Melihat Kampung Rodo-rodo, Penghasil Kopi Terbaik di Sulteng

Konten Media Partner
20 Juni 2020 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Biji kopi yang dijemur dan akan diolah untuk jadi biji kopi yang siap untuk dijadikan bubuk kopi. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Biji kopi yang dijemur dan akan diolah untuk jadi biji kopi yang siap untuk dijadikan bubuk kopi. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
ADVERTISEMENT
Pohon kopi berderet di dataran Napu, Desa Watutau, Kecamatan Lore Utara dan Lore Peore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Buahnya sudah matang.
ADVERTISEMENT
Mujito (64), salah seorang petani, tampak sumringah. Ia gembira. Pohon kopinya menghasilkan buah yang banyak. Berkualitas.
Menurut Mujito, kopi yang ditanam warga Rodo-Rodo adalah kopi Lampung jenis Arabika.
Ia bersama keluarganya mengaku memanen kopi ini dalam dua tahun sekali, di pekarangan rumah ia tinggali yang ada di Dusun Rodo-Rodo.
Selain bertani sayuran, kopi kini menjadi harapan jangka panjang perekonomian Mujito sejak menjadi warga transmigrasi di Rodo-Rodo.
Tanaman Kopi yang ada di pekarangan rumah warga transmigrasi di Dusun Rodo-Rodo, Desa Watutau, Kabupaten Poso. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
Bisa dikatakan petani kopi di Dusun Rodo-Rodo agak tertinggal jika dibandingkan dengan petani di wilayah lainnya. Pasalnya, petani transmigrasi di Rodo-Rodo hanya menggunakan alat cangkul untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan di daerah itu.
“Kita pakai alat seadanya saja, kalau bantuan dari pemerintah kami dapat hanya bibit kopi,” kata Mujito yang ditemui, Sabtu (20/6).
ADVERTISEMENT
Mujito mengatakan, setelah panen kopi itu kemudian dijual kepada kelompok tani di daerah itu, dan selanjutnya akan dijual kembali kepada pihak lain untuk kemudian diolah menjadi bubuk kopi.
“Kalau harga, satu kilogram biji kopi dijual para petani dengan harga Rp21.000. Sekali panen petani kopi pekarangan rumah ini hanya akan menghasilkan 20 Kilogram biji kopi,” ujarnya.
Tanaman Kopi yang ada di pekarangan rumah warga transmigrasi di Dusun Rodo-Rodo, Desa Watutau, Kabupaten Poso. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
Mujito yang baru empat tahun pindah di Dusun Rodo-Rodo ini mengakui bahwa hasil pertanian dan perkebunan di daerahnya sangat baik. Sayangnya perhatian pemerintah untuk warga transmigrasi di Dusun Rodo-Rodo masih samgat minim.
“Kopi di sini sangat baik, cuman kendalanya yah semut saja,” ujar Mujito.
Kualitas biji kopi yang terbaik dari Rodo-Rodo pun pernah diungkapkan Sutarno, yang juga warga di Rodo-Rodo yang ikut program transmigrasi.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, Sutarno pernah mengungkapkan keluhannya kepada pemerintah. Ia mengatakan petani lokal belum diberikan bantuan dalam bentuk alat pertanian untuk memudahkan perkebunan kopi.
Mujito, Petani Kopi di Rodo-Rodo. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
Para petani pun hanya mengandalkan cangkul untuk menghasilkan biji kopi berkualitas.
“Agak tertinggal karena tidak ada alat pertanian,” katanya.
Sementara itu, kopi yang dihasilkan dari petani kemudian dijual kepada Tohirin (39) sebagai tim kelompok tani. Tohirin membeli biji kopi dari petani di Rodo-Rodo dan kemudian mengolahnya menjadi biji kopi yang siap untuk dijadikan bubuk kopi.
Tohirin akui, biji kopi yang dihasilkan dari Rodo-Rodo sangat laris. Ia menjualnya kepada pembeli selanjutnya dengan harga Rp22.000 perkilogram.
“Soal bantuan yah petani di sini belum sepenuhnya merasakan bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan pertanian ataupun perkebunan,” katanya.
ADVERTISEMENT