Kementerian HAM Pantas Mencabut Predikat Palu sebagai Kota Ramah HAM

Konten Media Partner
2 April 2019 10:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah warga korban gempa bumi sudah 6 bulan ini masih bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Foto: Dok. PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga korban gempa bumi sudah 6 bulan ini masih bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Foto: Dok. PaluPoso
ADVERTISEMENT
Kebijakan Pemerintah Kota Palu yang tidak mengakomodir warga korban bencana 28 September 2018 untuk memperoleh hunian sementara atau huntara karena alasan mereka hanya mengontrak rumah sebelum bencana, dikritisi Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah, Dedi Askari.
ADVERTISEMENT
Menurut Dedi, kebijakan Pemerintah Kota Palu yang enggan mengakomodir warga terdampak bencana memperoleh hunian, termasuk hunian sementara sudah melenceng dari predikat yang disandang Kota Palu sebagai Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kejadian pengungsi yang ditolak mendapatkan hunian serta anak-anak di tenda pengungsian yang terindikasi kurang gizi, hemat kami, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam hal ini melalui Bapak Yasonna Laoly selaku menteri, pantas mencabut predikat Kota Ramah HAM bagi Kota Palu,” kata Dedi Askari dihubungi melalui pesan WhatsAPP, Selasa (2/4).
Ibu Asnida sedang mengayun anaknya di tenda pengungsian lokasi Lapangan Golf Palu Jalan Martadinata, Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore Kota Palu, Kamis (21/3). Foto: PaluPoso/Andi Lena
Ia menjelaskan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, prioritas penanganan sebagai sebuah standar minimum bagi pengungsi dan/atau penyintas adalah tempat penampungan atau pengungsian. Termasuk dalam hal ini memfasilitasi ketersediaan hunian sementara, baik berupa tenda keluarga yang layak hingga bangunan atau hunian bersifat sementara maupun permanen bagi mereka yang kehilangan rumah.
ADVERTISEMENT
“Tak terkecuali sanitasi, bantuan pangan maupun non-pangan, hingga kejelasan atas pelaksanaan dan langkah-langkah yang dilakukan dalam masa tanggap darurat, hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi, harus dipastikan tidak ada pengungsi yang diabaikan atau terabaikan hak-haknya,” ujar Dedi.
Lebih jauh kata Dedi, UUD 1945 sangat jelas menegaskan bahwa Negara bertanggunggung jawab melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupqn termasuk perlindungan terhadap bencana alam, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana yang di amanatkan dalam UUD 1945.
Bahkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, tegas menyatakan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
ADVERTISEMENT
SEORANG pengungsi menunjukkan tenda terpal mereka yang sudah bocor dan butuh bantuan tenda baru. Agar ketika terjadi hujan tidak lagi air hujan tembus masuk ke dalam tenda mereka. Foto: PaluPoso/Andi Lena
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas PU Kota Palu, Iskandar Arsyad, Senin (1/4) di kantor Walikota dimintai pernyataannya mengenai keluhan warga terdampak likuefaksi Balaroa yang tidak diakomodir untuk memperoleh hunian sementara, walau kini menghuni shelter pengungsi di Bundaran STQ Soekarno Hatta, menjelaskan kriteria untuk mendapatkan huntara maupun dana stimulan.
Menurutnya, syarat untuk mendapatkan dana stimulan maupun direlokasi ke huntara dan hunian tetap bagi warga terdampak bencana di Kota Palu, adalah rumah warga tersebut rusak berat atau hilang akibat tsunami atau likuefaksi.
"Untuk masyarakat yang terdampak bencana namun hanya kontrak rumah maupun tinggal di kos-kosan, tidak mendapatkan dana stimulant, huntara maupun hunian tetap, " ujarnya.
Selain itu menurut Iskandar, bagi masyarakat yang akan mendapatkan dana stimulan atau direlokasi ke huntara maupun huntap, mereka yang rumahnya berada dalam zona rawan benacana. Dalam hal ini dilewati patahan sesar Palu Koro, serta berada dalam zona merah. Seperti di seputaran lokasi likuefaksi dan tsunami.
ADVERTISEMENT
Olehnya, dia berharap bagi masyarakat rumahnya terdampak bencana yang saat ini tidak bermukim di shelter pengungsian, namun hanya tinggal di rumah sanak saudara maupun mengontrak, untuk segera melapor ke kelurahan setempat guna dilakukan pendataan.
Sebagaimana diketahui, sebagian korban bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian di wilayah Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum mendapatkan atau diberi tempat hunian sementara oleh pemerintah. Selain tidak mendapatkan huntara, dua bulan terkahir ini mereka juga sudah tak mendapat bantuan sembako seperti sebelumnya.
Salah satunya Ratnia (49), warga korban likuefaksi Balaroa Kecamatan Palu Barat ini sudah 6 bulan bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore. Ia mengaku hanya bisa pasrah setelah mengetahui dari pemerintah bahwa dirinya tidak berhak mendapatkan Huntara karena dianggap hanya mengontrak rumah saat bencana terjadi.
ADVERTISEMENT
Sesuai pengakuan Ratnia, mereka yang berhak memperoleh Huntara adalah warga yang memiliki rumah yang dibuktikan dengan surat kepemilikan tanah, namun rumah mereka hancur atau rusak berat karena bencana.
“Kalau kami pengungsi yang bertahan di tenda ini tidak mendapatkan huntara, karena dari pemerintah bilangnya begitu. Alasannya, karena kami cuman tinggal menetap di Palu tanpa memiliki rumah sendiri, hanya ngontrak,” kata Ratnia saat ditemui di shelter pengungsian Bundara STQ Palu, Senin (1/4).
Ratnia awalnya sempat menyimpan asa jika nantinya bakal mendapatkan huntara. Sebab, saat pendataan, namanya beserta beberapa warga yang masih bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ, sempat dimasukkan dalam daftar oleh petugas pendataan.
Ratnia (49), salah satu warga korban likuefaksi Balaroa Kecamatan Palu Barat ini sudah 6 bulan bertahan di shelter pengungsi di Bundaran STQ Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Foto: Dok. PaluPoso
TIM