Palu Adalah Kritik untuk Berkesadaran Kelola Bencana

Konten Media Partner
4 April 2019 23:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Resiko Bencana, Eko Teguh Paripurno, memaparkan kerangka kerja Sendai untuk Pengurangan Resiko Bencana, di kantor Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Kamis (4/4). Foto: Dok. PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Resiko Bencana, Eko Teguh Paripurno, memaparkan kerangka kerja Sendai untuk Pengurangan Resiko Bencana, di kantor Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Kamis (4/4). Foto: Dok. PaluPoso
ADVERTISEMENT
Bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi yang menimpa Kota Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong pada 28 September 2018, memperlihatkan praktek buruk perencanaan pelaksanaan pembangunan di daerah ini.
ADVERTISEMENT
Minimnya aspek pengelolaan menghadapi bencana, membuat gagap ketika bencana dahsyat menimpa daerah ini.
“Palu adalah kritik untuk berkesadaran bagi otoritas pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan pengelolaan bencana,” kata Ketua Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Resiko Bencana, Eko Teguh Paripurno, pada diskusi yang dilaksanakan oleh Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Kamis (4/4), di kantor HAM Sulteng di Kota Palu.
Ada satu penekanan dari Eko saat memaparkan materinya pada diskusi yang sedianya menghadirkan beberapa pejabat dan Kepala Daerah di Sulawesi Tengah itu, di Bupati Sigi, Bupati Donggala, Wali Kota Palu dan Gubernur Sulawesi Tengah tersebut, adalah pada aspek perhitungan risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Secara umum katanya, bencana yang terjadi di Indonesia, khususnya bencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang terjadi di daerah ini, belum pernah ada yang menghitung risiko yang ditimbulkannya. Padahal bencana itu pasti menimbulkan risiko, mulai dari risiko terhambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama risiko sosial.
ADVERTISEMENT
“Kita tidak pernah menghitung berapa risiko sosial yang ditimbulkan sekiranya saat bencana lalu kita kehilangan keluarga kita atau kerabat kita,” ujarnya.
Eko menjelaskan, setelah melihat dampak yang ditimbulkan akibat bencana 28 September itu, bisa ditarik benang merahnya jika warga yang terdampak bencana di Kota Palu merupakan korban kesalahan kebijakan sebelumnya. Padahal jika otoritas pemerintah daerah menerapkan pola pencegahan yang sesuai pengalaman yang diperoleh melalui penerapan kerangka aksi Hyugo 2005-2015, memahami risiko bencana, memperkuat tata kelola risiko bencana dan manajemen risiko bencana, korban yang ditimbulkan pada bencana tersebut bisa meminimalisir.
Sebagaimana diketahui, rangkaian bencana gempa bumi dengan kekuatan magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 lalu, menyebabkan terjadinya korban 2.133 orang meninggal dunia, 4.612 orang luka-luka, 1.309 orang hilang, dan 152 orang tertimbun. Begitupula sekira 223.751 orang mengungsi, 67.310 rumah rusak, serta kerusakan- kerusakan berat pada 622 sekolah, 99 rumah ibadah dan 22 fasilitas kesehatan.
ADVERTISEMENT
(adv)
TIM