Jatam: 17 Agustus Momentum Merdekakan Pengelolaan SDA Kita

Konten Media Partner
18 Agustus 2019 17:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Eksekutif Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw,
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Eksekutif Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw,
ADVERTISEMENT
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Provinsi Sulawesi Tengah menyebutkan semangat Kemerdekaan 17 Agustus 2019 ini, harusnya sebagai momentum memerdekakan pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia yang dikuasai perusahaan asing.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw, Minggu (18/8) mengatakan, semangat kemerdekaan ini harusnya bangsa ini menjadikannya sebagai momentum untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 33 yang mengatur tentang Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasai oleh Negara dan Untuk Kesejahteraan Rakyat.
"Sudah saatnya kita nasionalisasi semua perusahaan-perusahaan transnasional yang ada di Nusantara demi kemerdekaan sejati," kata Syahrudin.
Advokat muda ini mengatakan, kedatangan kolonialisme ke nusantara karena didorong oleh keinginan utama menguasai kekayaan sumber daya alam nusantara ini. Sebab, di negara-negara asal mereka tidak terkandung kekayaan seperti yang dimiliki nusantara. Dan faktanya, sumber-sumber minyak sudah mulai dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya.
"Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah puncak dari penolakan rakyat atas buruknya prilaku kolonialisme di nusantara," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi sejak tahun 70-an tambahnya, rezim pemerintahan Soeharto berkuasa dan mulai membuka kran pengelolaan SDA kembali kepada perusahaan-perusahaan transnasional, seperti PT Freeport, INCO, Newcres, Riotinto, Stanfac, dan Shell. Hal inilah sebagai cikal bakal kembalinya pengelolaan SDA Indonesia tidak lagi dijiwai semangat kemerdekaan, sebagaimana amanat konstitusi UUD 45 Pasal 33.
Saat ini, menurut Etal panggilan akrabnya, liberalisasi sumber daya alam kepada perusahaan transnasional terus meluas. Itu terlihat dari pengelolaan sumber daya alam seperti nikel di Sulawesi Tengah yang sangat tidak menguntungkan bangsa dan rakyat Indonesia. Sebaliknya, hanya menguntungkan negara-negara asal koorporasi transnasional seperti Cina.
"Jika Minyak kita dikuasai Mitsubhisi (Jepang) di Banggai, Nikel di Morowali dan Morowali Utara dikuasai oleh industri-industri asal Tiongkok, di satu sisi penguasa kita asyik dan tetap diam menikmatinya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kontributor: Ikram