Nestapa Pasutri di Palu yang Tinggal di Pondok Bekas Kandang Ayam

Konten Media Partner
30 Mei 2020 19:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana pondok Ateng Becak. Bertahan hidup di Pondok Bekas Kandang Ayam. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pondok Ateng Becak. Bertahan hidup di Pondok Bekas Kandang Ayam. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
ADVERTISEMENT
Tertinggal dari kehidupan berkecukupan dan jauh perhatian pemerintah kini dialami pasangan suami istri di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah, Ateng Becak (45) dan Ati (50), yang hidup serba pas-pasan di sebuah pondok tua dan lapuk di Jalan Cemangi, Kelurahan Duyu, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Nestapa harus dirasakan Ateng dan Ati, yang sudah lima tahun hidup di pondok bekas kandang ayam itu. Jangankan perhatian khusus, tengok dari pemerintah setempat pun tak ada.
Bukan waktu yang singkat bagi Ateng, sebagai kepala keluarga untuk membuat istrinya Ati lebih sabar menerima keadaan miris ini.
"Yah sudah begitu, mau di apa lagi,” kata Ateng, ditemui di Pondoknya, Sabtu (30/5).
Suasana pondok Ateng Becak. Bertahan hidup di Pondok Bekas Kandang Ayam. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
Nasib pilu pun harus diterima dengan sebuah tarikan napas panjang. Sebab, usaha untuk maju sudah dilakukan namun apalah daya keterbatasan pendidikan tak bisa menopang keinginan Ateng untuk hidup lebih baik di tengah-tengah kota yang mulai berkembang.
ADVERTISEMENT
Pria asli suku Kaili ini memulai hidup baru di Kota Palu setelah sempat merantau di beberapa daerah di Indonesia.
Sekitar tahun 2005, Ateng mulai mencari nafkah di Kota Palu sebagai penjaga ternak ayam. Ia ditugaskan untuk memberi makan sekitar 400 ekor ayam dan menjaganya.
Sebuah gubuk kecil yang berada sekitar lima meter dari kandang ayam pun disediakan untuk Ateng.
“Ya awalnya saya sendiri tidur di sebelah kandang ayam, jaga ayam orang,” ujar Ateng.
Berjalannya waktu, ternak ayam pun tak kunjung ada kemajuan sampai pada akhirnya pemilik peternakan ayam meminta kepada Ateng untuk tidak melanjutkannya.
Dapur yang menjadi tempat masak keluarga Ateng Becak. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
Beberapa pekan Ateng pun berdiam diri di gubuk itu, ia merenung dan ingin mencari pekerjaan lain untuk membantu kelangsungan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Ateng pun memilih untuk menjadi seorang tukang becak. Pekerjaan ini pun ia jalani hingga sekarang.
"Sudah lama jadi tukang becak, dari becak kayu sampai becak sekarang ini,” katanya.
Selain mencari nafkah dengan menjadi seorang tukang becak, Ateng juga merubah kandang ayam itu menjadi tempat ia tinggal.
Ateng pun perlahan membersihkan sisa kandang ayam itu, dan merapihkan kandang itu agar layak dan nyaman untuk ditinggali.
Tak ada lemari, kasur ataupun barang rumah tangga lainnya di pondok itu. Hanya tali jemuran yang dijadikan sebagai tempat menaruh baju pengganti lemari pakaian.
Dinding bambu yang perlahan sudah patah pun diakali dengan selembar karung maupun spanduk bekas agar pondok itu terlihat lebih baik.
Kondisi atap juga sudah memprihatinkan, tampak atap rumbia itu sudah tak tersusun rapi lagi. Nampak atap itu sudah punya selah-selah dengan ukuran besar.
ADVERTISEMENT
Rasanya hawa dinginnya angin yang masuk di selah dinding bambu sudah menjadi selimut malam bagi Ateng dan Ati.
Belum habis urusan angin, basah pada waktu hujan pun sudah seperti sahabat bagi Ateng dan Ati di pondok berlantaikan bambu itu.
“Kalau hujan kami basah, yah ba geser cari tempat yang tidak bocor baru tidur,” kata Ati.
