Mapala Jawa Menembus Hutan Gambut Kalimantan lalu Jatuh Cinta

Konten dari Pengguna
11 Oktober 2019 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto koleksi UGM Research Expedition IV
zoom-in-whitePerbesar
Foto koleksi UGM Research Expedition IV
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Siang itu, Sabtu 7 September 2019 suhu udara mencapai 43 derajat celcius ketika Kresna Muharram dan ketujuh anggota timnya menyusuri sungai Tawang menggunakan speed boat.
Satu jam meluncur di atas air, speed boat membentur Danau Sentarum yang kering kerontang; di musim kemarau, kawasan seluas 132.000 hektare itu menjelma menjadi 'Padang Sentarum'.
Dengan sengatan terik puncak musim kemarau matahari Kalimantan Barat, beban rata-rata 20 kilogram di puncak, tim berjalan kaki menyusuri danau pasang surut terluas di Asia Tenggara itu menuju fliying basecamp.
Butuh dua jam untuk mencapai flying basecamp. Mereka mulai mendirikan tenda, menyiapkan makanan, dan semua perlengkapan yang diperlukan untuk menyelesaikan misi penting.
Delapan mahasiswa itu tergabung dalam misi 'UGM Research Expedition IV' dengan tajuk 'Kawal Gambut Kapuas Hulu'. Ekspedisi ini diadakan oleh Mahasiswa Pecinta Alam Gadjah Mada (Mapagama).
ADVERTISEMENT
Namun, tim ekspedisi tidak hanya terdiri atas anggota Mapagama. Mereka membuka perekrutan tim ekspedisi dari berbagai jurusan berbeda di UGM. Dan terpilih delapan orang berangkat ke Hutan Kerinung, di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Tiga orang dari internal Mapagama, lima lainnya mahasiswa yang telah lolos proses seleksi fisik maupun keilmuan yang dibutuhkan untuk ekspedisi.
Saya berkesempatan untuk mengobrol dengan empat dari delapan anggota tim ekspedisi pada Rabu (9/10/2019), selepas magrib di sebuah kedai kopi di daerah Jalan Kaliurang Km. 5 Yogyakarta.
Mereka yang berbagi cerita adalah Kresna Muharram--Koordinator Tim UGM Research Expedition IV, Faizal Musthofa--Ketua Peneliti dalam ekspedisi itu, serta Demetria Alika Putri dan Fahrudin Firda Raharja yang masing-masing merupakan anggota tim ekspedisi.
ADVERTISEMENT
Persiapan Panjang
Menysuri danau Sentarum yang di musim kemarau berubah jadi padang yang sangat luas. Foto koleksi Tim Ekspedisi UGM.
Mapagama tak ingin main-main dengan ekspedisi kali ini. Sejak Maret 2019, mereka sudah mulai membuka pendaftaran tim ekspeditor. Tak disangka, hanya dalam kurun waktu dua pekan, total ada sekitar 50 mahasiswa yang mendaftarkan diri. Padahal, mereka hanya mengandalkan publikasi lewat akun Instagram dan menempel beberapa poster di lingkungan kampus saja.
Setelah diseleksi meliputi pembuatan essai tentang lahan gambut serta seleksi-seleksi lain untuk menguji komitmen, terpilihlah lima orang sebagai tim ekspedisi. Lima orang itu adalah Gracia Melsiana A dari Pascasarjana Pertanian 2017, Fariz Ardianto dari Kehutanan 2016, M. Khalid Arrasyid Ilmu Ekonomi 2016, M. Ismail Hamsyah dari Antropologi 2017, serta Faizal Musthofa dari Kartografi dan Penginderaan Jauh 2016.
ADVERTISEMENT
Itu belum selesai, ekspeditor yang terpilih masih harus mematangkan persiapan sebelum turun ke 'medan perang'. Meski beberapa dari mereka merupakan anggota Mapala, namun tidak satupun yang pernah menginjakkan kaki di hutan Kalimantan.
Hutan Wanagama di Gunungkidul kemudian dipilih menjadi medan latihan karena dinilai memiliki kerapatan yang mendekati hutan-hutan di Kalimantan. Kendati demikian, secara vegetasi hutan Wanagama ternyata jauh berbeda dengan vegetasi hutan Kalimantan.
“Jadi kita tryout dulu di hutan Wanagama. Kita latihan nge-camp tiga hari, tryout survival. Karena selain jadi peneliti di sana kita juga sebagai ekspeditor,” ujar Kresna.
