Perempuan di Kamp Pengungsian Pasigala Rawan Korban Trafficking

Konten Media Partner
19 Juni 2019 8:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana pengungsi di tenda pengungsian halaman Masjid Agung, Kota Palu. Foto: PaluPoso
Perempuan, khususnya perempuan muda rawan menjadi korban praktik perdagangan orang (Trafficking) yang berada di kamp-kamp pengungsian korban bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi di wilayah Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Sigi (Pasigala).
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkapkan Gender Based Violence In Emegency UNFPA (GBViE) National Coordinator, Ita Fatia Nadia pada rapat koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Bencana yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, bekerjasama dengan United National Population dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa (18/6).
Ita Fatia mengungkapkan, potensi perempuan di lokasi bencana Pasigala menjadi korban praktik perdagangan orang karena para pelaku memanfaatkan kondisi para korban bencana yang serba kekurangan.
"Para pelaku memanfaatkan situasi para korban bencana termasuk di Pasigala," ujarnya.
Para pelakunya lanjut Ita, adalah oknum-oknum yang dari luar Sulawesi Tengah yang menyasar perempuan - perempuan korban bancana. Hal ini harus jadi perhatian pemerintah dan aparat kepolisian untuk mengawasi upaya-upaya praktik perdagangan orang yang menyasar perempuan korban bencana di Pasigala.
ADVERTISEMENT
"Kalau mengharapkan LSM dan masyarakat sulit untuk mengantisipasi praktik Trafficking yang menjadi ancaman bagi perempuan korban bencana," ujarnya.
Suasana pengungsi di tenda pengungsi halaman Masjid Agung, Kota Palu. Foto: PaluPoso
Ita Fatia menambahkan, dari wilayah asesmen yang dilakukan di beberapa lokasi pengungsian pada bulan November 2018, UNFPA bersama DP3A Provinsi Sulawesi Tengah, LIBU dan KPKPST melakukan penilaian cepat kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) sesudah bencana di antara perempuan, remaja dan anak perempuan pengungsi yang tinggal di 8 kamp pengungsi. Di antaranya, Petobo, Balaroa, halaman Masjid Agung, Wombo Kalombo, Lolu Sigi, Sibalaya Selatan, Sibalaya Utara, Jono Oge dan Pombewe.
“Assesmen diambil dari 8 FGD dengan perempuan, wawancara individu 304 orang, audit keselamatan di 8 area di dalam kamp dan 2 pemukiman pengungsi di luar batas kamp. Dengan teknik pengambilan data, Kobo, FGD, Interview, waktunya bulan November hingga Desember 2018,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Temuan lain dari hasil FGD dimana perempuan dewasa dan remaja perempuan mengungkapkan terjadi pernikahan dini dan kawin paksa yang dianggap sebagai tradisi di komunitas mereka, banyak terjadi sesudah gempa dan di kamp pengungsian. Dengan usia 13 hingga 15 tahun disaat anak perempuan yang begitu sudah mendapat haid, dengan alasan untuk menghindari terjadinya zina.
Di Rogo dan Donggala, ada tradisi saling melindungi kaum perempuan. Dimana tradisi wanita lajang dan janda didukung oleh kerabat atau komunitas.
" Ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki strategi untuk mendukung anggota yang rentan dan mengurangi kesulitan yang dialami," katanya.
Andi Lena