Ateng becak bersama istri di Pondok bekas Kandang Ayam. Foro: Kristina Natalia
Atap yang bocor jadi alasan Ateng dan Ati hanya tidur bealaskan tikar diatas lantai bambu. Di pondok yang berdiri di lahan yang dipinjamkan itu pun belum ada aliran listrik. Saat malam, Ateng hanya menggunakan dua buah lampu pelita sebagai penerang dan pengantar tidur malam.
Tidak hanya itu gubuk kecil yang dulunya adalah tempat tidur Ateng menjaga ternak ayam kini dijadikan dapur. Disitulah sang istri menyiapkan makanan untuk Ateng. Sedangkan untuk tempat untuk mencuci, mandi dan buang air, keluarga ini memanfaatkan aliran air di drainase yang berada tak jauh dari pondoknya.
ADVERTISEMENT
"Kecuali air minum kami minta air di kos-kosan di depan baru kami masak. Yah biasa kalau direnungkan keadaan ini hanya bisa menangis saja, sabar saja yang penting bisa hidup. Karena kami pun berusaha tapi mau diapa lagi, sudah begini hidup yang harus dijalani,” kata Ati.
Meskipun hidup di tengah kemewahan orang sekitar, Ateng mengaku tetap bersyukur atas hidup yang Allah berikan untuknya dan istri tercinta.
Pekejaan sebagai tukang becak pun ia syukuri meskipun pendapatan dari hasil gayung sepeda membawa penumpang tak begitu besar. Apalagi di tengah pandemi saat ini, Ateng hanya bisa menyapu keringat lelah tanpa hasil yang memuaskan.
Di hari-hari biasanya Ateng hanya memperoleh pendapatan Rp50.000 paling besar setelah seharian bekerja mengantar penumpang.
ADVERTISEMENT
Dari pagi pukul 06.00 WITA, Ateng sudah pamit kepada sang istri tercinta untuk memulai pekerjaannya di Pasar Tradisional Manonda, Kecamatan Palu Barat.
Lokasi pasar tempat sehari-hari Ateng mangkal menunggu penumpang tak begitu jauh dari rumahnya. Biasanya ia akan kembali ke rumah pada malam hari setelah aktivitas pasar mulai sepi.
"Kalau hari normal kerjanya dari pagi sampai malam ya dapatnya paling tinggi Rp50.000. Sudah disyukuri itu, kalau penumpang sepi ya paling Rp10.000 sampai Rp20.000 dalam sehari,” ujarnya.
Senyum Ateng meski hanya hidup di Pondok bekas Kandang Ayam. Foro: Kristina Natalia
Cerita Ateng pun berlanjut, ia akui sudah tiga bulan ini ia tidak bekerja dan mencari penumpang di pasar. Pasalnya Ateng mengalami luka dibagian kaki kananya.
“Kakiku luka kena besi jadi susah saya dayung sepeda, rasanya sakit makanya belum bisa bawa becak dulu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ateng termasuk pria yang beruntung, karena ditengah kesusahannya akan nasib pilu, ada sang istri yang setia menemani dan memberikan semangat untuknya.
Di pondok yang sudah mulai rapuh itu jadi saksi bisu kesetiaan Ati menemani Ateng dengan sabar. Virus Corona pun semakin menghambat pendapatan keluarga ini.
Sayangnya menurut pengakuan Ateng, hingga saat ini keluarganya belum menerima bantuan dari pemerintah. Padahal sebagai orang yang tidak mampu, ia pun menginginkan ada perhatian khusus dari pemerintah untuk membantu kehidupannya.
“Corona begini kami dapat bantuan kaya sembako tapi bukan dari pemerintah. Ada orang-orang bawakan,” sebut Ateng.
Pria bertubuh kecil ini pun punya keinginan untuk membangun pondok baru di lahan baru yang juga dipinjamkan untuknya.
ADVERTISEMENT
Ia berniat untuk membeli bahan-bahan seperti kayu dan atap baru untuk membangun pondok yang lebih nyaman.
Suasana pondok Ateng Becak. Bertahan hidup di Pondok Bekas Kandang Ayam. Foto: Kristina Natalia/PaluPoso
***
*kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!