Air Mata Tumpah di Pembubaran Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY

Konten dari Pengguna
27 Agustus 2020 2:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto lukisan Hasoe SE untuk menghormati para petugas Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY. olah gambar ESP.
zoom-in-whitePerbesar
Foto lukisan Hasoe SE untuk menghormati para petugas Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY. olah gambar ESP.
ADVERTISEMENT
Masker yang dikenakan Ana Maya Dewi Purnamasari, 22 tahun, tidak mampu menutupi kesedihan di baliknya. Tangisnya pecah, sedetik setelah apel pembubaran Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY (selanjutnya disebut posko dukungan) usai. Air mata yang dia tahan untuk tidak tumpah sepanjang berlangsungnya apel, akhirnya tumpah, dan makin deras ketika pelukan-pelukan perpisahan hangat dari temannya mendekap tubuh mungilnya.
ADVERTISEMENT
“Di sini itu sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, karena kurang lebih sudah bareng selama enam bulan, dan sore ini kita harus berpisah,” ujar Maya, sapaan akrabnya, setelah berhasil menyudahi tangisnya, Rabu (26/8) sore di acara resmi pembubaran Posko Dukungan oleh Gugus Tugas COVID-19 DIY di Kantor BPBD DIY Jalan Kenari 14 A Kota Yogya.
Tangis Maya pecah saat wartawan mencoba mewawancarainya. Foto: Widi Erha
Maya adalah salah seorang relawan yang tergabung dalam posko dukungan. Dia diutus oleh instansi tempatnya bekerja, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Yogyakarta, untuk ikut andil dalam misi kemanusiaan itu.
Di posko dukungan, dia ditugaskan untuk mengelola administrasi posko. Setiap hari, dia bertemu dengan orang-orang yang punya misi sama: melawan COVID-19 di DIY. Kebersamaan yang terjalin selama hampir enam bulan, bukan sesuatu yang mudah untuk ditinggalkan begitu saja. Dan semua itu, akan sangat dirindukan olehnya setelah posko ini resmi dibubarkan dan semua relawan mulai sibuk dengan dunia dan urusannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Dari pagi sampai malam sampai pagi lagi, setiap hari selama enam bulan itu kita kan bareng terus, dari mulai makan, salat, terus menjalankan tugas masing-masing, itu ngapa-ngapain bareng, jadi rasanya sedih banget, besok enggak bisa kayak gini lagi,” lanjutnya.
Maya merasakan perubahan yang cukup signifikan di dalam dirinya, antara sebelum dan setelah bergabung sebagai relawan di posko dukungan ini. Di awal-awal dia masih sangat canggung dan malu-malu dalam melakukan setiap kegiatan.
Bahkan saat awal-awal bertugas, dia pernah menangis karena melihat kacaunya proses pemakaman jenazah pasien COVID-19. Dia melihat bagaimana semua pihak menolak untuk memakamkan jenazah pasien COVID-19, sehingga relawan posko dukungan harus turun tangan untuk melakukan pemakaman.
“Itu bener-bener aku nangis, kenapa sampai semua enggak ada yang mau ngambil, padahal orang sudah meninggal masih berlama-lama untuk dimakamkan, kan kasihan,” ujarnya.
Maya tak kuasa menghentikan tangisnya. Foto: Widi Erha.
Namun setelah hari demi hari dilewati bersama orang-orang di dalam posko dukungan yang asyik-asyik, serta melihat orang-orang di sekitarnya begitu tegar dan berani, kini Maya berubah menjadi lebih berani.
ADVERTISEMENT
“Lebih banyak senengnya daripada dukanya, apa mungkin karena terlalu menikmati semuanya ya. Jadi kalaupun kita capek, pasti ada yang saling support, ngejahilin, jadi bikin kita ketawa lagi,” ujarnya sembari membetulkan posisi kacamatanya.
Tidak jarang, Maya merasa sedih karena kerap diberi stigma negatif oleh teman-temannya, dianggap menjadi penyebar virus karena setiap hari bekerja di posko dukungan. Terlebih gunjingan-gunjingan tetangga indekosnya yang tidak mengenakkan, karena dia nyaris selalu berangkat pagi dan pulang malam. Belum harus menambat rindu dengan keluarganya di Sragen yang sekian lama tidak sempat dilepaskan karena pandemi.
Tapi semua kesedihan itu seketika hilang ketika dia sampai di posko dan bertemu dengan relawan-relawan lain yang nasibnya tidak jauh berbeda dengannya namun tetap bisa ceria dan saling menghibur satu sama lain.
ADVERTISEMENT
“Semoga ini (pembubaran posko dukungan) memang yang terbaik ya. Karena setiap pertemuan kan pasti ada perpisahan,” kata Maya.
Lega Sekaligus Khawatir
Ahmad Romadhon. Foto: Widi Erha.
Posko Dukungan Operasi Gugus Tugas COVID-19 DIY memulai tugas pertama saat tak ada petugas yang berani mengurus seorang pengendara motor yang meninggal tiba-tiba di titik nol Jogja pada 30 Maret dengan dugaan terkena virus corona (saat itu belum ada sebutan COVID-19). Sejak itu, pemulasaran jenazah dan juga dekontaminasi mobil dan petugas terkait COVID-19 menjadi tugas utama Posko Dukungan.
