Bambang Sriyono, di Masa Pensiun Jatuh Cinta dengan Pohon

Konten dari Pengguna
19 Oktober 2019 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bambang Sriyono. Foto : instagram Bambang Sriyono
Kopi hitam di gelas saya tinggal setengah ketika sebuah pesan WhatsApp dari seorang calon narasumber saya masuk. Intinya, pesan itu berisi bahwa dia baru bisa ditemui untuk wawancara keesokan harinya. Tak pelak, otak saya berputar mencari bahan lain untuk ditulis. Sebab, apapun yang terjadi harus ada yang ditulis hari ini. Celakanya, saya belum mempersiapkan bahan tulisan lain. Saat itu jarum jam di arloji menunjukkan pukul 09.30 WIB, dan saya masih duduk di kantin Fakultas Kehutaan UGM tanpa tahu harus berbuat apa.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi bingung seperti itu, sembari menyesap kopi-kopi terakhir, saya memandang pohon beringin besar yang ada di dekat kantin. Sebuah ilham datang, saya ingat sekitar setahun lalu sempat membawa bibit-bibit beringin ke kebun Lintang Panglipuran. Sebuah komunitas pegiat konservasi lingkungan yang didirikan oleh Bambang Sriyono (71) di daerah Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Saya masih ingat betul, ketika saya dan seorang teman dari Mapala membawa bibit-bibit itu, Pak Bambang – panggilan akrabnya, menyambut dengan ekspresi sangat gembira. Dan itu terakhir kali saya main ke kebun Lintang Panglipuran. Padahal, sebelumnya saya cukup sering main ke sana terutama ketika sedang jenuh-jenuhnya dengan kehidupan kampus. Suasana yang sejuk karena banyaknya berbagai macam pohon bisa sedikit membuat pikiran saya lebih tenang. Akhirnya saya putuskan, saya harus kembali ke sana.
ADVERTISEMENT
Selepas zuhur, ketika cuaca sedang terik-teriknya saya memacu sepeda motor saya dari Fakultas Kehutanan UGM menuju kebun Lintang. Karena berkendara dengan santai, perjalanan dari Fakultas Kehutanan sampai ke kebun Lintang memakan waktu sekitar setengah jam. Sesampai di tempat tujuan, saya agak pangling dengan kondisi kebun sekarang. Pagar bambu yang dulu menjadi pintu masuk menuju kebun Lintang, kini sudah diganti dengan pagar besi. Penataan kebun juga berubah cukup drastis, jauh lebih terang dan tertata dibanding terakhir saya ke sana. Pohon markisa yang dulu merambat memenuhi pohon jenitri juga sudah dibabat. Teras pondok berdinding kayu milik Pak Bambang juga tampak lebih luas karena barang-barang yang dulu memenuhi teras sudah dirapikan entah ke mana. Ternyata memang sudah sangat lama saya tidak main ke kebun Lintang, sampai-sampai melewatkan begitu banyak perbedaan.
ADVERTISEMENT
“Oh ini mas Widi. Kalau lihat wajahnya bapak inget, tapi kalau cuman namanya gampang lupa. Maklum, sudah tua, sudah pikun,” kata Pak Bambang yang sedang duduk di sofa teras pondok ketika saya menjabat tangannya, Selasa (15/10).
Selain Pak Bambang, ada tiga orang yang juga sedang duduk di teras pondok. Mereka sedang menyantap kolak pisang, sepertinya saya datang di waktu yang tepat. Benar saja, tak lama setelah saya duduk bersama mereka, salah seorang dari mereka yang belakangan saya ketahui namanya Bu Rolis masuk ke dalam pondok dan keluar lagi membawa semangkuk kolak untuk saya. Di tengah bunyi gesekan daun pohon yang ditiup angin, kami menyantap kolak pisang dan kolang-kaling yang manis itu hingga tandas sembari mengobrol ngalor ngidul.
ADVERTISEMENT
Berawal dari Matinya Tiga Mata Air
Bambang Sriyono wefie dengan tiga mahasiswi yang bertandang ke Lintang Panglipuran. Foto : instagram Bambang Sriyono.
Pak Bambang bercerita awal kegilaannya terhadap tanaman. Tahun 2000-an, setelah memutuskan pensiun dari sebuah perusahaan media terbesar di Indonesia, Pak Bambang membeli rumah beserta beberapa bidang luas tanah. Alasan dia beli lahan di situ karena masih banyak pohon-pohon besar yang sudah berusia lebih dari 50 tahun di sepanjang jalan. Namun celaka, ketika Pak Bambang baru saja pindah, pohon- pohon besar yang terdiri atas pohon randu, munggur, ketapang, asem, dan sebagainya ditebangi.
“Begitu pohon ditebangi, langsung tewas tiga mata air (di dekat lahan Pak Bambang),” kata dia.
Dari situlah Pak Bambang sadar betapa pentingnya pohon bagi keberlangsungan hidup manusia. Padahal, sebelumnya, dia mengaku tidak begitu menyukai tanaman. Dia kemudian membayangkan kalau semua orang berlomba-lomba menebang pohon, maka keberlangsungan hidup manusia sedang dalam ancaman serius.
ADVERTISEMENT
“Padahal tubuh manusia itu 80 persennya air. Mungkin kita nggak makan seminggu kuat, tapi coba kita nggak minum seminggu, kuat nggak?” lanjutnya.
Dari situ, Pak Bambang menyimpulkan bahwa kunci keberlangsungan hidup manusia adalah pohon. Menurutnya, manusia akan musnah jika tidak ada pohon.
“Tapi tanpa manusia, pohon akan tetap hidup, bahkan mungkin merajalela,” kata Pak Bambang.
