan Farid Lembah mengatakan, pelibatan perempuan dalam setiap lini harus dilakukan mengingat perempuan lah yang paling memahami kebutuhan terhadap seluruh akses.
"Perempuan mesti sadar bahwa mereka adalah komponen yang paling vital dalam percepatan pembangunan. Saat ini perempuan kurang mendapat perhatian dan cenderung tidak diikutsertakan dalam setiap rencana pembangunan," ujarnya.
Ilustrasi anak.
Sementara, Kepala DP3A Provinsi Sulteng, Ihsan Basir menganggap bahwa seluruh pihak utamanya laki-laki dapat memahami perannya dalam menciptakan ruang yang setara dan ramah terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
"Saat ini DP3A Sulteng tengah fokus terhadap keterlibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan perempuan dan anak. Kenapa laki-laki? Karena lebih banyak mereka (Laki-laki) pelaku. Sehingga seharusnya diseminasi penghapusan kekerasan perempuan dan anak dilakukan laki-laki," ujarnya.
Idealnya, seluruh elemen dapat mendorong terciptanya kesetaraan baik dalam keluarga, kesetaraan dalam mengakses sumber daya alam, dan kesetaraan dalam kepemimpinan.
Hal tersebut menjadi konsen PKBI JMK-Oxfam dalam melaksanakan program pemulihan pasca bencana gempa, likuefkasi dan tsunami di Sulteng.
PKBI JMK-Oxfam terus mendorong pemenuhan hak dan mendukung kampanye kesetaraan bagi perempuan. Hal ini juga sejalan dengan outcome yang digagas sektor Gender dan Inklusi (Gedsi) mengenai pengarusutamaan yang memastikan konsistensi kesetaraan gender dan perlindungan inklusi disabilitas dalam program kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
"Semua orang harus mendapat kesetaraan dan keadilan gender. Semua orang harus menerima perlakuan yang sama, setara dan tidak terdiskriminasi karena jenis kelaminnya, karena identitas gendernya, karena ekpresinya, atau karena dia perempuan," kata Nining Rahayu, Senior Officer sektor Gedsi.
Setara lanjutnya, adalah perempuan tidak lagi dipandang sebagai gender kedua, perempuan dilihat sebagai manusia yang punya hak dan kesempatan yang sama terhadap semua hal yang ingin dia lakukan.
“Setara adalah perempuan tidak lagi dianggap sebagai objek seks, tidak lagi menjadi korban kekerasan seksual, korban KDRT, dan kekerasan lainnya, perempuan tidak lagi diikat kaki dan alam bawa sadarnya dengan urusan domestik, perempuan yang didiskriminasi karena dia perempuan, perjuangan kesetaraan masih panjang, tapi pasti akan tercapai," katanya.
ADVERTISEMENT