E-Voting Pilkades Sleman, Para Lansia pun Bilang Lebih Gampang

Konten dari Pengguna
21 Desember 2020 15:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemilihan kepala desa secara e-voting. Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilihan kepala desa secara e-voting. Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rohmat, 63 tahun, beranjak dari kursi plastik yang baru 5 menit dia duduki. Dia senang, namanya sudah dipanggil oleh panitia pemungutan suara di TPS 06 Desa Merdikorejo, Tempel, Sleman. Rohmat segera berjalan menuju bilik suara. Tak sampai semenit urusannya selesai di dalam bilik itu.
ADVERTISEMENT
Sepanjang hidupnya, sudah berkali-kali Rohmat mengikuti pesta demokrasi pemilihan umum, entah dari tingkat desa maupun negara. Tapi baru kali ini, untuk pertama kali dia melakukan pemilihan kepala desa dengan sistem e-voting.
Tidak ada lagi kertas suara yang harus dia coblos di dalam bilik. Dia hanya dihadapkan pada layar komputer yang berisi lima foto calon kepala desa.
“Tinggal pilih saja, kan ada fotonya, gampang banget,” ujar Rohmat setelah melakukan pemilihan, Minggu (20/12) berbahasa Jawa.
Sebelumnya, memang sudah ada sosialisasi dari panitia pemungutan suara bagaimana caranya memilih. Satu-satunya yang membuatnya cukup bingung karena jumlah calon yang menurutnya terlampau banyak.
“Ya cuman itu, soalnya ada lima kan. Kalau lainnya enggak ada kendala, lancar,” kata Rohmat.
ADVERTISEMENT
Hal serupa dikatakan oleh Ngatinem, 72 tahun. Meski baru pertama mengikuti pemilihan secara e-voting, namun dia tidak mengalami kendala berarti. Petugas di dusunnya, menurut dia sudah cukup bagus dalam melakukan sosialisasi dan edukasi terkait tata cara pemilih.
“Tadinya ya bingung, tapi setelah ada pelatihan ternyata malah lebih gampang, tinggal pencet,” ujar Ngatinem.
Sehari sebelum pemilihan, ada simulasi di TPS. Simulasi itu membuat tata cara yang sebelumnya masih abstrak karena hanya dijelaskan secara lisan menjadi lebih jelas.
“Membantu banget itu,” ujarnya.
Lebih Sentimentil Ketimbang Pilkada
Warna, 83 tahun, seusai mengituki e-voting Pilkades. Foto: Widi Erha Pradana.
Ketika siang mulai terik, Warno, 83 tahun, baru keluar dari TPS 09 Desa Pondokrejo, Tempel, yang hari itu juga menggelar pilkades secara e-voting. Pakaiannya sangat rapi, lengkap dengan peci dan kemeja batik lengan panjang.
ADVERTISEMENT
Dia datang ke TPS berjalan kaki sendiri dari rumahnya yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Di desanya, kebetulan hanya ada dua calon kepala desa, dan dia tidak mau calon yang dia dukung kalah.
Menurut dia, pilkades merupakan momentum penting untuk menentukan nasib masyarakat satu desa dalam lima tahun ke depan. Pasalnya, kebijakan dari kepala desa yang terpilih nantinya akan benar-benar dirasakan oleh mereka.
“Kalau pilkada kemarin kan ndak ngaruh lah (buat masyarakat), ndak kenal juga siapa calonnya,” ujarnya berbahasa Jawa juga.
Hal serupa disampaikan juga oleh Tentrem, 70 tahun. Momentum pilkades menurutnya jauh lebih emosional ketimbang pilihan pemimpin lain seperti pilkada, pileg, bahkan pilpres.
“Soalnya kita kenal kan calonnya siapa, orangnya bagaimana,” ujar Tentrem.
ADVERTISEMENT
Ketua Panitia Pemilihan Lurah Kelurahan Pondokrejo, Marwoto mengatakan bahwa antusiasme masyarakat di pilkades memang lebih tinggi ketimbang dalam pilkada kemarin. Terlebih di desanya hanya ada dua calon kepala desa, sehingga menjadikan persaingan semakin sengit.
“Kalau dibandingkan dengan pilkada kemarin, pilkades kali ini memang terasa lebih sentimentil,” ujar Marwoto.
Hikmah dari Pandemi
Marowoto. Foto: Widi Erha
Awalnya, Marwoto berpikir bahwa pilkades dengan sistem e-voting akan sangat rumit. Selain merupakan sistem baru, yang menjadi tantangan lain terutama bagaimana memberikan edukasi kepada masyarakat yang sudah lanjut usia.
“Banyak di sini yang lanjut usia. Dari DPT sekitar 4.600-an, yang lansia ada sekitar 20 sampai 30 persen,” ujarnya.
Proses persiapan yang menurut dia paling efektif adalah proses simulasi di setiap TPS sehari sebelum pemungutan suara. Awalnya dia mengakui sulitnya memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait tata cara pemilihan. Tapi setelah dilaksanakan simulasi, banyak masyarakat yang menurut dia langsung paham karena ternyata tidak serumit seperti yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
“Jadi paling efektif memang simulasi itu. Antusiasme masyarakat yang datang simulasi juga cukup tinggi,” ujarnya.
Momentum pilkades secara e-voting ini menurut Marwoto merupakan hikmah dari pandemi. Ternyata sesuatu yang awalnya dibayangkan sulit dan rumit, bisa dilaksanakan meski harus dipaksa dengan pandemi.
Pengeluaran biaya dan tenaga dalam pilkades secara e-voting menurut dia juga lebih kecil. Dia membayangkan, jika sistem ini bisa diterapkan dalam pemilihan pemimpin di skala yang lebih tinggi, akan sangat besar biaya bisa dihemat.
“Karena kita kan enggak pakai kertas lagi. Biasanya kan kertas suara ini salah satu yang paling besar biayanya,” ujar Marwoto. (Widi Erha Pradana / YK-1)