Persiapan fisik, mental, dan keterampilan itu memakan waktu berbulan-bulan hingga mereka dinilai siap untuk menghadapi kondisi hutan di Kalimantan. Karena salah satu obyek penelitian mereka adalah keanekaragaman serangga di kematangan gambut yang berbeda, para calon ekspeditor juga dibekali cara menangkap serangga dan kemampuan analisis vegetasi. Persiapan yang tidak kalah penting adalah dinamika tim.
ADVERTISEMENT
Untuk mempersiapkan kemampuan dinamika tim, mereka harus menjalani karantina selama satu setangah bulan sebelum terbang ke Kalimantan. Selama karantina, mereka diasah kemampuan manajemen konflik.
“Jadi kita di situ, tidur, makan bareng,” kata Demetria Alika Putri yang terbiasa dengan panggilan Dimi.
Semua persiapan mental, fisik, materi, dan skill sudah mantap. Tapi ada satu masalah lain, tidak ada gambut di Jawa. Karena semua anggota tim ekspedisi berasal dari Jawa, tak ada satupun dari mereka yang pernah melihat gambut secara langsung sebelumnya. Padahal itu persiapan paling utama, karena mereka juga akan meneliti estimasi spasial stok karbon. Mereka ingin tahu stok karbon yang ada dari kedalaman gambut di beberapa titik. Agar tahu kedalaman gambut itu, mereka harus melakukan pegeboran menggunakan bor khusus gambut.
ADVERTISEMENT
“Tapi karena di sini enggak ada gambut, ya sudah kita langsung coba ke lapangan saja, hanya berbekal teori,” ujar Faizal.
Mengapa Gambut
Rendahnya kesadaran masyarakat soal gambut mendorong Kresna dan kawan-kawannya melakukan ekspedisi untuk meneliti gambut. Padahal gambut memegang peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Faizal mengatakan, gambut merupakan ekosistem yang unik tapi potensi itu justru dapat menjadi bumerang jika tidak mampu dijaga dengan baik. Gambut yang memiliki karbon sangat besar, ketika terbakar maka jumlah karbon yang terlepas ke udara juga akan sangat besar.
“15 persen emisi karbon di dunia itu diakibatkan oleh kebakaran lahan gambut. Bahkan, beberapa teori menyatakan gambut dapat menjadi faktor utama terjadinya perubahan iklim. Namun, gambut dapat memberikan manfaat besar jika mampu dijaga dengan baik,” kata Faizal.
ADVERTISEMENT
Kebakaran lahan gambut tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan. Kresna mengatakan, krisis moneter pada 98 juga diakibatkan salah satunya oleh kebakaran lahan gambut. Transportasi terganggu, distribusi logistik terganggu, akibatnya perekonomian jadi lumpuh.
“Ternyata sebesar itu dampaknya untuk makro ekonomi,” kata Kresna.
Terbang ke Kalimantan
Suasana di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Pada 2 September, selepas subuh, ketika matahari masih malu-malu menampakkan dirinya di ufuk timur, delapan ekspeditor terbang dari Bandara Adiscipto Yogyakarta menuju Bandara Supadio di Pontianak.
Sampai di Pontianak, rehat sekitar setengah jam mereka langsung melanjutkan perjalanan menuju Putussibau, sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang bisa dibilang sebagai daerah terjauh dari Pontianak. Di sanalah kantor yang mengelola Taman Nasional Danau Sentarum berada.
“Di sana kita dijemput sama Bang Zul untuk presentasi di Balai Besar Taman Nasional,” kata Fahrudin.
ADVERTISEMENT
Hari itu mereka tidak bisa langsung masuk ke hutan untuk mengambil data. Berbagai persiapan dan perizinan harus diurus. Salah satu yang paling memakan waktu adalah mempersiapkan logistik sebagai bekal mereka sebelum masuk ke hutan. Apalagi, area penelitian mereka bisa dibilang terpencil.
Selesai urusan di Putussibau, mereka kemudian menuju ke Semitau untuk melakukan beberapa persiapan lagi. Dari Semitau, barulah tim ekspedisi ini meluncur ke daerah Tekenang, menuju resort tempat mereka menginap. Perjalanan dari Semitau menuju Tekenang memakan waktu empat jam menggunakan speed boat.
Sampai di Tekenang, penelitian belum bisa langsung dimulai. Pada 6 September, tim ekspedisi harus melakukan observasi untuk memastikan peta yang mereka buat sama dengan kondisi di lapangan. Selain itu, mereka juga perlu mencari tempat yang cocok untuk dijadikan flying basecamp.
ADVERTISEMENT
“Kenapa perlu observasi? Karena kita belum pernah lihat gambut sebelumnya, karena kita semua kan dari Jawa,” kata Faizal.
