Relokasi Warga Lere, Separuh Kebudayaan Pesisir Palu akan Lenyap

Konten Media Partner
17 Maret 2019 21:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Lere saat Molibu Mbaso atau rapat besar di Masjid shelter pengungsi Jalan Ponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu 17 Maret 2019. Foto: Abidin
zoom-in-whitePerbesar
Warga Lere saat Molibu Mbaso atau rapat besar di Masjid shelter pengungsi Jalan Ponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu 17 Maret 2019. Foto: Abidin
ADVERTISEMENT
Warga Lere yang kini ditempatkan di shelter pengungsi di Jalan Ponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat menolak direlokasi ke lokasi hunian tetap (Huntap) di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
Alasannya, warga Kelurahan Lere menilai relokasi tersebut bisa menghilangkan separuh kebudayaan pesisir Palu menyusul keputusan pemerintah yang menetapkan wilayah permukiman warga, khususnya Kampung Lere sebagai zona merah, hanya karena peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami 28 September 2018.
Belajar dari sejarah tanah Kaili, gempa dibarengi tsunami atau dalam bahasa lokal disebut Lingu, sudah ada sejak dulu. Sehingga, pola penanganan yang dilakukan pemerintah saat ini terhadap warga Kampung Lere, dianggap tidak bijak jika mengharuskan mereka direlokasi ke tempat yang jauh dari tempat kelahiran serta latar belakang budaya mereka.
“Tidak akan bisa nelayan jadi petani, apalagi kultur antara masyarakat Lere sebagai nelayan dengan wilayah Tondo yang menuntut warga jadi nelayan akan sangat berbeda, apakah warga Kampung Lere yang pada umumnya nelayan harus menjadi petani bawang,” kata Hasnur, warga Lere saat Molibu Mbaso atau rapat besar di Masjid shelter pengungsi Jalan Ponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu 17 Maret 2019 .
ADVERTISEMENT
Mediantara, warga Lere lainnya meminta pertimbangan rasa keadilan dari pemerintah atas rencana relokasi warga Kampung Lere ke lokasi yang jauh dari permukiman mereka sebelumnya. Ia menilai ada sikap ketidakadilan perlakuan pemerintah terhadap warga Lere sekaitan rencana relokasi mereka ke lokasi yang jauh dari akar budaya mereka sebagai warga pesisir.
Bahkan menurutnya, pemerintah bersikap diskriminatif terhadap warga Lere. Hal itu merujuk pada kebijakan pemerintah yang tetap memberi kesempatan kepada pengusaha untuk kembali beraktifitas di lokasi yang sudah ditetapkan sebagai zona merah. Sebut saja, Hotel Mercure, PGM, Hotel Grand Duta, dan Exelco. Padahal kalau menarik garis lurus dengan lokasi para pengusaha itu, akan sejajar dengan lokasi warga yang masuk zona merah.
ADVERTISEMENT
Lokasi para pengusaha itu sejajar dengan lokasi permukiman warga Lere, yakni sekitar 100 meter dari bibir pantai. Tetapi herannya, para pengusaha itu seolah ada pengecualian perlakuan, sementara warga harus direlokasi. “Kita akan tetap bertahan di Lere, bukan dalam artian melawan pemerintah,” kata Mediantara.
Hj Sayya, warga pengungsi di Shelter Jalan Ponegoro malah bersikap keras pada rapat tersebut dan menyuarakan agar warga tak mudah diiming-iming sesuatu yang nantinya akan jadi penyesalan berkepanjangan warga Kampung Lere.
Kalaupun nantinya warga Kampung Lere direlokasi ke lokasi Huntap di Kelurahan Tondo, mewakili warga ia meminta harus ada hitam di atas putih yang menerangkan status kepemilikan tanah warga yang selama ini masuk dalam zona merah. “Bukan berarti relokasi warga ke lokasi Huntap di Tondo ibaratnya tukar guling lahan warga Kampung Lere,” ujarnya.
Suasana warga Lere saat Molibu Mbaso atau rapat besar di Masjid shelter pengungsi Jalan Ponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu 17 Maret 2019. Foto: Abidin
Menyikapi aspirasi warga tersebut, Ikbal Khan, yang memimpin rapat warga Kampung Lere tersebut, berencana membuat tempat pertemuan di Talinti Kampung Lere yang saat ini dimasukkan dalam zona merah oleh pemerintah. Pembangunan tempat pertemuan tersebut akan bahu membahu dengan warga setempat. Tujuannya adalah untuk lebih membulatkan aspirasi warga Lere serta ingin menunjukkan kepada pemerintah bahwa warga masih tetap ingin beraktifitas di lokasi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Ini tidak ada muatan politik sama sekali terhadap aspirasi warga yang menolak direlokasi, walau dalam pertemuan ini dihadiri oleh para politisi, tapi posisi mereka itu adalah sebagai warga yang menuntut sikap perlakuan adil dari pemerintah,” ujarnya.
Masih banyak masukan dan warga lainnya saat pertemuan tersebut, tapi intinya sikap seluruh warga Kmapung Lere tersebut dikerucutkan dalam bentuk pernyataan sikap Forum Komunikasi Percepatan Pembangunan Kampung Lere (FKPP-KL).
Lima poin dalam pernyatan sikap tersebut yang diketuai oleh Ikbal Khan. Pertama, Warga menolak direlokasi; Kedua, Meminta kejelasan status kepemilikan lahan atau tanah warga; Ketiga Meminta pemerintah baik Kota, Provinsi dan Pusat untuk melakukan penataan pembangunan kembali pascabencana alam, khususnya area yang terdampak langsung kejadian 28 September 2018.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Warga Lere khususnya yang terdampak kejadian gempa dan tsunami menolak relokasi permukiman dan kalaupun tetap dilakukan relokasi, hunian tetap harus berada di wilayah Kelurahan Lere. Terakhir, meminta kepada semua pihak yang berkompeten dalam melakukan perencanaan pembangunan bagi korban gempa, tsunami dan likuefaksi selalu melibatkan warga dalam pengambilan keputusan.
Penulis: Abidin