news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perjuangan Menolak Menyerah ala Dewi, Pengidap Katarak di Palu

Konten Media Partner
9 Juli 2019 13:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dewi Santiana. Foto: Ikram/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Dewi Santiana. Foto: Ikram/PaluPoso
ADVERTISEMENT
Masih ingat dengan Yunisa Elmira (8), gadis kecil asal Palu yang mengidap katarak kongenital dan penyakit saluran infeksi pernapasan? Diketahui, ternyata sang ibu, Dewi Santiana (25), juga mengidap katarak. Sama seperti Yunisa, Dewi juga sudah mengalami gangguan mata itu sejak lahir.
ADVERTISEMENT
Namun, katarak tidak menghalangi Dewi untuk bisa bermanfaat bagi sekelilingnya. Bahkan, perempuan kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini layak dijadikan inspirator. Sebab, di tengah keterbatasan fisik dan finansial, dia masih sudi memikirkan nasib orang-orang difabel lainnya.
Berangkat dari pemikiran yang sama bersama rekan senasibnya, ibu dari dua anak ini lalu membuka rumah singgah yang diberi nama Rumah Singgah Komunitas Divabel Berkarya. Rumah yang terletak di Jalan Tamako, Kelurahan Donggala Kodi, Kecamatan Palu Barat, ini didirikan agar rekan-rekan sesama difabel tidak dianggap sebagai pengemis.
Bagi Dewi, tidak boleh ada anggapan bahwa orang-orang disabilitas itu rendah dan cenderung selalu minta dikasihani. “Kalau kita berjalan, orang-orang berpikir orang buta ini lewat cuma meminta-minta,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dewi dan rekan-rekannya sebenarnya bisa menghasilkan sebuah karya yang patut dibanggakan. Sayangnya, walau telah berkarya, para difabel ini masih saja dipandang sebelah mata oleh orang lain.
"Bahwa orang difabel bukan orang yang diberi karena kasihan tapi diberi sebab kelebihan," katanya.
Ia mengatakan, Rumah Singgah Komunitas Divabel Berkarya dirintis sejak tahun 2016. Kini, rumah itu sudah menampung sedikitnya 35 orang difabel dengan beragam macam kecacatan dan karakter.
"Ada lansia, dewasa, dan anak dengan kecacatan yang berbeda-beda, ada tunanetra yang tidak dapat melihat sama sekali, ada tunadaksa yang kakinya hanya memakai tongkat, ada yang IQ rendah, tunarungu, dan sulit berbicara sama sekali," katanya.
Dewi (kiri) membentangkan spanduk bersama penghuni Rumah Singgah Komunitas Divabel Berkarya Palu, Selasa (9/7). Foto: Ikram/PaluPoso
Dewi mengatakan, penghuni rumah singgah yang tunanetra juga membuka usaha pijat dengan tarif Rp 75 ribu/sekali pijat. Keahlian memijat didapatkan mereka dari pelatihan selama dua tahun di sekolah pijat khusus tunanetra di Manado. Jasa pijat ini bersifat panggilan, di mana mereka akan mendatangi rumah pelanggannya dan dibayar langsung.
ADVERTISEMENT
Dewi mengaku, meski rumah singgah yang dirintisnya sudah berjalan sekitar tiga tahun, tetapi belum sekali pun dapat perhatian dari pemerintah. Bahkan, kata Dewi, instansi terkait tak pernah sekali pun melakukan sosialisasi ke rumah singgahnya.
"Mungkin kami dilihat seperti ini (kaum difabel), jadi di-'pingpong' ke sana kemari, janji ini dan itu, persyaratan ini dan itu," kesalnya.
Meski tanpa bantuan pemerintah, dia mengaku bertekad akan terus berupaya mengejar apa yang menjadi hak kaum difabel. Selain membuka usaha pijat, Dewi dan rekan-rekannya juga mengumpulkan uang dari hasil berjualan kripik.
“Jadi jualan keripik keliling, kumpulkan rupiah kecil-kecil saja dulu, intinya kuat hidup tanpa (bantuan) pemerintah," katanya.
Ia juga membuka usaha jual beli kacamata bersama suaminya, Syamsul (33). Hasil berjualan itu ia gunakan untuk membiayai keluarga kecilnya. Sebab, bagi Dewi, pantang mengemis untuk bisa melanjutkan hidup.
ADVERTISEMENT
"Lebih baik beli barangnya daripada meminta-minta," ujarnya.
Kontributor: Ikram (Palu)