Kisah Penyintas di Palu Melahirkan di Tenda Pengungsian Tanpa Bantuan

Konten Media Partner
14 Agustus 2019 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mulfiani (30), salah satu penyintas tsunami Palu yang melahirkan tanpa bantuan medis di Tenda Pengungsian GOR Madani Palu. Foto: PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Mulfiani (30), salah satu penyintas tsunami Palu yang melahirkan tanpa bantuan medis di Tenda Pengungsian GOR Madani Palu. Foto: PaluPoso
ADVERTISEMENT
Miris, ungkapan tersebut mungkin bisa mewakili kondisi ibu hamil dan melahirkan yang ada di shelter pengungsian Kota Palu, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
Mulfiani (30) misalnya, karena keterbatasan biaya, akhirnya harus melahirkan sendiri di tenda pengungsiannya tanpa bantuan tenaga medis maupun dukun beranak.
Lebih dari itu, kain yang digunakan Mulfiani untuk membungkus bayi berjenis laki-laki itu agar tidak kedinginan, adalah baju bekas pemberian tetangganya yang kurang lebih bernasib sama dengan dirinya.
"Alhamdulilah, walaupun hanya baju bekas yang diberikan sesama pengungsi tapi saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada tetangga yang sangat memperhatikan kami," kata Mulfiani dengan raut wajah sedih.
Mulfiani (30), salah satu penyintas tsunami Palu yang melahirkan tanpa bantuan medis di Tenda Pengungsian Gedung Koni Palu. Foto: PaluPoso
Kepada PaluPoso, Rabu (14/8), Mulfiani menceritakan bahwa pada Senin dini hari sekitar pukul 2.30 WITA, dia merasakan tekanan pada perutnya. Namun dia tidak ingin membangunkan suaminya yang terlihat tertidur pulas karena lelah bekerja seharian. Ia juga tak ingin meminta bantuan ke tetangga tendanya karena sungkan nantinya merepotkan mereka.
ADVERTISEMENT
" Iya, kemarin (Senin) sekitar pukul 2.30 subuh saya merasakan ada tekanan di perut. Saya pikir hanya sakit biasa. Tapi semakin lama tambah sakit. Saya segan membangunkan suami dan tetangga. Karena mereka lelah setelah bekerja seharian. Akhirnya saya lahirkan sendiri. Alhamdulilah selamat juga," ujarnya sambil membelai-belai bayi yang baru saja dilahirkannya itu.
Setelah persalinan putra keduanya itu berhasil tanpa bantuan orang lain, Mulfiani kemudian membangunkan suaminya. Tangisan bayi tersebut akhirnya membangunkan beberapa tetangga dekatnya.
Suasana di Tenda Pengungsian Gedung Koni, Kota Palu. Foto: PaluPoso
Suami dari Elman (30 tahun) yang berprofesi sebagai buruh serabutan tersebut mengaku, pasangan suami istri ini tidak mempunyai biaya untuk persalinan di rumah sakit.
" Usia kandungan saya sudah sembilan bulan. Tapi kami tidak punya uang untuk melakukan pemeriksaan ke rumah sakit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tetangga Mulfiani, Sri Tini (54 tahun) mengungkapkan, dia sempat melihat Mulfiani mengambil air di tempat penampungan pada sore hari sebelum melahirkan. "Aktivitas kami para wanita di tempat ini memang mengambil air. Saya tahu dia melahirkan setelah mendengar kabar dari sesama penyintas," kata Sri.
Menurut Sri, penyintas yang bermukim di shelter tenda pengungsi di sekitar Gedung Koni, sebelumnya tinggal di Jalan Komodo atau seputaran penggaraman Pantai Talise. Setelah tsunami menghancurkan rumah mereka, akhirnya mengungsi di sekitar Gedung Koni.
Tampak tenda pengungsian korban bencana tsunami Palu di Gedung Koni, Kota Palu. Foto: PaluPoso
Sebelumnya kata Sri Tini, Dinas Kesehatan Kota Palu rutin mendatangi tempat mereka. Namun tiga pekan belakangan ini, pihak Dinas Kesehatan tidak pernah lagi berkunjung.
Olehnya, dia berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib mereka. Utamanya ibu hamil, balita dan lansia.
ADVERTISEMENT
" Kami meminta agar nasib anak-anak, ibu hamil agar diperhatikan juga. Sentuhlah kami, baju salinan bayi ibu Mulfiani saja hanya baju bekas dari sesama pengungsi," ujarnya.
Reporter: Mallongi