Kisah Pilu Korban Pelecehan Seksual di Tojo Una-una, Sulteng

Konten Media Partner
5 Mei 2021 16:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kabag UPTD PPA Tojo Una-una mendatangi rumah korban dan bertemu dengan orang tua dan korban atas kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang kakek di Desa Kabalutan, Kecamatan Tatalako, Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah, pada bulan Maret 2021. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kabag UPTD PPA Tojo Una-una mendatangi rumah korban dan bertemu dengan orang tua dan korban atas kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang kakek di Desa Kabalutan, Kecamatan Tatalako, Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah, pada bulan Maret 2021. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Malang nasib bunga bukan nama sebenarnya, warga Desa Kabalutan, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah (Sulteng). Ia terpaksa harus menahan rasa malu karena menjadi korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan seorang kakek (60) yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.
ADVERTISEMENT
Kepala Bagian Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Kabupaten Tojo Una-una, Nelly menjelaskan Bunga bukan umur 18 tahun sebagaimana yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduknya (KTP) atau yang diberitakan di media massa. Orangtuanya tidak mengetahui dengan pasti umur Bunga.
“Namun yang pasti umurnya lebih dari itu,” kata Nelly, Rabu (5/5).
Bunga, gadis yang sudah dewasa atau yang tepat disebut wanita dewasa. Ia juga tidak memiliki kelainan keterbelakangan mental seperti yang dituliskan media ini, namun pada dasarnya Bunga sulit diajak berdialog.
“Tapi dia paham situasi. Dia juga bisa ditanya siapa yang melecehkan dia. Dia langsung sebut namanya dan dia tunjuk-tunjuk,” cerita Nelly yang saat itu datang di Desa Kabalutan untuk melakukan pendampingan di bulan Maret 2021.
ADVERTISEMENT
Saat kejadian, awalnya bunga diajak membantu bekerja mengolah kelapa milik si kakek hingga menginap di rumahnya. Namun, tak disangka, saat itulah si kakek menjalankan aksi bejatnya dengan melakukan pelecehan seksual ke bunga. Di bawah ancaman si kakek, bunga akhirnya tidak berdaya.
Lambat laun, keluarga akhirnya mengetahui anaknya telah dilecehkan lewat penuturan bunga sendiri. Dalam pengakuannya, awalnya Bunga menyebutkan nama orang lain bukan si kakek.
Saat pria lain yang tertuduh segera mengonfirmasi kembali ke bunga perihal tuduhannya. Bunga akhirnya mengaku terpaksa berbohong karena disuruh kakek tersebut agar menyebutkan nama orang lain untuk menyembunyikan perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Kepada Nelly, orang tua Bunga mengeluh. Laporan atas dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pelaku kepada anaknya, sudah masuk sejak tanggal 2 Februari 2021 di Kepolisian, tapi belum ada kejelasannya hingga hari itu.
Nelly sendiri hanya meminta agar orangtua Bunga bersabar sebab kasus tersebut sudah masuk di kepolisian.
ADVERTISEMENT
Esok harinya saat Nelly pulang dari rumah keluarga korban, ia segera menemui Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tojo Una-una untuk menceritakan persoalan yang dihadapi orangtua korban dan menanyakan perkembangan kasus tersebut.
Dari situ ia memperoleh informasi bahwa kasus masih dalam tahap pemanggilan saksi.
Desa Kabalutan salah satu desa terluar di Kabupaten Tojo Una-una. Untuk menuju daerah itu, Nelly harus naik kapal terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan naik perahu ketinting. Sedangkan untuk menuju kampung korban, Nelly harus mendaki gunung.
“Misalnya kita berangkat jam 9 pagi, sampai di Kabalutan jam tiga sore. Itu kita naik lagi di kebun di rumah korban,” jelas Nelly.
Kepada PaluPoso, Advokat sekaligus Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH Sulawesi Tengah), Edmond Leonardo Siahaan meminta agar kepolisian setempat memprioritaskan kasus tersebut karena korban adalah perempuan yang masuk dalam kategori berkebutuhan khusus.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan di Polres Tojo Una-una dan Polres Poso terhadap kasus Nugi. Oleh karena itu saya mendesak Kapolda Sulteng untuk mengasistensi dua kasus ini,” ujar Edmond.
Di sisi lain, ia menyesalkan dalam berita sebelumnya bahwa Dinas PPA Tojo Una-una mempunyai anggaran yang minim soal pendampingan. Padahal seharusnya, pemilik kebijakan, Bupati Tojo Una-una selektif melakukan pemotongan anggaran, apalagi bila alasan pemotongan tersebut karena COVID-19.
“Karena anggaran pendampingan harus selalu tersedia. Harusnya kepala daerah memotong anggaran dari pos-pos anggaran yang memang layak untuk dipotong atau dialihkan,” ujarnya.
Seperti, perjalanan dinas dan kunjungan kerja baik dieksekutif maupun Legislatif, sosialisasi atau kegiatan-kegiatan yang berpotensi mengumpulkan banyak orang.
"Intinya, anggaran yang kalau dipotong atau dialihkan tidak memiliki efek yang signifikan terhadap hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pendampingan hukum," kata Edmond.
ADVERTISEMENT
Ia juga mendesak Bupati Tojo Una-una agar menyiapkan anggaran pendampingan korban perempuan dan anak, terutama yang secara geografis jauh dari pusat pemerintahan. Seperti di pulau-pulau dan daerah pelosok yang nantinya digunakan untuk menyiapkan tenaga medis, psikolog dan kapal khusus.
“Saya mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk menghentikan pemotongan anggaran dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak untuk dana penanganan COVID 19,” ujarnya.
Ia juga mendesak agar Polres Tojo Una-una untuk segera meningkatkan proses hukum yang ada saat ini dan lebih fokus dalam menangani kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak.
Sementara itu Sekretaris Kabupaten (Sekab) Tojo Una-una, Taslim menjelaskan pada dasarnya kondisi anggaran minim terjadi di tiap daerah. Apalagi Pemerintah Kabupaten Tojo Una-una sudah mengalami dua kali revisi karena COVID-19 maka perjalanan dinas dibatasi termasuk perjalanan dinas ke pulau.
ADVERTISEMENT
“Masalahnya anggaran sudah dipotong karena COVID, maka anggaran makin tidak cukup,” jelasnya.
Di sisi lain, selama ini Kabupaten Tojo Una-una hanya mengandalkan Dana Perimbangan (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pemerintah Pusat. Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tojo Una-una kecil. Akibatnya, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bisa saja ditutup karena tak mampu dibiayai secara rutin. OPD harus bertahan untuk memberikan pelayanannya.
“Sebenarnya ini kembali lagi ke Political Will Bupati. Kami hanya mengurusi administrasi. Tapi tentu saja, OPD yang dimaksud (Dinas PPA) tidak boleh membiarkan begitu saja. Harus ada upaya yang dilakukan OPD tersebut. Apalagi OPD-OPD tidak memberi laporan ke saya,” tutup Taslim.