Ahmad Romadhon Akhirudin, haru sekali sore kemarin. Tatapannya kosong, seperti tidak rela dengan pembubaran posko dukungan ini. Rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya terus memendek, tanpa dia isap. Dia adalah salah seorang relawan di posko dukungan dari komunitas Save Rescue Indonesia Gunungkidul.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang relawan, dia pernah ditugaskan di bagian manapun. Tapi yang paling sering adalah sebagai petugas penjemput dan pemulasaraan jenazah pasien COVID-19. Satu hal yang sampai sekarang masih sangat membekas di benaknya adalah ketika dia hampir tidak bisa bernapas saat ditugaskan menangani jenazah pasien COVID-19 yang meninggal di rumahnya.
Karena saat itu APD yang ada masih sangat terbatas, demi keamanan Ahmad dan petugas lainnya harus mengenakan APD berlapis yang membuatnya sangat sulit untuk bernapas. APD itu sudah dipakai dari posko sampai rumah duka yang harus ditempuh dengan waktu setengah jam lebih. Apalagi ruang untuk menangani jenazah sangat sempit, sehingga makin mempersulit ruang gerak mereka.
“Harus benar-benar mengatur napas, jangan sampai panik, itu kalau lebih lama lagi mungkin bisa pingsan, tobat mas,” ujar Ahmad.
ADVERTISEMENT
Ahmad juga sulit menerima bahwa dia harus berpisah dengan teman-temannya yang sudah hampir enam bulan ini menjalani masa-masa sulit bersama. Keusilan-keusilan kecil, seperti menyembunyikan baju ganti ketika mandi, membangunkan saat baru saja akan tidur, dan hal-hal kecil lain, adalah momen-momen paling berkesan dan akan sangat dia rindukan nantinya.
“Karena kumpul kayak gini itu jarang banget, apalagi kita kan sudah lama bareng, pasti kayak ada yang hilang lah nanti,” lanjutnya.
Di satu sisi, Ahmad memang merasa lega dengan dibubarkannya posko dukungan ini. Dia tidak memungkiri, bahwa dia dan teman-temannya sudah terlampau lelah karena harus bertugas selama nyaris enam bulan. Apalagi selama menjadi relawan dia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang buruh demi menjalankan tugas-tugas kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Selama menjadi relawan, dia juga sangat jarang pulang dan bertemu dengan ibunya di rumah. Selama nyaris enam bulan, dia pulang ke rumah tidak sampai 10 kali, itu pun di rumah hanya dalam hitungan jam saja.
“Lega karena bisa fokus sama yang yang lain, terus bisa ada waktu lebih lama juga buat keluarga. Karena ibu saya itu selalu tanya, kok jarang banget pulang, pulang pun cuman sebentar, tapi ya gimana lagi,” ujarnya.
Tapi di sisi lain, pembubaran posko dukungan ini justru membuatnya khawatir. Pasalnya pandemi sama sekali belum selesai, kasus terus bertambah, dan masyarakat justru seolah makin abai dengan adanya pandemi.
“Jadi lega sekaligus enggak lega. Karena sebenarnya masih banyak yang harus dikerjakan,” ujar Ahmad sembari menginjak puntung rokoknya yang tinggal menyisakan gabus.
ADVERTISEMENT
Kebersamaan yang Akan Hilang
Dwi Setyono. Foto: Widi Erha.
Enam bulan menjadi relawan di posko dukungan adalah waktu yang tidak akan pernah dilupakan oleh Dwi Setyono. Momentum ini adalah salah satu momentum paling penting yang pernah dia alami di dalam hidupnya.
Di posko dukungan ini, Setyo ditugaskan di bagian zona dekontaminasi. Dia tidak akan lupa, bagaimana para relawan saling menghibur dengan berjoget dan bernyanyi di tengah kepenatan dan kelelahan selama menjalankan tugas.
“Itu benar-benar berkesan, pasti setiap hari ada yang kayak gitu,” ujar Setyo.
Canda dan tawa setiap hari menjadikan hubungan yang terjalin antarrelawan kian erat. Setyo belajar banyak, bagaimana membangun kekompakan dan kerja sama dengan orang-orang yang sebelumnya belum pernah dia kenal. Pasalya, relawan di posko dukungan terdiri atas berbagai elemen.
ADVERTISEMENT
“Jadi banyak belajar dari teman-teman yang lain, dari latar belakang yang berbeda-beda. Sudah kayak keluarga lah di sini, seneng susah bareng,” lanjutnya.
Tapi bagaimanapun, pembubaran posko dukungan tersebut menurutnya adalah pilihan terbaik. Merelakan romantika kebersamaan yang pernah terjadi menurutnya adalah pilihan mutlak. Toh nantinya mereka masih bisa berkomunikasi di tempat lain, dan masih akan menjalankan tugas kemanusiaan di tengah pandemi ini di instansi masing-masing.
“Merasa kehilangan pasti, biasanya kan setiap hari kita ketemu, ngobrol, ngapa-ngapain bareng. Tapi kalau tidak dibubarkan, nanti yang lain seperti rumah sakit itu akan bergantung terus, nanti dia tidak akan mandiri,” ujar Dwi Setyono. (Widi Erha Pradana / YK-1)