Komnas Ham Kritisi Perlakuan Diskriminatif Warga Korban Tsunami Palu

Konten Media Partner
4 April 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana aktivitas warga nelayan Teluk Palu di Pantai Taman Ria, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Foto: Dok. PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Suasana aktivitas warga nelayan Teluk Palu di Pantai Taman Ria, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Foto: Dok. PaluPoso
ADVERTISEMENT
Pola penanganan warga terdampak tsunami di sepanjang pesisir Teluk Palu, khususnya bagi warga di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, dikritisi Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, Dedi Askary.
ADVERTISEMENT
Hal itu mencuat pada sesi tanya jawab pada diskusi yang digelar Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Kamis (4/4), di kantor Komnas HAM Perwakilan Sulteng di Kota Palu.
Diskusi yang menghadirkan sejumlah jurnalis dari media cetak, online, dan elektronik itu, Dedi Askary mengatakan, jika ada kelompok masyarakat kecil yang tidak bisa melaksanakan aktivitas atas kebijakan yang dilahirkan otoritas pemerintah, sementara di sisi lain ada sekolompok kecil yang malah diberikan dispensasi, jelas ini telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Ini jelas melanggar hukum dan menyalahi HAM,” kata Dedi.
Pernyataan Dedi tersebut menjawab pertanyaan yang dilontarkan peserta pada sesi diskusi tersebut mengenai kasus warga Lere, yang terkesan menjadi korban diskriminasi perlakuan atas lahirnya keputusan pemerintah mengenai zona merah di sepanjang pesisir Teluk Palu.
ADVERTISEMENT
Warga Lere sudah tidak diperbolehkan lagi untuk menempati lokasi yang sudah ditempatinya beranak pinak, sementara pelaku bisnis di sepanjang pesisir Teluk Palu yang telah ditetapkan sebagai wilayah rawan bencana, malah sudah mulai melakukan pembenahan untuk memulai aktivitas bisnisnya.
Dedi berharap, perlakuan berbeda yang diterapkan oleh pengambil kebijakan di daerah ini, jangan sampai menjadi bencana sosial setelah sebelumnya terjadi bencana alam.
“ini yang kita sama-sama tidak mengharapkannya,” ujar Dedi.
Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Sulteng, Dedi Askari. Foto: Dok.PaluPoso
Ia mencoba mengenang kejadian bencana alam yang berubah menjadi bencana sosial. Menurut Dedi, saat gempa dengan rangkaian kejadian tsunami dan likuefaksi 28 September 2018 lalu, para pimpinan kepala daerah seolah tidak hadir di tengah warga. Padahal saat itu, warga yang terdampak bencana sangat membutuhkan kehadiran para pimpinannya, minimal untuk memperlihatkan sikap empatinya terhadap korban bencana.
ADVERTISEMENT
Ketidakhadiran para kepala daerah saat itu, akhirnya membuat bencana alam menjadi bencana sosial. “Kendali kepemimpinan daerah saat itu tidak ada alias kosong,” ujarnya.
Dedi juga menyoroti kebijakan pemerintah yang kemudian melahirkan implementasi yang menabrak aturan di lapangan. Aturan yang dimaksud di sini adalah Perda Kota Palu Tahun 2011 tentang Bangunan. Dalam Perda tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa bangunan di Kota Palu maksimal 6 lantai.
“Jadi, beberapa bangunan hotel di kota Palu sebenarnya telah melanggar Perda ini,” kata Dedi.
Pelanggaran aturan tersebut, membuat Pemerintah Daerah gagal meminimalisir resiko bencana 28 September 2018 lalu. Padahal sudah diketahui bersama, Kota Palu dan sekitarnya dilalui sesar Palu-Koro, dan setiap saat berpotensi terjadi gempa tektonik.
ADVERTISEMENT
TIM