Pada 7 September, misi yang sebenarnya dimulai. Kresna dan anggota timnya berangkat dari resort menuju lokasi penelitian di Hutan Kerinung menggunakan speed boat. Sayangnya, karena Danau Sentarum tengah kering, speed boat tidak bisa menjangkau lokasi camp mereka. Mau tidak mau, Kresna dan kawan-kawannya harus berjalan kaki dengan beban yang cukup berat. Tantangan lain, cuaca di sana sedang terik-teriknya, bahkan suhu udara mencapai 43 derajat celcius.
Dua jam berjalan membelah Danau Sentarum yang kering, akhirnya mereka sampai di lokasi camping. Melihat kondisi hutan yang masih terlalu liar, mereka memutuskan untuk mendirikan flying basecamp di pinggiran hutan.
ADVERTISEMENT
“Jadi hutannya itu bener-bener masih virgin. Terkenal angker juga. Warga setempat juga menyarankan agar kita nggak nge-camp di dalam hutan,” kata Dimi.
Selama di lapangan, tak ada air bersih untuk mandi. Hanya ada air gambut cokelat yang di permukaannya terlihat banyak ikan-ikan mati. Namun ada beberapa dari mereka yang nekat mandi di air gambut itu. Hasilnya? Sekujur tubuh pun memerah.
“Pas mandi enak-anak saja, sabunan, seger. Pas malem, panas semua, gatel sekujur badan,” kata Faizal.
Jatuh Cinta dengan Gambut
Dari kiri ke kanan Faizal, Kresna, Dementria, dan Raharja, empat anggota tim ekspedisi saat ngobrol bersama Pandangan Jogja di sebuah kedai kopi di Yogya beberapa waktu lalu. Foto oleh : Widi Hermawan.
Proses pengambilan data menghabiskan waktu tujuh hari. Namun, total selama 13 hari mereka berada di dalam hutan Kerinung, atau warga setempat menyebutnya hutan Nung. Ada 36 titik sampel gambut yang harus mereka teliti.
ADVERTISEMENT
Untuk menuju titik-titik itu, tim baru berjalan sejauh lima sampai delapan kilometer setiap hari dari flying basecamp. Untuk menghindari risiko, mereka harus bergegas kembali ke lokasi camp ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. Total, jarak yang mereka tempuh dalam pengambilan data mencapai 40,4 kilometer.
“Hutannya itu bener-bener masih lebat, kayak di film-film. Pohon pandannya juga tinggi-tinggi, kita harus menerobos semak-semak. Kadang sampai kesel juga,” kata Dimi, satu dari 2 perempuan yang mengikuti ekspedisi itu.
Bukan hanya lebatnya hutan yang jadi penghalang, serangga-serangga asing yang belum pernah mereka lihat sebelumnya juga kerap menjadi masalah. Terlebih ketika serangga-serangga itu sudah masuk ke pakaian. Salah satu serangga yang paling menyeramkan, bernama Kerawai. Beberapa tim sempat digigit serangga mirip lebah ini. Bukan hanya meninggalkan luka berlubang di kulit, gigitan kerawai ini bahkan sampai membuat beberapa dari mereka demam.
ADVERTISEMENT
Namun perjuangan menembus rimba Kalimantan terbayar setelah mereka melihat gambut dengan mata kepala sendiri. Pengambilan data dimulai, mereka mulai melakukan pengeboran gambut dari titik ke titik. Luas sampel mencapai 347 hektar, dengan jarak antartitik sekitar 200 meter.
Excited banget waktu lihat gambut, karena sebelumnya kan belum pernah lihat langsung,” Faizal menceritakan kesan pertamanya ketika pertama menginjakkan kakinya di lahan gambut.
Titik demi titik mereka bor mulai dari kedalaman 0,5 meter sampai 9,26 meter. Tiap sampel mereka uji kematangan gambut di tiap-tiap titik dengan teknik spons, yakni dengan cara meremas gambut menggunaan tangan. Dari situ, dapat diketahui tingkat kematangan gambut itu, mentah (fibrik), setengah matang (hemik), atau matang (saprik).
Jika saat diremas gambut yang tertinggal di telapak tangan hanya sepertiganya, dengan kata lain dua pertiga keluar dari celah-celah jari, maka gambut digolongkan sebagai saprik atau matang. Sebaliknya, jika gambut yang tertinggal di telapak tangan sebanyak dua pertiga atau lebih, maka masuk ke dalam golongan fibrik atau mentah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan jika antara gambut yang tertinggal dengan yang lolos setengahnya, maka dia masuk golongan hemik atau setengah matang. Pada gambut saprik, bagian gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif lebih halus, sebaliknya gambut mentah masih didominasi oleh serat kasar. Dengan memetakan potensi gambut yang ada, maka mereka akan mengetahui berapa stok karbon yang tersimpan di area itu.