Pak Bambang kemudian mulai menanam berbagai macam pohon di halaman rumahnya. Dulu, Pak Bambang hanya dibantu dua orang anak kampung setempat. Satunya masih TK, yang satu masih kelas empat SD. Sekarang, mahasiswa-mahasiswa dari berbagai kampus selalu datang silih berganti membantu Pak Bambang. Awal itulah yang selanjutnya menjadi embrio lahirnya Lintang Panglipuran.
Bintang Kecil Penghibur Hati yang Lara
Setiap hari Lintang Panglipuran selalu ramai oleh kunjungan para mahasiswa. Foto : instragram Bambang Sriyono.
Tahun berganti tahun, anak-anak yang datang ke rumah Pak Bambang semakin banyak. Halaman rumah Pak Bambang juga semakin penuh oleh berbagai macam tanaman, mulai dari tanaman buah, obat, sampai tanaman kayu keras yang biasa dijadikan untuk konservasi. Saat itu, secara resmi Lintang Panglipuran belum lahir. Baru pada 22 Desember 2013, nama itu resmi digunakan sebagai nama komunitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Ada yang menarik dari nama Lintang Panglipuran. Nama itu terinspiasi dari anak-anak kecil yang dulu membantu Pak Bambang merawat tanaman-tanamannya. Menurut Ketua Lintang Panglipuran, Sigit Apriyanto alias Acil (24), anak-anak ibarat malaikat, mereka adalah mahluk yang masih polos dan belum punya kepentingan apapun. Merekalah yang membantu Pak Bambang di awal-awal lahirnya Lintang Panglipuran tanpa mengharapkan apapun.
“Dan Pak Bambang berpikir, mereka (anak-anak) di sini kayak bintang ya, kecil, kayak lintang. Mereka juga yang sudah menghibur Pak Bambang. Akhirnya (dipakailah nama) Lintang Panglipuran, bintang yang menghibur hati yang tengah lara,” kata Acil ketika kami mengobrol di halaman belakang kebun.
Dalam aktivitasnya, Lintang Panglipuran juga melibatkan Tuhan. Hal itu dilihat dari slogan mereka, “Mekar lestari kinayungan Gusti”.
ADVERTISEMENT
“Maknanya, selalu hidup hijau begini, di bawah lindungan Tuhan,” lanjut Acil.
Bagaimana Alam Berkomunikasi dengan Manusia
Pohon Jenitri yang berada di Kebun Lintang Panglipuran dipercaya memiliki banyak manfaat untuk kesehatan manusia. DI India, pohon ini salah satu pohon yang disucikan selain pohon Bodhi. Foto : Widi Erha
“Pohon adalah perpanjangan tangan dan jari-jari ibu bumi,” kata Acil ketika matahari semakin rendah di ufuk barat.
Bagi Acil, melalui pohonlah ibu bumi merangkul dan memeluk manusia. Bumi akan selalu merawat manusia, bagaimanapun nakalnya mereka. Tidak seperti orang-orang yang hanya memandang pohon sebagai sekadar benda. Bagi Acil, pohon sama halnya dengan manusia yang memiliki perasaan, bisa berkomunikasi, bisa senang, bisa sedih, atau bisa juga marah.
“(Tapi) kalau kita nggak punya kedekatan, menurutku nggak (bisa berkomunikasi dengan pohon),” kata Acil.
Acil juga menceritakan bagaimana pohon-pohon berbicara kepadanya. Misal, ketika dia sedang sedih, Acil merasakan pohon-pohon itu menghiburnya. Bentuk pohon berkomunikasi dengannya tentu tak sama dengan cara manusia berkomunikasi. Hembusan agin yang melambaikan dedaunan, Acil memaknainya sebagai usaha pohon berkomunikasi dengannya.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana caranya menjalin kedekatan dengan pohon? Langkah pertama yang harus dilakukan menurut Acil dalah dengan menanamnya. Kemudian pohon-pohon itu dirawat layaknya kita merawat anak kandung sendiri. Hal itulah yang menurut Acil nantinya akan menumbuhkan hubungan emosional antara manusia dengan pohon yang ditanamnya. Karena pohon itu bukan sekadar berbicara dengan sains.
“Tapi juga soal rasa,” katanya.
Seperti manusia, pohon juga suka diberi kasih sayang. Merawat pohon atau tanaman bukan hanya tentang tanah yang bagus, penyiraman yang teratur, atau pupuk yang cukup, tapi juga soal ketulusan bagaimana merawat mereka. Itu juga yang dikatakan Pak Bambang.
“Contoh kalau kita ngelus-ngelus atau nyanyi-nyanyi di sampingnya (pohon), tapi yang ikhlas gitu, perkembangannya akan lebih bagus. Kalau pohon buah ya buahnya lebih banyak, kalau bunga, bungaya lebih indah,” kata Pak Bambang.
ADVERTISEMENT
Pak Bambang sudah memutuskan menghabiskan sisa umurnya untuk mengabdikan dirinya pada alam. Meski sudah berkali-kali diminta untuk tinggal dengan anak-anaknya, tapi Pak Bambang selalu menolak. Dia punya prinsip, selama masih bisa bergerak dan berusaha sendiri, dia tidak akan ikut dengan anak-anaknya. Berbeda dengan orang kebanyakan yang akan memilih menikmati masa tua bersama keluarga tercinta, Pak Bambang telah menemukan cintanya di Lintang Panglipuran bersama ‘anak-anak’ yang telah dia tanam dan rawat.
“Memang di sini (Lintang Panglipuran) bapak enggak bahagia? Bapak juga menikmati kebahagiaan,” katanya setelah menyalakan rokok kreteknya. (Widi Erha Pradana / YK-1)