Bisakah Sawit Indonesia Berkelit dari Masa Depan Suram yang Ditiupkan Uni Eropa?

Konten dari Pengguna
21 Desember 2020 15:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
ADVERTISEMENT
Industri sawit Indonesia menghadapi tantangan besar di pasar global. Tahun kemarin, melalui Directive of The EU Renewable Energy Directive (RED) II, negara-negara di Uni Eropa memutuskan akan menghentikan impor produk sawit dari Indonesia. Pada 2030, mereka juga menargetkan untuk tidak menggunakan minyak sawit lagi dan mengeluarkannya dari daftar bahan energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Ya, minyak sawit dinilai sebagai bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. Pasalnya, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dinilai menjadi penyebab gas rumah kaca yang tidak dapat dinetralisir.
Pemberhentian impor minyak sawit dari Indonesia oleh Uni Eropa ini diprediksi akan berdampak pada anjloknya harga sawit. Dan ini akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia mengingat besarnya devisa negara dari hasil ekspor produk kelapa sawit.
Donny Tamtama, Kepala Subdirektorat Produk Agro, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, mengatakan secara global sejak 2015 sampai 2019, nilai ekspor sawit Indonesia sebenarnya masih mengalami peningkatan sebesar 1,83 persen, sedangkan untuk pasar Uni Eropa meningkat 3,89 persen.
Namun penurunan cukup signifikan terjadi pada periode 2018-2019. Secara global terjadi penurunan sebesar 12,42 persen dan di pasar Uni Eropa turun drastis sebesar 19,08 persen.
ADVERTISEMENT
“Jadi memang bisa terlihat bahwa ada penurunan yang perlu kita cermati di pasar Uni Eropa,” kata Donny Tamtama dalam seminar daring yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Kamis (17/12).
Menurutnya, Uni Eropa merupakan pasar yang penting bagi industri sawit Indonesia. Saat ini, Uni Eropa menempati posisi ketiga dengan kapasitas ekspor sebesar 12 persen, di bawah China dan India.
Masalah sawit Indonesia semakin besar karena negara-negara Uni Eropa mulai memberlakukan bea masuk imbalan terhadap produk biofuel sebesar 8 hingga 18 persen dan penghapusan insentif pajak untuk biofuel di Prancis.
“Ini juga karena Pemerintah Prancis melihat bahwa biofuel yang berbahan baku sawit ini tidak sustainable, sehingga tidak mendapat keringanan pajak,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ajukan Banding dan Strategi Boikot Produk Uni Eropa
Dalam konteks luar negeri, Donny Tamtama mengatakan pemerintah sedang melakukan upaya diplomasi dengan otoritas Uni Eropa. Upaya diplomasi ini bertujuan supaya negara-negara Uni Eropa mau menerima lagi produk sawit asal Indonesia.
Selain itu, jalur hukum juga telah dilakukan. Donny mengatakan, ada harapan melalui jalur hukum ini. Dia mencontohkan kasus Pantai Gading yang mengajukan gugatan di Belgia, dan mereka menang.
“Jadi kita juga bisa harusnya melakukan ini, tapi perlu koordinasi lebih lanjut dengan pemangku kepentingan apakah kita perlu juga kemudian menggugat,” ujarnya.
Bustanul Arifin, ekonom senior INDEF mengatakan pemberlakuan RED II bersifat mengikat pada negara-negara Uni Eropa. Namun Indonesia masih punya pilihan untuk menjalin hubungan secara bilateral
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun menurutnya, konsumsi minyak sawit Uni Eropa masih tinggi dan semakin naik dari tahun ke tahun. Itu menunjukkan, bahwa negara Uni Eropa sebenarnya masih punya ketergantungan yang besar kepada produk-produk sawit.
“Diplomasi bilateral kita dengan mereka harus lebih efektif, apalagi pada saat ini.” ujarnya.
Selain diplomasi bilateral, diplomasi akademik juga penting untuk dilakukan. Kerja sama penelitian antarnegara dan publikasi ilmiah internasional bereputasi perlu terus ditingkatkan. Strategi ini menurut dia akan meningkatkan kredibilitas kebijakan.
Strategi lain, tarik-ulur boikot produk Eropa menurut dia juga layak dicoba. Sebagai salah satu pasar terbesar, menurutnya tentu negara Uni Eropa akan berpikir berulang kali jika Indonesia melakukan strategi ini.
“Mau boikot pesawat lah, mau tidak impor BMW, terserah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Hilirisasi dan Pembukaan Pasar Baru
Untuk meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia, Musdhalifah Machmud, Deputi Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian, mengatakan bahwa hilirisasi produk-produk sawit perlu terus ditingkatkan. Menurut dia, dalam beberapa tahun terakhir, progres hilirisasi produk sawit Indonesia sudah cukup baik.
“Kalau sebelumnya 2006 hulunya masih 60 atau 70 persen, kalau sekarang terbalik, hilirnya yang 60 sampai 70 persen dan hulunya yang 30 sampai 40 persen,” kata Musdhalifah Machmud.
Ekspor produk hilir ini menurutnya perlu terus ditingkatkan untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal.
Selain itu, pembukaan pasar baru tujuan ekspor juga penting dilakukan. Untuk membuka pasar baru, menurutnya Indonesia perlu mengoptimalkan peran diplomat-diplomat di seluruh dunia untuk mengenalkan dan mempromosikan produk sawit Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini menurut dia sudah mulai dilakukan oleh pemerintah dan sudah memberikan hasil meski belum terlalu masif.
“Seperti Bangladesh, meskipun bukan negara-negara yang konvensional, tapi kita sudah menginisiasi untuk lebih baik mengonsumsi produk kelapa sawit,” ujarnya.
Industri sawit Indonesia juga harus memberlakukan aspek keberlanjutan, yang kini tengah menjadi tren global. Untuk mewujudkan industri sawit yang ramah lingkungan, pemerintah menurutnya telah mengeluarkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai pedoman supaya produk sawit yang dihasilkan sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang berlaku di pasar global.
“Nanti bukan hanya di hulu, tetapi kita saat ini sedang membangun ISPO sampai dengan produk-produk end product dari industri hilir,” ujar Musdhalifah. (Widi Erha Pradana / YK-1)