Selain melakukan pemetaan spasial stok karbon, Kresna dan kawan-kawan juga meneliti keanekaragaman serangga pada tingkat kematangan gambut yang berbeda. Sayang sekali, ketua tim penelitian biotik, Gracia, mahasiswa Pascasarjana Pertanian UGM, tidak ikut berdiskusi dengan kami malam itu karena sedang ada acara terkiat konsentrasi studinya, di Bali.
Namun, secara umum, tim ekspedisi berhasil mendata 2.043 individu serangga yang berhasil mereka data. Tapi, untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, data itu belum cukup. Karena itu, mereka juga mendata berbagai burung yang diperkirakan menjadi predator serangga itu. Sebanyak 182 spesies burung berhasil didata. Mereka juga melakukan analisis vegetasi terhadap pepohonan di sana sebanyak 941 spesies.
ADVERTISEMENT
Misi 'UGM Research Expedition IV' sangat penting sebab sampai saat ini, Balai Besar Taman Nasional Danau Sentarum juga belum memiliki data spesies serangga yang hidup di sana. Terlebih masih sedikit sekali orang-orang yang sadar dengan pentingnya berbagai spesies serangga. Hampir setiap presentasi,tim ekspedisi selalu ditanya kenapa mereka meneliti serangga dan bukan satwa yang lebih besar seperti mamalia atau hewan-hewan melata.
“Sebenarnya jawabannya sederhana, karena mereka tidak tahu bahwa serangga berperan sangat penting bagi hidup manusia. Serangga membantu penyerbukan yang membuat kita bisa makan buah dan sayur. Serangga juga pengurai sampah kita, rantai makanan bagi burung dan masih banyak lagi dan krusial semua untuk hidup kita semua di bumi,” papar Dimi.
ADVERTISEMENT
Apa Setelah Ini?
“Pulang dari sana jadi iteman. Tapi lumayan, jadi sempet kurusan,” kata Dimi diikuti tawa kecil.
Namun tujuan akhir mereka tentu bukan untuk menurunkan berat badan. Kalau hanya menurunkan berat badan tak perlu tinggal di dalam rimba Kalimantan selama dua pekan.
Kata Kresna, mereka memang tak berharap menjadi pahlawan yang bisa menyelamatkan dunia melalui ekspedisi itu. Tapi, menurunkan berat badan juga terlalu sepele jika dibandingkan perjuangan mereka menembus hutan Kerinung di Kalimantan Barat.
Kresna berharap, nantinya hasil penelitian mereka bisa dipakai untuk hal-hal yang bermanfaat, khususnya untuk upaya konservasi lahan gambut.
“Kita nggak berharap jadi pahlawan. Harapannya dengan jurnal ini jadi selanjutnya bisa digali terus untuk kepentingan masa depan,” ujar Kresna.
ADVERTISEMENT
Dimi, berharap, dengan aksi 'kecil' mereka itu, bisa membuat masyarat lebih sadar akan pentingnya gambut bagi kehidupan. Karena sejauh ini, sedikit sekali orang, bahkan mahasiswa yang tahu apa itu gambut.
“Orang mau tahu gambut aja, mau tahu dan mau menjaganya,” kata Dimi.
Sementara Faizal berharap semua pihak, terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan bisa lebih menjaga lahan gambut. Terlebih, saat ini lahan gambut baik di Kalimantan, Sumatera, maupun beberapa wilayah lain sedang diintai oleh ancaman dunia industri. Perkebunan sawit menjadi salah satu musuh utama gambut. Penelitian ini, menurut Faizal juga bisa dijadikan rujukan mitigasi bencana apabila terjadi kebakaran di lahan gambut.
“Jadi dengan potensi gambut sebesar itu, kami mintalah kepada pemerintah untuk menjaganya sebaik mungkin,” kata Faizal.
ADVERTISEMENT
Terlebih, menurut Faizal, saat ini sedikit sekali yang mau belajar soal gambut, apalagi menelitinya langsung ke dalam hutan seperti mereka. Jadi dia berharap, penelitian yang telah mereka lakukan bisa dimanfaatkan secara maksimal nantinya.
“Sekarang siapa sih yang mau susah payah ke hutan Kerinung buat meneliti gambut?” lanjut Faizal.
Di akhir obrolan, Faizal juga menyampaikan pesan dari Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta.
“Yang Indonesia butuhkan saat ini adalah peneliti yang suka berpetualang atau petualang yang suka penelitian,” tutup Faizal mengulangi pesan Sadtata. (Widi Hermawan / YK-1)