Perjuangan Ibu Korban Dugaan Pelecehan Seksual di Morowali Mencari Keadilan

Konten Media Partner
18 Juni 2022 19:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Jalan panjang dan berliku dilalui Asmawati, ibu korban dugaan pelecehan seksual penyandang disabilitas asal Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Terhitung sekitar enam bulan sejak ibu korban melaporkan kasus tersebut ke aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Tepatnya, pada tanggal 20 Desember 2021, Asmawati Budia melaporkan kasus pemerkosaan anaknya yang penyandang disabilitas ke Polres Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Surat tanda laporannya bernomor STTLP/184/XII/2021/SPKT/Res Morowali/Polda Sulteng tertanggal 20 Desember 2021.
Pada surat laporan tersebut, Asmawati sebagai pelapor menceritakan, bahwa pada Kamis 16 Desember 2021 sekitar pukul 09.00 WITA, korban yang berumur 21 tahun pergi jalan-jalan pagi bersama adiknya yang masih berumur 3 tahun.
Kemudian setelah akan melewati rumah terlapor berinisial M (70), korban bersama adiknya dipanggil oleh terlapor masuk ke dalam rumahnya. Setelah kejadian tersebut, adik korban melaporkan kepada ibunya bahwa korban dirabah dan ditelanjangi oleh pria lansia itu di bagian kemaluan.
Dari keterangan tersebut, Asmawati menduga anaknya yang mengalami disabilitas itu diperkosa oleh tetangganya inisial M (70). Apalagi adik korban dengan polos memperagakan adegan ranjang yang dilakukan pria lansia itu terhadap kakaknya.
ADVERTISEMENT
Esok harinya, ibu korban langsung menanyakan kebenaran informasi anaknya yang masih polos tersebut ke keluarga pelaku, yakni keponakan dari pelaku sendiri. Hasilnya, keponakan pelaku mengakui pernah merekam adegan persetubuhan tersebut. Tetapi video itu telah dihapus.
Atas informasi tersebut, ibu korban langsung mendatangi puskesmas terdekat untuk membuktikan kebenaran pemerkosaan tersebut. Namun pada saat kejadian didapati tidak ada dokter praktek sehingga seorang polisi yang mendampingi kasus itu meminta kepada perawat untuk memeriksa dan memastikan bahwa telah terjadi pemerkosaan.
Hasilnya, perawat menyatakan bahwa benar korban telah disetubuhi. Sebab, dari penglihatan kasat mata perawat, bahwa vagina korban seperti wanita yang sudah menikah. Tetapi untuk memastikan terjadi pemerkosaan atau ada luka di dalam vagina korban, perawat tersebut tidak bisa memeriksa lebih detail karena itu menjadi kewenangan dokter.
ADVERTISEMENT
Sementara itu hasil visum di RSUD Morowali telah ada, tetapi sampai saat ini penyidik tidak pernah memperlihatkan kepada pendamping hukum LBH Keadilan Karya Morowali hasil visum tersebut. Dan, hanya menyampaikannya secara lisan bahwa ada proses penyembuhan luka lama pada vagina korban.
Penanganan kasus tersebut memakan waktu kurang lebih hingga enam bulan karena mengalami sejumlah kendala terutama pada penyidik. Kendala tersebut yakni: penyidik menganggap saksi yang melihat kejadian itu masih kurang, penyidik juga kesulitan menerapkan pasal yang tepat bagi pelaku karena beberapa pertimbangan, diantaranya korban sudah berumur dewasa sehingga tidak bisa dikenai pasal pemerkosaan berkaitan dengan iming-iming sebab dalam BAP, korban mengakui untuk melakukan persetubuhan itu dia diberi satu bungkus mi instan.
ADVERTISEMENT
Sementara, Pasal iming-iming tersebut hanya berlaku untuk anak-anak dan korban sudah dewasa dari segi umur walaupun mental dan intelegensinya sangat kurang. Sebab itulah pasal pemerkosaan tidak digunakan untuk menjerat pelaku melainkan pasal persetubuhan.
Kendala lainnya ialah pelaku tidak mengakui perbuatannya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penyidik. Padahal dari sisi korban, sudah berkali-kali menyebut M (70) sebagai pelaku pemerkosanya. Dan jawabannya itu tidak pernah berubah-ubah. Hanya nama M (70) yang selalu ke luar dari mulutnya. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan adik korban yang berumur tiga tahun.
Kasus Diberhentikan
Namun pada hari Rabu (8/6), Polres Morowali secara mengejutkan menyatakan bahwa kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa salah satu penyandang disabilitas di Morowali, dihentikan penyelidikannya karena hal tersebut dianggap bukan tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Kasat Reskrim Polres Morowali, IPTU Arya Widjaya dalam konferensi pers pengungkapan kasus tindak pidana selama bulan Mei 2022 yang ditangani Polres Morowali, di Mako Polres Morowali, Rabu (8/6/2022), mengatakan keterangan saksi anak dinilai bukan merupakan alat bukti yang sah dan hanya dapat dipakai sebagai petunjuk. Sehingga tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
“Berdasarkan kronologi kejadian, korban yang berumur 21 tahun itu mengakui disetubuhi, namun tidak melakuan perlawanan. Hal itu tidak dapat dikategorikan dalam keadaan kondisi tidak berdaya,”jelasnya.
Seperti yang termuat dalam penjelasan Pasal 89 KUHP yang berisi orang yang sakit ingatan atau keterbelakangan mental, sakit jiwa, meskipun hanya kadang-kadang saja. Mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Maka, mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
ADVERTISEMENT
Kemudian keterangan pelapor yakni ibu korban yang mendapatkan informasi dari anaknya yakni yang berumur tiga tahun, tidak dapat dikategorikan sebagai keterangan saksi karena informasi yang diterima oleh ibu korban berasal dari anaknya yang berumur tiga tahun.
Berdasarkan pada kronologi kejadian dan juga keterangan saksi-saksi maka pelaku tidak dapat dikategorikan membuat pelanggaran hukum. Pelaku dapat dipidana atas pelanggaran atau tindak pidana yang melanggar ketentuan tersebut, perbuatan pelaku harus memenuhi dua unsur pokok, yakni unsur objektif atau unsur perbuatan (actus reus) dan unsur subjektif atau sikap batin (mens rea). Perbuatan yang diduga dilakukan oleh pelaku tidak memenuhi unsur mens rea dan actus reus.
Pemeriksaan saksi-saksi terdapat kesaksian yang tidak berkesuaian dan saksi utamanya adalah adik korban yang berumur tiga tahun yang menurut hukum kesaksian tersebut yang menurut hukum tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kasus tersebut lanjut Arya dihentikan oleh Polres Morowali. Adapun soal yurisprudensi dari Pengadilan Bale Bandung Nomor: 377/Pid.B/2011/PN.BB yang diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan Polres Morowali dalam pengungkapan kasus tersebut, menurutnya tidak bisa digunakan karena kasus itu berbeda.
“Ahli pidana menjelaskan pada yurisprudensi Pengadilan Bale Bandung, tersangka mengakui perbuatannya. Sedangkan di kasus disabilitas Menuai, tidak ada pengakuan. Yang kedua saksi tidak ada yang melihat kejadian, ketiga tindak pidana tersangka di Bale Bandung selain melakukan persetubuhan juga melakukan pengancaman,” kata Arya. *(Abi)