Format Pemerintahan Desentrasliasi tapi Tata Kelola BPJS Sentralistik

Konten dari Pengguna
25 Juni 2020 20:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Pengelolaan yang masih terpusat atau tersentralisasi disebut-sebut sebagai salah satu faktor utama kenapa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus bermasalah. Padahal dalam UUD 1945 Pasal 18A, disebutkan secara eksplisit bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dengan undang-undang yang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
ADVERTISEMENT
Namun kenyataannya, ketentuan tersebut belum dapat dilaksanakan dalam program JKN. UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) maupun UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tidak mengatur mengenai peran pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan desentralisasi.
“Akibatnya, pemerintah daerah berperan terbatas, hanya sebagai pembayar iuran penduduk miskin atau tidak mampu di wilayahnya atau anggota PBI APBD,” kata Laksono Trisnantoro, Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dalam konferensi pers daring yang digelar oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM, Kamis (25/6).
Sementara itu, pengawasan mengenai kendali mutu, efisiensi pembiayaan kesehatan, dan kepatuhan membayar kepada masyarakat mampu (PBPU) tidak ada yang mengendalikan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PKMK UGM, Laksono menjelaskan bahwa sentralisasi tata kelola program JKN mengakibatkan sulitnya akses data, informasi serta program atau kebijakan JKN terutama bagi daerah-daerah yang belum memiliki fasilitas yang memadai atau karena kendala letak geografis yang sulit dijangkau.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, ada fenomena hukum dan bukti di lapangan bahwa kebijakan JKN tidak melibatkan peran pemerintah daerah dalam menanggulangi defisit maupun pengawasan program JKN.
“Akibatnya, pemerintah daerah di wilayah geografis sulit dan fiskal rendah kesulitan untuk mengoptimalkan manfaat program JKN sesuai kebutuhan kesehatan masyarakatnya,” lanjut Laksono.
Daerah Tertinggal Perlu Dapat Kompensasi
Dalam UU SJSN Pasal 23 ayat 3 menjelaskan bahwa kompensasi dapat diberikan kepada daerah yang fasilitas kesehatannya belum memenuhi syarat. Meskipun definisi operasional daerah penerima kompensasi ini belum dijelaskan secara detail dalam aturan ini.
Berdasarkan hasil analisis data keuangan iuran dan beban layanan kesehatan, menunjukkan bahwa segmen peserta PBI APBN mempunyai surplus iuran setiap tahunnya. Hal ini menurut M Faozi Kurniawan, salah seorang peneliti di PKMK UGM seharusnya bisa digunakan untuk memberikan kompensasi.
ADVERTISEMENT
“Dana surplus ini seharusnya dapat digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk memberikan kompensasi dengan tujuan untuk melayani kebutuhan medis peserta di segmen PBI APBN,” kata Faozi Kurniawan.
Salah satu contohnya adalah untuk memperbaiki layanan pasien penderita penyakit jantung. Menurut Faozi, daerah yang belum memiliki dokter spesialis jantung dan layanan catch lab semestinya dapat menerima kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan. Begitu juga dengan daerah yang terbatas ketersediaan dokter umum dan tenaga kesehatan lainnya.
“Pengiriman tenaga kesehatan menjadi salah satu bentuk ideal pemberian kompensasi bagi daerah dengan pelayanan kesehatan yang terbatas,” lanjutnya.
Pemberian kompensasi ini juga dapat meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan JKN dengan mengintegrasikan program-program kunjungan tenaga kesehatan dan upaya promotif preventif yang ditujukan bagi masyarakat yang sulit mengakses fasilitas kesehatan.
ADVERTISEMENT
Butuh Pembagian Tanggung Jawab yang Proporsional
Tri Aktariyani, Peneliti Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional PKMK FK-KMK juga mengatakan bahwa kebijakan JKN yang selama ini berjalan secara sentralistik tidak sesuai dengan kebijakan desentralisasi pemerintah daerah. Ekosistem informasi BPJS yang tidak melibatkan pemerintah daerah mengakibatkan terjadinya fragmentasi dengan sistem di pemerintahan daerah yang terformat desentralistis.
“Selain itu, pemenuhan kebijakan kompensasi yang belum terwujud juga mengakibatkan pemenuhan kebijakan kesehatan yang berkeadilan dan sesuai konteks atau kebutuhan berbagai wilayah di Indonesia belum terwujud,” ujar Tri Aktariyani.
Untuk itu, Tri mengatakan bahwa UU SJSN, UU BPJS, maupun Perpres Sistem Kesehatan Nasional perlu ditinjau ulang oleh pemerintah dan stakeholders. Pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang didukung dengan ekosistem teknologi informasi (IT) yang tepat juga penting untuk dipetakan kembali.
ADVERTISEMENT
“Hal ini diperlukan agar terwujud pengawasan mutu pelayanan kesehatan, penanggulangan defisit secara bersama antara APBN dan APBD, termasuk melalui upaya promotif dan preventif oleh pemerintah daerah, serta kepatuhan membayar peserta mandiri (PBPU), dan pemenuhan kebijakan kompensasi sebagai wujud keadilan pemerataan pelayanan kesehatan,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)