Tambaru, Kebiasaan Anak-anak Morowali Kala Idul Fitri

Konten Media Partner
13 Mei 2021 20:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi seorang anak laki-laki menerima salam tempel dari keluarganya saat Lebaran Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang anak laki-laki menerima salam tempel dari keluarganya saat Lebaran Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
“Tambaruuu...” suara cempreng anak-anak menghentikan obrolan kami di ruang tamu. Di rumah paman kami, di Kelurahan Lambera’a, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).
ADVERTISEMENT
Hari itu, adalah Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada Kamis (13/5). Seperti biasa, walaupun pandemi, kami masih sempat mengunjungi sanak saudara sesama di kampung.
Suara anak-anak kecil tadi adalah sebuah kode, yang hingga kini kami sendiri belum tahu arti tersebut. Tapi tanpa bersusah-sudah dicari maksudnya, pemilik rumah secara otomatis akan menyambut mereka.
Aswan (33), warga lokal menjelaskan, anak-anak di Bungku lebih menggunakan istilah tambaru sebagai artinya mendatangi rumah warga. Tujuan mereka pada dasarnya bukan berjalan-jalan, melainkan ingin meminta “Hagala” atau sedekah atau lebih mirip-mirip dengan penggunaan kata “Angpau” bagi orang Tionghoa, dari penghuni rumah.
“Kalau mereka sudah bilang Tambaru, berarti mereka harus dikasih uang. Anak-anak sekarang tidak mau lagi dikasih kue,” kata Aswan bercanda.
ADVERTISEMENT
Anak-anak itu, entah dari mana tinggalnya, yang jelas mereka akan mendatangi rumah-rumah warga, mendekati pintu rumah, kemudian berseru ”Tambaru”. Lalu, secara otomatis, si pemilik rumah akan menyapa mereka dari pintu.
Sebagai imbalannya, jika beruntung, anak-anak tersebut akan diberi uang recehan pecahan Rp 2000-5000. Atau kalau ekonomi yang punya rumah lagi sulit, anak-anak tersebut akan diberi kue kering. Warga di sini menyebutnya “kue lebaran” karena hadirnya setiap Hari Lebaran saja.
Jika sudah diberi imbalan “Tambaru” anak-anak tersebut tanpa disuruh akan balik arah menuju ke tempat lainnya. Senyum kegirangan tentu tidak luput bila salah satu rumah menghadiahi mereka sesuatu entah itu kue atau uang.
Belasan tahun lalu, penulis juga alumni dari kebiasaan atau yang lebih tepatnya tradisi anak-anak itu. Namanya juga anak-anak, urat malunya belum ada. Sehingga tidak peduli ketika ada nyinyir. Paling-paling makin percaya diri dan tambah semangat setelah jalan seharian, kemudian dikasih “Hagala” sama pemilik rumah.
ADVERTISEMENT
Belasan tahun itu, terjadi di Kota Palu. Namun, anak-anak jadul seangkatan tahun 1990-an tidak mengenalnya dengan istilah “Tambaru” seperti di Morowali, melainkan “Patroli Kue”. Hihihihihi....