Kisah Saksi Bencana Palu: Teriakan Kengerian saat Tsunami Datang

Konten Media Partner
1 Maret 2019 17:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Musni K Usman (tengah), seorang korban selamat dan saksi hidup peristiwa Tsunami Palu pada 28 September 2018. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Musni K Usman (tengah), seorang korban selamat dan saksi hidup peristiwa Tsunami Palu pada 28 September 2018. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Lima bulan telah berlalu sejak bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi meluluhlantakkan Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Sebanyak 4.194 warga Kota Palu meninggal dunia. Kerusakan hebat akibat bencana itu membuat Palu bak kota mati. Tragedi pada sore itu masih membayang dalam benak para korban selamat.
ADVERTISEMENT
Musni K Usman menjadi satu dari sejumlah korban selamat sekaligus saksi terjadinya gelombang tsunami berkekuatan 800 kilometer per jam yang menerjang Teluk Palu. Ibu dari tiga anak yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan Kota Palu itu berbagi ceritanya kepada PaluPoso.
Musni bersama suaminya, Rustam, berangkat dari rumahnya di Jalan Kalora, Kelurahan Nunu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, menuju Anjungan Pantai Talise, Kecamatan Palu Timur, sekitar pukul 17.20 WITA pada Jumat 28 September 2018. Mereka hendak menjaga stan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) miliknya di Festival Pesona Palu Nomoni II.
Lokasi Festival Pesona Palu Nomoni II itu sudah dipenuhi warga saat Musni dan Rustam tiba. Hanya beberapa menit kemudian, saat azan magrib berkumandang, gempa bumi berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang kota berjuluk Bumi Tadulako itu.
ADVERTISEMENT
Seketika gempa telah mengubah suasana di lokasi festival menjadi mencekam. Belum usai gempa itu membuat Musni dan Rustam beserta ratusan warga di lokasi Pantai Talise terperanjat, sebuah gulungan ombak hitam tampak dari arah laut Teluk Palu menuju Pantai Talise. Teriakan warga memenuhi udara. Suasana semakin kacau.
Tsunami kian dekat ke darat. Gemuruhnya membawa suasana bertambah mencekam. Ratusan warga lintang pukang menyelamatkan diri.
Salah satu lokasi yang terdampak tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. Foto: PaluPoso
"Saya mendengar suara teriakan orang dengan nada kengerian bahwa ada tsunami menuju kemari. Saya beserta teman-teman berusaha untuk berlari sekencang-kencangnya. Namun gulungan ombak besar tersebut menyeret dan menggulung saya hingga tidak sadarkan diri," ujar Musni mengenang peristiwa saat hidupnya hampir habis.
Musni mengaku sempat tak sadarkan diri setelah diempas gulungan tsunami. Saat tersadar kembali, dia telah berada di atap sebuah rumah. Seluruh tubuhnya terasa remuk redam. Lapat-lapat Musni mendengar rintihan seorang bocah yang rasanya tak jauh dari tempatnya terbaring.
ADVERTISEMENT
Saat itu Musni belum mampu kedua matanya. Dari mulutnya keluar air bercampur rasa asin, sementara hidungnya menghirup aroma laut. Entah berapa banyak air yang ditelan Musni saat tergulung tsunami dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dia mendengar suara lirih korban selamat yang tak jauh darinya. Suara itu membuat Musni mencoba kembali membuka matanya. Kegelapan menyelimuti wilayah itu akibat listrik padam total. Tak lama kemudian Musni mendengar warga dengan lantang mencari korban selamat. Orang itu membawa alat penerangan seadanya.
Salah satu kapal penumpang yang berlabuh di Pelabuhan Pantoloan Palu terdampar di lokasi pemukiman penduduk di Desa Wani Satu, Kabupaten Donggala, setelah dihantam tsunami pada 28 September 2018. Foto: PaluPoso.
Setelah memupuk kekuatan, Musni berusaha bangkit untuk duduk meski rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya. Dia tak tahu berapa lama berada di atap rumah itu.
"Antara sadar dan tidak, saya masih mengingat saat kaki saya terjepit. Tidak tahu di mana lokasinya. Saya berusaha untuk melepaskan impitan tersebut. Setelah siuman, saya telah berada di atas atap bangunan," ujar Musni.
ADVERTISEMENT
Rintihan anak-anak kembali mengiang di telinganya, tak lama sebelum cahaya fajar merekah samar-samar. Dia menoleh ke arah sumber suara tersebut, lalu melihat dua orang anak, laki-laki dan perempuan, berusia sekitar delapan atau sepuluh tahun.
Mereka bercakap kepada Musni bahwa tangan kanan salah satu dari mereka patah akibat benturan saat tsunami menghantam. Musni mencoba menenangkan kedua bocah yang kemudian diketahuinya telah bersamanya sejak di atap rumah itu.
Warga mulai berdatangan ke lokasi yang disapu tsunami tak lama kemudian. Namun, saat itu warga belum mampu mengevakuasi Musni dan kedua bocah itu. Butuh alat berat untuk menurunkan mereka dari atap rumah.
Jembatan kuning Palu yang menghubungkan jalur antara Jalan Cumi-cumi, Palu Barat dan Raja Moili, Palu Timur yang ambruk setelah dihantam tsunami pada 28 September 2018. Foto: Istimewa
Setelah berhasil diturunkan dari atap rumah, Musni dan kedua bocah itu langsung diberangkatkan menuju Jalan KH Agus Salim, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat, tepatnya di Masjid Jami untuk diperiksa kondisi kesehatannya sekitar pukul 09.00 WITA.
ADVERTISEMENT
"Seluruh badanku terasa remuk semua. Sakit sekujur tubuhku diseret tsunami. Alhamdulilah, Allah SWT masih memberikan keselamatan. Saya juga tidak menyangka bisa selamat dari ombak besar tersebut," ujar Musni.
Musni mendapat penanganan medis seadanya dari warga. Saat itu memang belum ada bantuan yang memadai. Kemudian dia diantar pulang oleh polisi ke rumahnya.
"Hingga saat ini, peristiwa tersebut masih terus membayang dalam pikiranku. Saya tidak tahu ke mana dua anak yang bersama saya saat berada di atas atap. Semoga mereka bisa bertemu kembali bersama kedua orang tuanya," ujar Musni lirih menutup kisahnya.
Lokasi Pantai Tamanria di Teluk Palu, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, yang dulunya ramai dan dipadati rumah penduduk kini sepi setelah diterjang tsunami pada 28 September 2018. Foto: PaluPoso
Penulis: Firman (Kontributor/PaluPoso)
Editor: Abidin (PaluPoso)